Analisis
Tuduhan Trump: Erdogan Dalang Runtuhnya Suriah?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Berita terbaru dari Middle East Eye yang mengutip pernyataan Donald Trump tentang Turki semakin memanaskan wacana geopolitik Timur Tengah. Trump dengan lugas menuding Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, sebagai dalang di balik keruntuhan pemerintah Assad di Suriah. Kalimat Trump yang menggambarkan ini sebagai “unfriendly takeover” menegaskan sebuah tuduhan serius: ambisi Erdogan untuk menguasai Suriah kini telah terwujud. Namun, bagi banyak analis, pernyataan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Tuduhan Trump justru memperkuat dugaan lama tentang peran sentral Erdogan dalam konflik yang telah menghancurkan Suriah selama lebih dari satu dekade.
Keruntuhan Damaskus pada 8 Desember 2024 menjadi titik balik besar dalam dinamika Timur Tengah. Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dahulu berafiliasi dengan Al-Qaeda, kini menguasai ibukota Suriah, sementara Presiden Assad terbang ke Moskow dalam upaya menyelamatkan dirinya. Laporan yang beredar di media sosial pekan lalu semakin memperkeruh suasana. Ibrahim Kalin, mantan penasihat Erdogan yang kini memimpin badan intelijen Turki (MIT), dikabarkan dengan santainya menaiki mobil Al-Julani, pemimpin HTS, dalam perjalanan menuju Masjid Umayyah di Damaskus. Momen ini menjadi simbol ironis dan menyakitkan dari keberhasilan kelompok bersenjata oposisi yang selama ini banyak didukung secara logistik dan strategis oleh Turki. Jika benar, kehadiran Kalin di sana bukan hanya sebuah kebetulan, melainkan pengakuan implisit bahwa Turki memegang kendali atas perkembangan terbaru di Suriah.
Bagi sebagian analis, keterlibatan Turki bukan sekadar soal geopolitik semata, tetapi juga terkait dengan kepentingan ekonomi yang lebih luas. Selama bertahun-tahun, proyek gas alam yang melibatkan Qatar dan Turki telah tertunda akibat sikap keras Assad yang memilih loyalitasnya kepada Rusia. Rencana pembangunan pipa gas Qatar-Turki yang melintasi Suriah bisa menjadi salah satu alasan utama mengapa Erdogan begitu gigih mendukung oposisi Assad sejak awal konflik. Jika Assad jatuh, Turki akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang signifikan, baik dalam bentuk pengendalian rute energi maupun dominasi pasar regional.
Namun, di balik tuduhannya, langkah Trump sendiri penuh dengan kalkulasi. Menuduh Erdogan sebagai dalang runtuhnya Assad bisa jadi adalah upaya untuk menekan Turki secara diplomatik sekaligus memperkuat narasi bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinannya telah benar. Trump berusaha menempatkan AS di posisi netral, seolah-olah tidak ikut andil dalam kekacauan Suriah. Padahal, sejarah panjang intervensi AS dalam mendukung kelompok-kelompok tertentu di Suriah tak bisa dihapus begitu saja. Dengan menjadikan Erdogan kambing hitam, Trump mencuci tangan dari kegagalan kolektif Barat dalam menyelesaikan konflik Suriah.
Selain itu, tuduhan ini memiliki dimensi geopolitik yang lebih luas. Erdogan selama ini dikenal sebagai pemimpin dengan ambisi besar di Timur Tengah, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai Neo-Ottomanisme. Upaya Turki untuk memperluas pengaruhnya di Suriah, Libya, dan kawasan lain sering kali berseberangan dengan kepentingan negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Dengan menyalahkan Erdogan, Trump memperkuat blok anti-Turki di Timur Tengah, menciptakan celah lebih dalam antara Ankara dan negara-negara Teluk yang selama ini menjadi sekutu AS.
Di sisi lain, pernyataan Trump juga bisa dipandang sebagai upaya untuk mempermalukan Erdogan di hadapan publik internasional. Turki, meski anggota NATO, kerap mengambil kebijakan luar negeri yang bertolak belakang dengan kepentingan aliansi Barat. Pembelian sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia menjadi salah satu contoh nyata yang memicu ketegangan antara Ankara dan Washington. Tuduhan ini menjadi semacam “peringatan keras” bagi Erdogan bahwa langkah independennya akan selalu diawasi dan dikritisi oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Namun, apa pun motif Trump, tuduhan ini telah membuka kembali luka lama Suriah yang belum juga sembuh. Bagi rakyat Suriah, pernyataan ini hanya memperjelas fakta pahit bahwa negara mereka telah menjadi medan perebutan kepentingan berbagai aktor asing. Apakah Turki memang dalang utama atau hanya salah satu pemain besar, pertanyaan itu mungkin tak lagi relevan bagi warga sipil yang terpaksa kehilangan rumah dan kehidupan mereka. Yang pasti, keruntuhan Assad bukanlah akhir dari konflik, melainkan awal dari babak baru yang jauh lebih kompleks.
Sejarah akan mencatat bagaimana sebuah negara berdaulat seperti Suriah runtuh bukan hanya karena kelemahan internal, tetapi juga akibat ambisi geopolitik yang tak terkendali. Sementara Erdogan mungkin kini berada di puncak kemenangan dengan kontrol atas Damaskus, tuduhan Trump ini bisa menjadi bayang-bayang panjang yang akan menghantui kebijakan luar negeri Turki di masa depan. Jika benar Erdogan adalah dalang di balik keruntuhan Assad, maka sejarah akan menilainya bukan hanya sebagai pemimpin kuat, tetapi juga sebagai pemain yang tak segan mengorbankan stabilitas kawasan demi kepentingan politik dan ekonomi negaranya.