Connect with us

Feature

Dipaksa Jadi Perisai Hidup di Gaza: Kisah Nyata

Published

on

Ayman Abu Hamadan hanya punya satu momen di mana ia tak diborgol atau ditutup matanya—yaitu ketika ia dipaksa berdiri paling depan oleh tentara Israel, dijadikan perisai manusia untuk memastikan sebuah rumah di Gaza tak dipasangi bom atau dipenuhi pejuang bersenjata.

Pria 36 tahun itu mengenakan seragam militer, kamera dipasang di dahinya. Ia dipaksa masuk dari satu rumah ke rumah lain di Jalur Gaza Utara. Jika satu unit selesai memanfaatkannya, ia diserahkan ke unit berikutnya, seolah dirinya hanya alat pakai buang.

“Mereka memukuli saya dan berkata: ‘Kamu tak punya pilihan lain. Lakukan ini, atau kami bunuh kamu,’” tuturnya kepada Associated Press, mengingat kembali 17 hari mengerikan yang ia jalani musim panas lalu di bawah todongan senjata tentara Israel.

Setiap malam ia diikat dan dikurung dalam ruangan gelap. Saat pagi datang, ia kembali didorong ke garis depan, menyisir lorong-lorong, memeriksa lubang-lubang, dan memastikan tak ada jebakan maut yang mengintai pasukan Israel di belakangnya.

Fenomena ini bukan cerita tunggal. Dalam investigasi AP, tujuh warga Palestina dan dua tentara Israel mengungkap bahwa praktik menjadikan warga sipil sebagai perisai hidup kini telah menjadi pola yang sistematis dan meluas, terutama sejak perang pecah pada Oktober 2023. Mereka menyebutnya sebagai praktik yang “menyebar seperti api di ladang kering.”

‘Bawa Nyamuk’ — Perintah yang Dipahami Semua

Dua tentara Israel, yang bersaksi secara anonim, menyebut praktik ini dikenal dengan istilah internal: protocol nyamuk. Para komandan bahkan menyebut warga Palestina yang dipaksa maju sebagai “nyamuk” atau “tawon”—istilah yang secara terang-terangan merendahkan martabat manusia.

Mereka mengatakan perintah semacam “bawa nyamuk” kerap terdengar di radio komunikasi. Maksudnya jelas: cari warga sipil untuk digunakan sebagai pelindung dalam misi militer. Menurut seorang perwira, hampir setiap unit infanteri pada akhirnya mengikuti pola ini selama pertempuran sembilan bulan di Gaza.

Dalam salah satu rapat perencanaan militer pada 2024, seorang komandan brigade bahkan mempresentasikan slide berisi kalimat “get a mosquito” kepada atasannya, sembari menyarankan agar warga Palestina “ditangkap saja dari jalanan.”

Tragedi yang Diterima Sebagai Risiko Operasi

Seorang perwira yang menulis dua laporan insiden mengatakan, dalam salah satu kasus, seorang warga Palestina tewas karena ditembak unit lain yang tak tahu dia sedang digunakan sebagai perisai. Dalam laporan tersebut, ia bahkan menyarankan agar warga sipil yang digunakan sebagai tameng diberi seragam militer untuk menghindari kesalahan identifikasi.

Tragisnya, seorang warga Palestina lainnya dikabarkan meninggal karena pingsan di dalam terowongan saat sedang menjalani “tugas” sebagai tameng manusia.

Penolakan yang Ditolak

Seorang sersan mengatakan kepada AP bahwa ia dan unitnya sempat mencoba menolak perintah ini pada pertengahan 2024. Namun seorang perwira senior menjawab tegas: “Jangan terlalu pikirkan hukum humaniter internasional.” Akhirnya mereka pun menyerah dan ikut melibatkan seorang remaja laki-laki 16 tahun dan pria berusia 30 tahun sebagai perisai selama beberapa hari.

“Bocah itu terus gemetar,” kata sang sersan. Keduanya berulang kali menyebut “Rafah, Rafah” — kota di selatan Gaza yang menjadi tempat pengungsian jutaan warga. Ia yakin, itu adalah seruan minta tolong. Mereka ingin pulang.

“Saya Punya Anak” — Seruan yang Diabaikan

Masoud Abu Saeed, pria Palestina berusia 36 tahun lainnya, juga dijadikan perisai hidup selama dua pekan pada Maret 2024 di Khan Younis. Ia dipaksa masuk ke rumah, gedung, bahkan rumah sakit, untuk menggali dan mencari terowongan.

“Saya bilang ke mereka: ‘Ini sangat berbahaya. Saya punya anak. Saya ingin pulang dan bertemu mereka,’” kenangnya. Tapi permintaan itu diabaikan.

Ia mengenakan rompi tim penyelamat agar mudah dikenali, membawa palu, pemotong rantai, dan sebuah ponsel. Dalam satu misi, ia tanpa sengaja bertemu saudaranya—yang juga sedang digunakan sebagai tameng oleh unit lain. Mereka berpelukan dalam keharuan dan keterkejutan. “Saya pikir tentara Israel sudah mengeksekusinya,” katanya.

“Saya Pikir Tidak Akan Melihat Anak Saya Lagi”

Kisah pilu lainnya datang dari Tepi Barat. Hazar Estity, warga kamp pengungsi Jenin, dipaksa masuk ke beberapa apartemen untuk merekam situasi di dalam sebelum tentara masuk. Ia memohon agar dipulangkan ke anaknya yang masih berusia 21 bulan. Tapi para tentara tetap tak bergeming.

“Aku paling takut kalau mereka akan membunuhku,” ujarnya. “Dan aku tak bisa melihat anakku lagi.”

Ironi yang Menyesakkan

Pihak militer Israel bersikeras bahwa penggunaan warga sipil sebagai perisai dilarang keras dan bertentangan dengan kebijakan resmi. Mereka menyalahkan Hamas atas jatuhnya korban sipil, dan menuduh kelompok itu bersembunyi di antara warga, rumah sakit, dan sekolah.

Namun, kesaksian demi kesaksian menunjukkan kenyataan yang berbeda. “Ini bukan kasus-kasus yang terisolasi,” kata Nadav Weiman dari kelompok Breaking the Silence. “Ini menunjukkan kegagalan sistemik dan keruntuhan moral yang mengerikan.”

Israel mungkin benar mengutuk Hamas karena menjadikan warga sipil sebagai tameng. Tapi hari ini, suara dari dalam militernya sendiri menyuarakan kebenaran yang tak bisa lagi disembunyikan: bahwa mereka pun melakukan hal yang sama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *