Analisis
Suriah di Bawah Bayang-Bayang Pemberontakan

Malam 6 Maret 2025, Tartus kehilangan ketenangan yang biasa menyelimuti kotanya. Jalanan yang biasanya riuh oleh langkah nelayan kini sunyi, hanya tembakan dari kejauhan yang menggantikan debur ombak. Sementara itu, Latakia—benteng Alawi—bergetar hebat. Suriah, yang baru terbebas dari Assad sejak Desember 2024, kembali berkecamuk. Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), di bawah komando Ahmad al-Sharaa, berusaha mempertahankan kekuasaan, tetapi pemberontak bangkit, Turki ikut campur, dan HTS justru memilih rakyatnya sendiri sebagai musuh, bukan Israel yang terus menginvasi.
Pemberontakan yang Mengguncang Tartus dan Latakia
Tartus larut dalam kegelapan. Listrik padam, dan warga bersembunyi dalam bayang-bayang ketakutan. Jam malam diberlakukan dari pukul 22:00 hingga 10:00, menjadi bukti betapa kekacauan telah melanda. Di Latakia, kota dengan pangkalan militer strategis, ketegangan pun tak kalah mencekam. Pemberontak—diduga berasal dari kelompok Alawi atau loyalis Assad—merebut pos-pos penting, menolak dominasi HTS. Ini bukan sekadar perlawanan biasa; ini adalah jeritan komunitas yang merasa haknya dirampas setelah kekuasaan berganti tangan.
Pemberontakan ini bukan terjadi begitu saja. Kaum Alawi, yang selama puluhan tahun menjadi pilar kekuasaan Assad, kini merasa tersudut. HTS menjanjikan amnesti, tetapi yang mereka rasakan hanyalah intimidasi dan ancaman senjata. Tartus dan Latakia, yang selama ini menjadi jantung komunitas Alawi, kini berubah menjadi medan tempur. Pemberontak tidak sekadar bertahan, mereka berjuang merebut kembali masa lalu yang mereka yakini lebih baik dibandingkan dominasi HTS yang terasa asing bagi mereka.
Turki tak tinggal diam. Konvoi bantuan mereka memasuki Latakia, memberikan dukungan kepada HTS. Sebagai sekutu lama oposisi, Turki mengamankan perbatasannya dari gelombang pengungsi dan potensi kekacauan. Namun, HTS yang awalnya menjanjikan kebebasan kini justru menjadi pihak yang bergantung pada Ankara. Sebuah ironi yang pahit—rakyat melihat dengan jelas bagaimana al-Sharaa kehilangan pijakannya. Pemberontakan ini bukan sekadar ujian kekuatan, tetapi juga menandakan bahwa dukungan Turki tak cukup kuat untuk menopang rezim baru ini.
Ketakutan tak hanya dirasakan oleh kaum Alawi. Minoritas lain, seperti Druze dan Kristen, turut merasa terancam. HTS, dengan ideologi Islamis garis kerasnya, sulit diterima oleh kelompok-kelompok ini. Pemberontakan yang terjadi di Tartus dan Latakia hanyalah permulaan dari ketidakpuasan yang lebih dalam. Jika HTS gagal memadamkan api yang menyala, bukan tak mungkin lebih banyak kelompok akan bangkit. Ini bukan sekadar perlawanan lokal—ini adalah gelombang ketidakpuasan yang siap menyapu seluruh Suriah.
Peluru untuk Rakyat, Diam untuk Israel
Di Tartus, demonstrasi menolak kepemimpinan al-Sharaa berubah menjadi tragedi. HTS menanggapi dengan tembakan brutal. Beberapa demonstran roboh, darah mereka membasahi jalanan yang sunyi. Kekerasan ini mengingatkan pada pola yang terjadi di Idlib—di mana perbedaan pendapat selalu berujung pada represi. Sementara itu, Israel terus memperluas pendudukannya di Dataran Tinggi Golan dan melancarkan serangan, tetapi HTS tetap diam. Al-Sharaa beralasan bahwa Suriah sudah lelah berperang dan perlu fokus ke dalam. Rakyat kecewa—musuh luar tak tersentuh, sedangkan saudara sendiri menjadi sasaran.
