Feature
Derita Dokter Gaza di Penjara Israel

Di balik jeruji besi yang dingin dan pengap, dokter-dokter Gaza meratap dalam diam. Tangan yang dulu cekatan menjahit luka kini membeku dalam belenggu, tak lagi bisa menyentuh pasien yang menanti di ranjang-ranjang rumah sakit yang sekarat. Mereka bukan kriminal, bukan pejuang bersenjata, tetapi manusia yang bersumpah menyelamatkan nyawa. Namun, bagi Israel, bahkan mereka pun dianggap ancaman.
Di sel yang sempit, dokter-dokter itu meringkuk dalam kelelahan. Tubuh mereka yang dulu tegap kini mengurus, dihantam siksaan fisik dan mental. Beberapa kehilangan gigi akibat pukulan, yang lain tak lagi bisa berdiri tegak setelah punggung mereka dihantam tanpa ampun. Mata mereka yang dahulu penuh keteguhan kini basah oleh kelelahan yang tak tertanggungkan.
Mereka ditangkap tanpa alasan jelas, digiring dari rumah sakit dan klinik tempat mereka bekerja, dilemparkan ke dalam kendaraan militer seolah-olah mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Di ruang interogasi, mereka dihadapkan pada tuduhan-tuduhan yang absurd. Ada yang dipaksa mengaku sebagai bagian dari kelompok bersenjata, ada yang dituduh menyembunyikan pejuang dalam rumah sakit. Tak ada bukti, hanya tuduhan yang dilemparkan berulang kali.
Beberapa dari mereka mengalami penyiksaan yang tak terbayangkan. Listrik dialirkan ke tubuh mereka, tangan mereka diikat begitu erat hingga aliran darah terhenti. Malam-malam berlalu tanpa tidur, hanya diisi oleh jeritan kesakitan dan suara sepatu militer yang mondar-mandir di luar sel. Ada yang dipaksa berdiri berjam-jam tanpa istirahat, ada yang dipukul hingga pingsan hanya untuk dibangunkan dan disiksa kembali.
Salah satu dokter, yang sebelum perang bekerja di rumah sakit utama Gaza, ditahan selama berminggu-minggu tanpa diizinkan bertemu pengacara atau keluarganya. Ketika akhirnya ia dibebaskan, tubuhnya hanya tinggal bayang-bayang dari dirinya yang dulu. Ia berjalan tertatih-tatih, bahunya membungkuk seolah menanggung beban yang tak terlihat. Suaranya bergetar saat ia berbicara tentang teman-temannya yang masih tertahan, masih menjalani neraka yang ia tinggalkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah bersuara, mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Namun, suara itu seolah tenggelam di tengah kebisingan perang, di antara dentuman bom dan jeritan orang-orang yang kehilangan segalanya. Para dokter itu tetap di sana, dalam jeruji besi yang tak mengenal belas kasih, menunggu keadilan yang entah kapan akan datang.
Di luar penjara, rumah sakit di Gaza berjuang dengan tenaga yang tersisa. Tanpa dokter yang cukup, pasien-pasien sekarat tanpa penanganan. Luka-luka dibiarkan terbuka, infeksi merajalela, dan nyawa melayang satu per satu. Para perawat yang tersisa bekerja hingga kelelahan, tangan mereka gemetar saat menjahit luka dengan peralatan yang semakin menipis. Mereka bekerja dengan bayang-bayang kehilangan, bertanya-tanya siapa lagi yang akan menghilang esok hari.
Di antara reruntuhan kota yang telah hancur, keluarga para dokter yang ditahan menunggu dengan harapan yang semakin menipis. Seorang ibu memegang foto anaknya yang dulu berdiri gagah dengan jas putih, kini entah di mana, mungkin di sel yang dingin dan gelap, mungkin sudah tak bernyawa. Seorang anak kecil bertanya kepada ibunya kapan ayahnya akan pulang, tetapi sang ibu hanya bisa diam, karena tak ada jawaban yang bisa diberikan.
Sementara itu, di sudut dunia yang lain, konferensi diadakan, kecaman dilayangkan, tetapi tangan yang bisa mengubah nasib mereka tetap terlipat. Para dokter itu tetap dalam kegelapan, dihantui rasa sakit dan kehilangan. Dunia menyaksikan, tetapi berapa banyak yang benar-benar peduli? Berapa banyak yang akan mengingat mereka setelah berita ini berlalu?
Di dalam penjara, seorang dokter menatap ke luar jeruji, ke langit yang tak bisa ia sentuh. Ia ingat hari-hari ketika ia bisa menyelamatkan nyawa, ketika ia berlari di lorong rumah sakit dengan stetoskop di lehernya. Kini, satu-satunya suara yang ia dengar adalah rantai yang bergemerincing di pergelangan tangannya. Ia tidak tahu apakah ia akan keluar hidup-hidup. Tapi satu hal yang ia tahu, ia tidak akan pernah berhenti menjadi dokter, bahkan jika dunia telah melupakannya.