Analisis
Suriah di Ujung Tanduk: Federalisme atau Perang Saudara Baru?

Di sebuah negeri yang terkoyak, di mana puing-puing perang masih menghiasi horizon, Suriah bergulat dengan bayang-bayang masa lalunya. Laporan Anadolu Agency dan The Cradle menggambarkan ketegangan baru: pemerintah transisi di bawah Ahmad al-Sharaa mengecam keras seruan federalisme dari Syrian Democratic Forces (SDF), menegaskan persatuan Suriah sebagai “garis merah.” Namun, di balik retorika persatuan, benih perpecahan mengintai, mengancam menyeret negeri ini kembali ke jurang perang saudara yang lebih menyedihkan.
Perjanjian 10 Maret antara pemerintah Suriah dan SDF, yang ditandatangani al-Sharaa dan komandan SDF Ferhad Abdi Sahin, semula dielu-elukan sebagai langkah menuju rekonsiliasi. Kesepakatan ini menjanjikan integrasi SDF ke dalam Kementerian Pertahanan, gencatan senjata nasional, dan pengakuan hak-hak Kurdi sebagai bagian tak terpisahkan dari Suriah. Namun, seruan SDF untuk federalisme, yang mengemuka dalam Konferensi Persatuan dan Konsensus Kurdi pada 26 April, memicu amarah Damaskus. Konferensi yang dihadiri 400 tokoh Kurdi dari Suriah, Irak, dan Turki menyerukan negara demokratis terdesentralisasi, menjamin hak etnis Kurdi dan partisipasi perempuan. Bagi SDF, federalisme adalah cerminan realitas: mereka telah mengelola timur laut Suriah sebagai wilayah semi-otonom, lengkap dengan administrasi dan militer sendiri, didukung AS dan menguasai ladang minyak terbesar di negara itu.
Pemerintah al-Sharaa, yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan afiliasi Al-Qaeda, menolak visi ini. Dalam pernyataan resminya, mereka menegaskan bahwa federalisme tanpa konsensus nasional mengancam integritas teritorial Suriah. Al-Sharaa memperingatkan SDF agar tidak memonopoli pengambilan keputusan di timur laut atau mengganggu kerja institusi negara. Namun, penolakan ini bukan sekadar soal prinsip persatuan. HTS, yang hanya menguasai sebagian wilayah seperti barat laut, bergantung pada narasi sentralisasi untuk mempertahankan kendali politik dan akses ke sumber daya strategis, terutama ladang minyak di timur laut. Federalisme berpotensi memperkuat SDF dan sekutunya, AS, yang mempertahankan kehadiran militer di wilayah tersebut, sebuah ancaman bagi ambisi kekuasaan HTS.
Realitas di lapangan memperumit narasi persatuan yang digaungkan HTS. Suriah bukan lagi negara monolitik di bawah cengkeraman Assad, yang runtuh pada Desember lalu setelah 25 tahun berkuasa. Negara ini terpecah menjadi mozaik kekuasaan: SDF di timur laut, HTS di barat laut, faksi pro-Turki di utara, dan milisi lokal di selatan. Laporan Al Mayadeen mencatat protes di al-Hasakah, wilayah di bawah SDF, yang menolak deklarasi konstitusi transisi karena mengesampingkan komunitas Kurdi dari dialog nasional. Protes ini mencerminkan ketidakpercayaan mendalam terhadap pemerintah al-Sharaa, yang dituduh melanjutkan taktik marginalisasi rezim sebelumnya. Kurdi, yang telah lama menghadapi penindasan sistematis, melihat federalisme sebagai jalan untuk menjamin hak mereka tanpa tunduk pada otoritas pusat yang didominasi HTS.
Ketegangan ini diperparah oleh warisan sektarianisme HTS. Laporan The Cradle mengungkapkan kekejaman yang mengerikan: pada 7 Maret, kelompok bersenjata yang terkait dengan Kementerian Pertahanan dan Keamanan Umum melakukan pembantaian terhadap ribuan warga Alawit di wilayah pesisir. Mereka menyerbu desa-desa, mengeksekusi pria usia tempur, menjarah, dan membakar rumah. Kekerasan ini bukan hanya noda kemanusiaan, tetapi juga sinyal bagi minoritas—termasuk Kurdi, Alawit, dan Kristen—bahwa pemerintahan HTS mungkin tidak menawarkan inklusivitas yang dijanjikan. Janji al-Sharaa untuk membentuk “pemerintahan transisi inklusif yang mencerminkan keragaman Suriah” terasa kosong ketika kebrutalan seperti ini terjadi di bawah pengawasannya.
