Analisis
Tolak Bantuan Iran, Lebanon Tercengkeram Neokolonialisme AS

Di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Lebanon, negara ini terperangkap dalam jebakan neokolonialisme yang lebih halus. Bukan melalui penjajahan fisik, tetapi dengan cara mengendalikan politik dan ekonomi Lebanon melalui pengaruh negara besar seperti Amerika Serikat. Rakyat Lebanon, meski merdeka secara formal, dipaksa untuk bergantung pada bantuan luar yang seringkali disertai dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak pemberi, daripada memenuhi kebutuhan mendesak rakyat itu sendiri. Dalam situasi ini, muncul perlawanan dari dalam negeri yang berusaha untuk melepaskan Lebanon dari cengkeraman pengaruh asing—perlawanan yang dikomandoi oleh Hizbullah dengan dukungan dari negara seperti Iran.
Bantuan yang ditawarkan oleh Iran kepada Lebanon, yang ditolak oleh pemerintah Lebanon, menjadi contoh nyata dari ketergantungan negara ini terhadap pengaruh luar, khususnya Amerika Serikat. Seperti yang dilaporkan oleh jurnalis Ahmad Serhan, Ali Larijani, penasihat senior Ayatollah Khamenei, mengajukan beberapa opsi bantuan untuk rakyat Lebanon yang terdampak krisis pengungsian. Namun, setiap tawaran tersebut ditolak oleh Perdana Menteri Lebanon, Najib Mikati, dengan alasan khawatir akan reaksi Amerika Serikat. Bahkan, tawaran bantuan melalui jalur laut atau uang yang dikirim lewat Turki pun tidak diterima. Lebanon, yang dalam kondisi kritis, lebih memilih menahan bantuan kemanusiaan daripada melibatkan Iran karena takut akan dampak politik dari Amerika Serikat.
Namun, apakah keputusan tersebut sejalan dengan kebutuhan kemanusiaan rakyat Lebanon yang semakin terdesak? Faktanya, Lebanon sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, terlebih dengan dampak besar yang ditimbulkan oleh agresi militer “Israel” terhadap negara ini. Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Publik Lebanon, serangan tanpa pandang bulu oleh “Israel” sejak 8 Oktober 2023 telah menewaskan 3.481 orang dan melukai 14.786 lainnya. Bahkan pada 16 November 2023, pasukan pendudukan “Israel” kembali membunuh 29 orang dan melukai 122 lainnya. Serangan ini tidak hanya mengenai pejuang, tetapi juga menargetkan warga sipil, termasuk wanita, anak-anak, rumah sakit, ambulans, dan bahkan tim Pertahanan Sipil—sebuah kenyataan yang secara konsisten didokumentasikan melalui gambar dan laporan media, yang membantah narasi propaganda “Israel”.
Situasi yang sangat tragis ini menunjukkan betapa Lebanon berada dalam keadaan darurat kemanusiaan. Negara ini tidak hanya menghadapi kerusakan infrastruktur, tetapi juga kehilangan ribuan nyawa dan korban yang terluka akibat serangan brutal. Dalam kondisi seperti ini, negara yang lemah secara politik dan ekonomi seperti Lebanon, yang tergantung pada bantuan luar untuk bertahan, sangat membutuhkan bantuan yang bebas dari intervensi politik. Inilah yang ditawarkan oleh Iran melalui bantuan kemanusiaan yang tidak terikat pada syarat-syarat politik.
Penolakan terhadap bantuan ini, meskipun Lebanon membutuhkan bantuan kemanusiaan mendesak, menunjukkan bagaimana pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara Barat begitu kuat dalam menentukan keputusan-keputusan politik di negara ini. Hal ini mencerminkan bagaimana Lebanon, meskipun secara formal merdeka, terjebak dalam cengkraman neokolonialisme yang lebih halus. Tidak ada tentara asing yang menginvasi Lebanon hanya dengan tujuan politik, namun agresi militer yang dilakukan “Israel” jelas menyerang Lebanon, menewaskan warga sipil, dan merusak infrastruktur penting.
Hizbullah, sebagai kekuatan besar yang berusaha mengusir pengaruh asing di Lebanon, melihat tawaran bantuan Iran sebagai jalan untuk mengurangi ketergantungan negara ini terhadap kekuatan besar. Bagi Hizbullah, bantuan Iran bukan hanya sekadar bantuan kemanusiaan, tetapi juga simbol perlawanan terhadap dominasi Barat, dan sebuah langkah menuju kemandirian Lebanon. Namun, keputusan pemerintah Lebanon untuk menolak bantuan ini menyatakan betapa kuatnya pengaruh Amerika Serikat dalam menentukan jalannya kebijakan luar negeri Lebanon.
Lebanon kini terperangkap di antara dua kekuatan besar—Amerika Serikat yang mengendalikan bantuan dan kebijakan politik negara ini, dan Iran serta Hizbullah yang menawarkan alternatif yang lebih mandiri. Ini ibarat pelaut yang terjebak di tengah badai. Di satu sisi, ada angin kuat yang datang dari Barat, yang mengarahkan Lebanon menuju arah yang ditentukan oleh kepentingan negara besar, sementara di sisi lain ada gelombang perlawanan dari Hizbullah dan Iran yang berusaha membebaskan Lebanon dari kontrol luar.
Dalam situasi yang semakin memburuk ini, Lebanon seharusnya menerima bantuan yang ditawarkan oleh Iran, bukan hanya untuk kepentingan politik, tetapi demi kemanusiaan. Dengan segala kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan “Israel”, serta ribuan korban yang bergelimpangan, Lebanon tidak memiliki banyak pilihan selain membuka pintu bagi bantuan yang bisa meringankan penderitaan rakyatnya, tanpa dipersyaratkan dengan agenda politik yang merugikan kedaulatan negara tersebut.