Connect with us

Feature

Di Balik Dinding Sunyi: Kisah Gelap dari Penjara Israel

Published

on

Di tengah padang pasir yang membakar, di bawah langit yang seperti besi panas, berdiri sebuah kamp tahanan tanpa nama yang ramai dibicarakan dalam bisik-bisik ketakutan.

Bukan penjara biasa, bukan pula sekadar tempat penahanan. Di balik dinding sunyi itu, kemanusiaan dihancurkan, tubuh-tubuh dilumat, dan suara-suara kesakitan terkubur dalam kesunyian paksa.

Kamp itu dikenal dengan satu nama yang kini menjadi bisikan horor: Sde Teiman

Bagi banyak orang di luar Palestina, nama itu mungkin asing. Tapi bagi para tahanan Gaza yang terlempar ke dalam perut gelapnya, Sde Teiman adalah tempat di mana hidup mereka dilucuti, dan kematian bahkan terasa lebih manusiawi dibandingkan keberadaan.

Khaled Mahajneh, seorang pengacara dari Komisi Urusan Tahanan Palestina, menjadi saksi pertama dari dunia luar yang berhasil menembus tempat ini. Dalam wawancaranya dengan podcast “Jisr”, ia membuka lembaran demi lembaran kengerian yang selama ini tersembunyi rapat di balik kawat berduri dan bayangan senapan.

Apa yang ia ceritakan bukan sekadar kekerasan. Ini adalah penghancuran total atas tubuh, jiwa, dan martabat manusia.

Pengacara Palestina, Khaled Mahajneh, menjadi saksi pertama dari luar yang berhasil menembus tirai horor itu. Pada Juni 2024, setelah dua bulan penuh perjuangan hukum, ia diizinkan mengunjungi Sde Teiman. Namun, apa yang ia temui di balik pagar-pagar listrik itu, melampaui semua kengerian yang pernah ia bayangkan.

“Saya telah melihat banyak penjara. Tapi apa yang saya lihat di Sde Teiman… tak bisa digambarkan dengan kata-kata,” ucap Mahajneh dalam suara parau saat berbicara di podcast Jisr. “Itu bukan penjara. Itu tempat penyiksaan yang disahkan negara.”

Sde Teiman tidak memiliki kamar atau bangunan layak. Para tahanan dibiarkan di ruang terbuka, di bawah terik matahari yang membakar kulit atau dingin malam yang menusuk tulang. Setiap orang dirantai pada satu area kecil, cukup untuk duduk, tetapi tidak untuk berdiri atau berbaring nyaman. Tidak ada pelindung dari panas, tidak ada naungan dari dingin. Hanya pasir, udara kering, dan keputusasaan.

Dalam kondisi seperti itu, Mohammad Arab, seorang jurnalis Gaza, menghabiskan seratus hari penuh dalam isolasi total sebelum akhirnya diizinkan bertemu Mahajneh. Tubuhnya yang kurus terseret oleh leher, tangan diborgol, mata dibalut kain kotor, pakaiannya compang-camping dan berbau busuk.

“Mereka memperlakukan kami bukan sebagai manusia, bahkan bukan sebagai binatang. Kami hanya angka di pergelangan tangan,” kisah Arab kepada Mahajneh, menunjukkan gelang biru lusuh bertuliskan angka identitasnya.

Luka-luka menganga tampak jelas di pergelangan tangannya, bekas jeratan borgol yang terlalu lama, hingga dagingnya robek dan tulangnya terlihat. Bau darah, nanah, dan keringat basi memenuhi udara di sekeliling mereka.

Di Sde Teiman, kekerasan bukan lagi sebuah hukuman. Ia menjadi bahasa sehari-hari.

Tahanan dipaksa menyaksikan sesamanya disiksa. Mereka tidak boleh menoleh, tidak boleh menutup mata, tidak boleh menangis. Siapa yang berani menunjukkan emosi, akan dipukul, digantung, atau lebih buruk lagi—dilecehkan secara seksual di depan tahanan lain.

“Di sana, bahkan jeritan pun menjadi sesuatu yang dilarang. Kau hanya bisa diam, mencium bau darahmu sendiri, sementara dunia tetap membisu,” ujar Mahajneh lirih.

Salah satu kisah paling kelam datang dari seorang lelaki tua yang ditelanjangi, dirantai, lalu diperkosa bergiliran oleh tentara-tentara muda, baik pria maupun wanita, sambil tertawa.

Tak hanya itu, tentara Israel juga menggunakan anjing-anjing terlatih untuk memperkosa para tahanan. Mahajneh, yang telah bertahun-tahun menangani kasus tahanan Palestina, mengaku ngeri dan nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Dokter-dokter militer di kamp itu memperlakukan tubuh manusia seolah-olah barang rusak. Banyak tahanan yang kehilangan anggota tubuh mereka setelah mengalami amputasi tanpa bius. Rantai besi yang melilit mereka selama berbulan-bulan menyebabkan infeksi parah; daging membusuk, tulang menonjol keluar, dan akhirnya diamputasi dengan kejam.

Tidak ada ruang bagi rasa sakit. Tidak ada belas kasihan.