Mengapa federalisme SDF, meski logis, sulit diterima? Pertama, ini soal kekuasaan. Timur laut Suriah, dengan sumber daya minyaknya, adalah aset ekonomi yang krusial. Jika SDF mempertahankan otonomi, HTS akan kehilangan akses ke pendapatan yang bisa mendanai pemerintahan mereka. Kedua, ada dimensi geopolitik. AS, yang mendukung SDF, melihat timur laut sebagai pijakan strategis untuk menekan pengaruh Rusia dan Iran di Suriah. Sebaliknya, Turki, yang menentang otonomi Kurdi karena kekhawatiran terhadap PKK, mendukung faksi-faksi anti-SDF, menciptakan dinamika proksi yang rumit. Rusia, meski kehilangan pengaruh pasca-kepergian Assad ke Moskow, masih memiliki pangkalan militer di Suriah dan bisa memanfaatkan kekacauan untuk mempertahankan relevansinya. Dalam pusaran ini, federalisme SDF bukan hanya soal tata kelola, tetapi juga pertarungan kepentingan asing.
Namun, memaksakan sentralisasi, seperti yang diinginkan HTS, adalah resep untuk bencana. Suriah bukan lagi entitas yang bisa disatukan dengan paksa. Upaya semacam itu akan memicu perlawanan bersenjata, terutama dari SDF, yang memiliki puluhan ribu pasukan terlatih dan dukungan AS. Konflik baru bisa meluas, mengingat faksi lain, seperti kelompok pro-Turki, juga tidak akan tinggal diam. Lebih buruk lagi, ketegangan sektarian yang dipicu kekerasan seperti pembantaian Alawit bisa memobilisasi komunitas minoritas untuk melawan HTS, menyeret Suriah kembali ke perang saudara. Perang seperti ini akan jauh lebih menyedihkan daripada konflik sebelumnya, karena terjadi di tengah masyarakat yang sudah lelah, dengan infrastruktur hancur dan ekonomi yang nyaris ambruk.
Perang saudara baru akan memperparah krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan. Sejak 2011, lebih dari 500.000 orang tewas, dan 13 juta lainnya mengungsi, menurut perkiraan PBB. Ladang minyak di timur laut, yang menyumbang sebagian besar pendapatan Suriah sebelum perang, akan menjadi medan pertempuran, memperdalam kelaparan dan kemiskinan. Trauma sosial akibat perpecahan etnis dan agama akan membuat rekonsiliasi nasional semakin mustahil. Anak-anak Suriah, yang telah kehilangan masa kecil mereka di tengah perang, akan menghadapi masa depan yang lebih gelap, terjebak dalam siklus kekerasan yang tak berkesudahan.
Lalu, apa jalan keluarnya? Federalisme, meski ditentang HTS, menawarkan kompromi yang realistis. Model ini memungkinkan otonomi regional untuk Kurdi dan kelompok lain, sambil mempertahankan kerangka negara yang longgar. Contohnya, sistem federal di Irak, meski tidak sempurna, telah meredam konflik dengan memberi otonomi kepada Kurdi sambil menjaga integritas nasional. Namun, ini membutuhkan dialog nasional yang inklusif, sesuatu yang sulit dicapai mengingat ketidakpercayaan mendalam. Mediasi internasional, mungkin di bawah PBB, bisa membantu, tetapi keberhasilannya tergantung pada kesediaan aktor asing—AS, Turki, Rusia—untuk mengesampingkan agenda mereka sendiri, sebuah harapan yang terasa utopik.
Suriah berdiri di persimpangan yang genting. Jalan menuju persatuan yang dipaksakan HTS berisiko memicu perang saudara baru, menghancurkan harapan pemulihan. Federalisme SDF, meski tidak sempurna, mencerminkan realitas fragmentasi dan menawarkan peluang untuk stabilitas, tetapi hanya jika semua pihak bersedia berkompromi. Di tengah puing-puing dan luka perang, rakyat Suriah layak mendapatkan lebih dari sekadar janji kosong. Mereka membutuhkan visi yang menghormati keragaman mereka, bukan yang mengubur mereka dalam konflik baru.
Daftar Sumber:
- Anadolu Agency. “Syria Slams SDF Calls for Federalism, Terms Country’s Unity as ‘Red Line’.” AA.com.tr, https://www.aa.com.tr/en/middle-east/syria-slams-sdf-calls-for-federalism-terms-countrys-unity-as-red-line-/3550167.
- The Cradle. “Syrian President Condemns Kurdish Calls for Federalism.” TheCradle.co, https://thecradle.co/articles/syrian-president-condemns-kurdish-calls-for-federalism.
- Al Mayadeen. “Al-Sharaa Rejects Federalism, Calls for Implementation of SDF Agreement.” English.AlMayadeen.net, https://english.almayadeen.net/news/politics/al-sharaa-rejects-federalism–calls-for-implementation-of-sd.