Connect with us

Feature

Australia Street: Jalan Pulang yang Tak Kunjung Datang

Published

on

Di tengah gurun Suriah yang sunyi dan gersang, berdiri sebuah kamp yang menjadi rumah bagi ribuan jiwa yang terlupakan. Di salah satu sudutnya, ada jalan kecil yang disebut “Australia Street.” Nama yang terdengar asing di tanah yang jauh dari rumah aslinya. Namun bagi Kirsty Rosse-Emile, jalan itu bukan sekadar nama—itu adalah harapan.

Kirsty, seorang ibu berusia 30 tahun dari Melbourne, telah terjebak di kamp ini selama enam tahun. Dia menyukai musik hip-hop, bola basket NBA, fitnes, dan nutrisi—hal-hal yang dulu mengisi hari-harinya di Australia. Tapi semua itu kini terasa seperti kehidupan yang lain, sesuatu yang jauh dan hampir tak terjangkau.

“Kalian tidak tahu kisah saya, kalian tidak tahu kenapa saya ada di sini. Ini bukan pilihan saya,” katanya lirih kepada seorang jurnalis.

Bersama sahabatnya, Zeinab Ahmed, Kirsty menunggu—entah sampai kapan. Mereka tidak bisa membicarakan bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu, bukan karena enggan, tetapi karena mereka harus berhati-hati. Mereka hanya ingin berbicara tentang satu hal: kehidupan di kamp.

Hidup di Antara Ketidakpastian

Di Al Roj, kamp pengungsi yang menampung sekitar 2.600 orang, kehidupan berjalan di antara batas harapan dan keputusasaan. Anak-anak berlarian di antara tenda-tenda yang lusuh, sementara para ibu berjuang mencari cara untuk mengisi perut mereka dengan makanan yang semakin sulit didapat.

“Ini bukan tempat untuk anak-anak,” ujar Zeinab dengan suara gemetar. “Setiap hari semakin sulit.”

Mereka bukan satu-satunya warga Australia di sini. Ada 14 perempuan Australia dan 22 anak yang hidup dalam ketidakpastian, menanti keputusan yang tak kunjung datang dari pemerintah mereka. Negara-negara lain seperti Spanyol, Prancis, dan Kanada sudah memulangkan warganya, tetapi bagi mereka yang tinggal di Australia Street, jalan pulang masih tertutup.

Dingin, Lapar, dan Ketakutan

Seiring dengan perubahan politik di Timur Tengah, kondisi di kamp semakin memburuk. Pemotongan dana bantuan oleh pemerintahan baru di AS membuat mereka kehilangan pasokan kebutuhan dasar. Beras, lentil, minyak, bahkan gas untuk memasak tak lagi mudah didapat.

“Kami tidak tahu apakah bantuan akan datang lagi atau tidak. Jika tidak, kami tidak bisa memasak, tidak bisa menghangatkan diri saat musim dingin datang. Ini sangat sulit,” kata Kirsty.

Namun yang lebih mengkhawatirkan dari rasa lapar adalah rasa takut. Kirsty sering menjadi sasaran ejekan dan intimidasi dari sesama penghuni kamp karena ia memilih untuk tidak menutupi wajahnya dan tetap mendengarkan musik. Baginya, kamp ini bukan hanya sebuah tempat penantian, tetapi juga sebuah penjara tanpa dinding, di mana dia harus terus-menerus menjaga dirinya.

Zeinab pun semakin takut. Sejak 8 Desember, hari ketika rezim Assad jatuh, dia tak bisa tidur nyenyak. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada anak-anak kami. Ini menakutkan,” ucapnya, nyaris berbisik.

Jalan Pulang yang Tak Kunjung Datang

Pernah, di tahun 2022, ada secercah harapan. Pejabat Australia datang ke kamp untuk melakukan penilaian risiko, pemeriksaan kesehatan, dan tes DNA. Beberapa bulan kemudian, empat keluarga dibawa pulang ke Australia.

“Kami sangat bahagia ketika mereka akhirnya bisa keluar,” kenang Zeinab. “Tapi setelah itu ada reaksi balik dari publik, dan sejak itu, tak ada lagi yang datang.”

Kirsty dan Zeinab tidak menuntut kehidupan yang mudah jika mereka dipulangkan. Mereka siap menjalani proses hukum, mengikuti aturan, dan memulai kembali dari nol. Mereka hanya ingin diberi kesempatan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.

“Aku Hanya Ingin Pulang”

Bagi Kirsty, impian terbesar saat ini bukan lagi tentang musik, basket, atau kebugaran. Impian terbesarnya adalah bisa berlari ke pelukan ibunya di bandara. Air matanya mengalir saat ia membayangkan momen itu.

“Aku hanya menunggu hari di mana aku bisa naik pesawat, mendarat di Australia, melihat ibuku di bandara, dan berlari memeluknya,” katanya dengan suara bergetar.

“Aku ingin melihat anak-anakku tumbuh, bersekolah, pergi ke pantai. Aku ingin menjalani kehidupan yang normal.”

Pesannya kepada pemerintah Australia sederhana: “Halo, aku di sini. Bisakah kalian datang menjemput kami? Kami siap untuk kembali.”

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *