Analisis
Suriah Pasca-Assad, Suriah Pro-Israel

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Kehancuran rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu membuka babak baru dalam dinamika geopolitik Suriah. Dengan oposisi yang kini memegang kendali pemerintahan, berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa Suriah pasca-Assad semakin condong menjadi negara yang mendukung kepentingan Israel. Serangkaian bukti mendukung kesimpulan ini, mulai dari invasi militer Israel yang tak mendapatkan perlawanan hingga keputusan pemerintah baru Suriah untuk menutup kantor-kantor kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam.
Invasi Israel: Tanpa Perlawanan
Dalam kurun waktu kurang dari dua hari, Israel telah melancarkan hampir 300 serangan udara yang menargetkan instalasi militer di seluruh Suriah. Pangkalan udara Shayrat di Homs, instalasi militer di Raqqa, serta lokasi strategis lainnya dihancurkan oleh serangan ini. Bahkan, tank-tank Israel telah maju hingga ke pinggiran Damaskus, hanya berjarak 20 kilometer dari ibu kota. Beberapa desa dan wilayah penting di sekitar Qunaitra dan Mount Hermon telah berada di bawah kendali Israel.
Yang mencolok adalah ketiadaan perlawanan dari pemerintah baru Suriah. Berbeda dengan era Assad, di mana rezimnya—meskipun lemah—tetap berusaha mempertahankan kedaulatan melalui aliansi strategis dengan Iran dan Hizbullah, oposisi baru tampaknya membiarkan Israel bertindak tanpa hambatan. Ketidakberdayaan ini mengirimkan sinyal yang jelas bahwa pemerintah baru tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk menentang agresi Israel.
Transformasi Geopolitik Suriah
Pasca-penggulingan Assad, Suriah telah kehilangan salah satu figur utama dalam perlawanan terhadap Israel. Assad dikenal sebagai bagian dari poros perlawanan bersama Iran, Hizbullah, dan kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Pemerintah baru Suriah justru menunjukkan langkah-langkah yang bertentangan dengan posisi ini. Penutupan kantor Hamas dan Jihad Islam di Suriah adalah bukti nyata bahwa pemerintah baru tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok perlawanan.
Lebih jauh, langkah ini tampak selaras dengan tren normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel. Jika Suriah bergabung dalam arus ini, maka pergeseran geopolitik Suriah dari negara anti-Israel menjadi negara yang lebih ramah terhadap kepentingan Israel menjadi semakin nyata.
Pernyataan Positif dari Oposisi
Pernyataan-pernyataan dari tokoh oposisi Suriah semakin memperkuat indikasi hubungan yang lebih erat antara Suriah baru dengan Israel. Fahd al-Masri, kepala Syrian National Salvation Front dan juru bicara Free Syrian Army, dalam wawancaranya dengan media Israel Maariv menyatakan, “Kami tidak ingin perang dengan Israel.” Ia juga berterima kasih kepada Israel atas kontribusinya dalam menggulingkan Bashar al-Assad, dengan mengatakan, “Tanpa pukulan-pukulan yang kalian timpakan kepada Hizbullah dan Iran, kami tidak bisa membebaskan Suriah. Terima kasih, Israel. Ini adalah kemenangan Israel, saudara dan tetangga kami.”
Abdul Jalil al-Saeed, mantan Wakil Mufti Suriah, dalam wawancara dengan i24NEWS, mengekspresikan optimisme terhadap potensi hubungan antara Suriah dan Israel. Ia bahkan berharap dapat melihat koresponden Israel melaporkan dari jantung Damaskus. “Kalian dapat menjadi jembatan bagi perdamaian sejati antara bangsa-bangsa,” ujar al-Saeed. Ia juga menyebutkan bahwa dunia Arab kini memandang Israel sebagai kekuatan yang telah mengubah jalannya sejarah dengan menantang beban kampanye militer yang berkepanjangan.
Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan perubahan signifikan dalam sikap kelompok oposisi Suriah terhadap Israel, menjauh dari retorika perlawanan yang sebelumnya menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Suriah di bawah Assad.
Pragmatisme atau Pilihan Ideologis?
Sebagian pihak mungkin berpendapat bahwa sikap pasif pemerintah baru Suriah terhadap agresi Israel adalah hasil dari pragmatisme politik. Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa ini lebih dari sekadar strategi jangka pendek. Ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk melawan serangan besar-besaran Israel, ditambah dengan keputusan untuk menutup kantor-kantor kelompok perlawanan, mencerminkan transformasi ideologis yang mendalam.
Israel tidak hanya menghancurkan kemampuan militer Suriah tetapi juga bergerak maju dengan invasi darat, mengambil alih wilayah strategis di sekitar Damaskus tanpa menghadapi konfrontasi berarti. Semua ini menggarisbawahi bahwa Suriah baru tidak lagi menjadi bagian dari poros perlawanan.
Kesimpulan
Dengan segala bukti yang ada, sulit untuk menolak kesimpulan bahwa Suriah pasca-Assad kini berada dalam posisi yang pro-Israel. Invasi militer besar-besaran Israel yang tidak mendapat perlawanan, penutupan kantor kelompok perlawanan Palestina, serta pernyataan positif dari tokoh-tokoh oposisi terhadap Israel adalah indikasi kuat dari transformasi ini. Suriah yang selama ini menjadi simbol perlawanan di Timur Tengah kini berubah menjadi bagian dari babak baru geopolitik kawasan yang semakin mengakomodasi kepentingan Israel. Transformasi ini tidak hanya mengubah wajah Suriah, tetapi juga dinamika politik di kawasan Timur Tengah secara keseluruhan.