Di tengah derita itu, kitab suci Al-Quran dibakar, diinjak-injak, dan ditertawakan di hadapan para tahanan. Tubuh para tahanan dipukul dengan tongkat, gagang senapan, bahkan alat pemadam api. Untuk mempermalukan lebih jauh, selang berisi bahan kimia dimasukkan ke dalam tubuh mereka, memaksa rasa sakit yang luar biasa dari dalam.

Semua ini terjadi dalam bayang-bayang dunia yang memilih diam.

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) tidak pernah sekali pun mengunjungi para tahanan Palestina di Sde Teiman sejak 7 Oktober 2023. Tak ada pengawasan, tak ada saksi, hanya penderitaan yang dibiarkan membusuk dalam senyap.

Israel membagi para tahanan Gaza menjadi dua kelompok: “sipil” dan kelompok “unit elit” yang terdiri dari 350–400 orang. Kelompok kedua ini menghilang di penjara bawah tanah yang disebut Rakevet—sebuah penjara rahasia tanpa sidang, tanpa pengacara, tanpa kabar.

“Tidak satu pun dari mereka pernah diadili. Tidak satu pun dari mereka pernah didakwa,” tegas Mahajneh.

Ketika Mahajneh akhirnya berhasil bertemu Arab, ia hampir tak mengenali kliennya. Tubuh Arab ringkih, dibungkus kain kotor yang sudah berbulan-bulan tak diganti. Di matanya ada kosong yang dalam—kosong yang lahir dari rasa terasing yang akut, dari keyakinan bahwa dunia luar telah melupakan mereka.

Satu-satunya kesempatan ke kamar mandi adalah sekali sehari.

Mandi? Hanya sekali seminggu, dan hanya satu menit. Melebihi batas itu berarti hukuman berdiri delapan hingga sepuluh jam di satu kaki, atau dipukuli tanpa ampun. Pelanggaran berulang akan dihadiahi dengan pemerkosaan.

Selain Sde Teiman, Mahajneh mengungkap keberadaan penjara baru bernama Naftali di Israel utara. Tempat itu menahan warga Suriah dan Lebanon, termasuk seorang anak lelaki berusia 14 tahun dari Quneitra yang telah dipenjara sejak Mei 2024 tanpa dakwaan apa pun, hanya dilabeli sebagai “kombatan ilegal”.

Label “kombatan ilegal” ini menjadi senjata hukum Israel untuk menahan siapa pun tanpa batas waktu.

Tanpa pengadilan. Tanpa keadilan.

Kondisi di Penjara Ofer tak kalah mengerikan. Israel bahkan membangun dua ruang penyiksaan di sana: “Ruang Neraka” dan “Ruang Kiamat”. Di tempat itu, para tahanan dilucuti, dijepit ke tanah, lalu diperkosa menggunakan anjing-anjing terlatih.

Mahajneh juga bertemu Ismail Al-Sayfi, seorang anak Gaza berusia 16 tahun yang dipindahkan dari Sde Teiman ke Megiddo. Keluarganya mengira dia telah mati selama setahun penuh. Ketika ditemukan, Ismail masih mengenakan pakaian kotor yang sama sejak hari pertama penangkapannya.

Namun setelah pertemuan terakhirnya dengan Arab di Ofer, Mahajneh dilarang mengunjungi kliennya lagi.

Tirai kegelapan kembali dijatuhkan.

Israel sangat ketat dalam mengendalikan informasi soal para tahanan Gaza. Perkiraan menyebutkan antara 3.000 hingga 3.500 orang kini mendekam dalam tahanan tanpa kejelasan. Banyak dari mereka, kata Arab, meninggal di bawah siksaan. Mahajneh yakin, di padang sunyi itu, kini berdiri kuburan-kuburan massal yang belum ditemukan.

Nasib para dokter Gaza yang diculik juga masih menjadi misteri. Mahajneh memperingatkan bahwa mereka bisa saja dibunuh di dalam tahanan tanpa ada yang bertanggung jawab.

Ketika Mahajneh membawa bukti penyiksaan ke pengadilan Israel, bahkan di hadapan hakim perempuan, bukan keadilan yang didapat.

Sebaliknya, para tahanan justru dihukum karena berani bersuara.

Dalam satu kasus tragis, seorang warga Palestina di dalam Israel bahkan ditahan hanya karena bermimpi tentang penyerangan terhadap kantor polisi.

Sejak 7 Oktober 2023, genosida perlahan tapi pasti dijalankan terhadap rakyat Palestina.

Kamp-kamp dihancurkan. Rumah-rumah rata dengan tanah. Ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, tewas. Puluhan ribu lainnya diseret ke kamp-kamp kematian seperti Sde Teiman.

“Mereka menculik kami, bukan untuk mencari keadilan,” kata Arab sebelum Mahajneh terakhir kali melihatnya, “tapi untuk membungkam satu bangsa.”

Di balik dinding sunyi itu, jeritan masih terdengar—bagi mereka yang mau mendengarnya.

 

Sumber: https://qudsnen.co/new-horrific-testimonies-reveal-systematic-torture-and-rape-of-gaza-detainees-in-israeli-detention-centers/

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *