Analisis
Turki vs SDF: Ketegangan Geopolitik di Konflik Suriah

Pernyataan Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, pada 10 Januari tentang tekad Turki untuk mengalahkan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pada 2025 menggarisbawahi dinamika kompleks konflik Suriah. Di tengah pertempuran sengit antara SDF yang didukung AS dan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, ketegangan geopolitik semakin meningkat di sekitar wilayah strategis seperti di Bendungan Tishreen di utara Suriah.
Turki melihat SDF sebagai perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Ankara. Sementara itu, AS menjadikan SDF sebagai mitra utama dalam memerangi ISIS, memberikan senjata dan dukungan operasional. Ketidaksepakatan mendalam ini mencerminkan konflik kepentingan antara sekutu NATO tersebut. Operasi Turki terhadap SDF berpotensi memicu krisis diplomatik yang lebih besar.
Dalam beberapa hari terakhir, setidaknya 101 pejuang telah tewas dalam pertempuran di sekitar Manbij dan Tal Rifaat, menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR). Sebagian besar korban berasal dari faksi yang didukung Turki, meskipun SDF juga mengalami kerugian. Intensitas pertempuran ini menunjukkan bahwa konflik antara Turki dan SDF telah memasuki fase yang semakin destruktif.
Wilayah yang dikontrol SDF mencakup ladang minyak besar dan pusat produksi gandum Suriah, menjadikannya aset strategis bagi AS. Namun, Turki memandang wilayah ini sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Di sisi lain, operasi militer Turki dapat mengganggu stabilitas yang rapuh dan membahayakan operasi anti-ISIS yang dipimpin oleh AS.
Fidan, dalam pernyataannya, menekankan pentingnya solidaritas regional, tetapi kebijakannya terhadap SDF justru dapat memecah aliansi strategis dengan AS. Selain itu, dukungan Turki terhadap Tentara Nasional Suriah (SNA) dan keterlibatan dalam penggulingan Bashar al-Assad menciptakan ketegangan lebih lanjut dalam lanskap geopolitik yang sudah rumit.
SDF, yang membentuk administrasi otonom di timur laut Suriah, telah menjadi kekuatan dominan di wilayah tersebut sejak mundurnya pasukan pemerintah Suriah selama perang saudara. Namun, integrasi kelompok ini ke dalam struktur negara masa depan Suriah, seperti yang diusulkan oleh pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Ahmed al-Sharaa, masih menjadi tanda tanya besar. Hal ini mencerminkan fragmentasi politik yang mendalam.
Turki juga menggunakan serangan udara dan drone untuk menargetkan wilayah yang dikontrol SDF, seperti Kobane dan Raqqa. Dalam protes baru-baru ini di Bendungan Tishreen, serangan udara Turki menewaskan lima warga sipil dan melukai 15 lainnya. Tuduhan bahwa SDF menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia telah memanaskan narasi konflik, tetapi korban sipil ini tetap menjadi isu sensitif di arena internasional.
Upaya Turki untuk menguasai wilayah strategis seperti Manbij dan Tal Rifaat juga bertepatan dengan kampanye pemberontak yang menggulingkan Bashar al-Assad. Namun, keberhasilan taktis di medan perang ini mungkin tidak dengan mudah diterjemahkan ke dalam kemenangan strategis, terutama jika operasi militer ini menimbulkan respons negatif dari AS dan sekutu Barat lainnya.
Dukungan AS terhadap SDF menciptakan tantangan diplomatik bagi Turki, yang mungkin menghadapi sanksi atau tekanan internasional. Namun, Ankara tampaknya bersikeras untuk melanjutkan misinya, terlepas dari risiko konflik langsung dengan pasukan AS. Di sisi lain, AS kemungkinan akan menghindari bentrokan langsung dengan Turki, tetapi tekanan politik di Washington dapat mempersulit hubungan bilateral.
Ketegangan antara Turki dan AS juga dapat berdampak pada stabilitas regional yang lebih luas. Konflik yang terus berlanjut di Suriah utara mengancam untuk memperburuk krisis kemanusiaan, memperlambat rekonstruksi, dan menciptakan peluang bagi kelompok ekstremis seperti ISIS untuk kembali muncul. Dalam konteks ini, koordinasi internasional tetap menjadi tantangan besar.
Kesimpulannya, langkah Turki untuk mengalahkan SDF mencerminkan ambisi strategis yang kuat tetapi juga risiko eskalasi konflik dengan AS. Dengan dinamika yang terus berkembang di Suriah, keberhasilan Turki dalam mencapai tujuannya akan sangat bergantung pada kemampuan Ankara untuk menavigasi tekanan geopolitik dan mempertahankan stabilitas regional.