Pragmatisme al-Sharaa jelas, tetapi harga yang harus dibayar begitu mahal. Menyerang Israel berarti membuka front baru yang bisa menghancurkan HTS sebelum mereka sempat mengokohkan kekuasaan. Namun, mengabaikan agresi Israel dan justru menembaki rakyat sendiri hanya menambah kekecewaan. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar strategi, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap harapan mereka untuk melawan musuh yang selama ini menjadi ancaman terbesar.
Demonstran bukan sekadar perusuh—mereka adalah suara rakyat yang merasa terpinggirkan. Kaum Alawi, yang kehilangan hak-hak istimewanya sejak era Assad, kini berada di bawah tekanan rezim baru. Kekerasan yang mereka hadapi hanya akan memicu siklus balas dendam. Setiap peluru yang ditembakkan bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga menyalakan bara permusuhan yang bisa bertahan bertahun-tahun. Di saat Israel terus maju dengan kebijakan ekspansinya, HTS justru sibuk menekan rakyatnya sendiri.
HTS mengklaim membawa harapan baru bagi Suriah melalui Komite Nasional 2025. Al-Sharaa berbicara tentang inklusivitas bagi Alawi, Druze, dan Kristen. Namun, kenyataan di Tartus membuktikan sebaliknya. Alih-alih diperlakukan sebagai bagian dari bangsa, komunitas Alawi menghadapi intimidasi dan tekanan bersenjata. Kekerasan terhadap demonstran dan pemberontak semakin menunjukkan bahwa janji-janji al-Sharaa tak lebih dari sekadar kata-kata kosong.
Gagalnya upaya inklusivitas ini berdampak luas. Kaum Druze di Suwayda pernah bertempur melawan HTS, sementara komunitas Kristen di Aleppo melaporkan meningkatnya tekanan dan diskriminasi. Komite Nasional yang digadang-gadang sebagai simbol perubahan justru kehilangan maknanya tanpa tindakan nyata. HTS mungkin menang dalam medan perang, tetapi mereka kalah dalam meraih hati rakyatnya. Pemberontakan dan gelombang demonstrasi ini adalah refleksi dari realitas yang lebih besar—bahwa Suriah masih terluka, dan HTS bukanlah obat yang mereka harapkan.
Bayang-Bayang yang Menyelimuti Harapan
Suriah berada di persimpangan. Pemberontakan yang mengguncang Tartus dan Latakia menjadi alarm yang tak bisa diabaikan. Turki memang menopang HTS, tetapi kepercayaan rakyat semakin runtuh. Sementara itu, Israel terus mengintai di perbatasan, namun HTS tetap memilih untuk menutup mata dan fokus menekan musuh di dalam negeri. Ketegangan yang terjadi bukan sekadar ancaman, melainkan ledakan yang hanya menunggu waktu.
Keputusan HTS untuk menembaki rakyatnya sendiri menciptakan luka baru di tubuh bangsa yang sudah lama terkoyak. Kaum Alawi dan minoritas lainnya merasa dikhianati oleh janji-janji kosong. Turki mungkin bisa memperpanjang usia kekuasaan HTS, tetapi tidak selamanya. Pemberontakan ini bisa menjadi awal dari akhir bagi al-Sharaa—Suriah semakin terpecah, dan HTS hanya menjadi tambalan rapuh di atas luka yang belum sembuh.
Di balik kekacauan ini, ada suara rakyat yang masih hidup, meski dibungkam. Kaum Alawi bertahan, demonstran tetap berteriak meski ancaman senjata mengintai. HTS mungkin memiliki kendali atas senjata, tetapi mereka tidak memiliki kendali atas hati rakyatnya. Pemberontakan ini bukanlah akhir, melainkan tanda bahwa perlawanan masih ada. Suriah, yang lelah dengan perang berkepanjangan, kini mencari secercah cahaya di tengah bayang-bayang gelap yang semakin pekat.
*Sumber Informasi:
Tulisan ini disusun berdasarkan laporan awal dari pengguna X pada 6-7 Maret 2025, yang mencerminkan situasi dinamis di Suriah. Berikut adalah sumber utama yang menjadi dasar analisis:
- Situasi di Tartus: Laporan tentang jam malam dan bentrokan bersenjata di Tartus, dilaporkan oleh @SyriaObserver, 6 Maret 2025.
- Pemberontakan Alawi: Kabar milisi Alawi atau loyalis Assad merebut pos di Tartus dan Latakia, dari @RebelVoiceSy, 6 Maret 2025.
- Dukungan Turki: Informasi pasukan Turki membantu HTS di Latakia, dilaporkan @ConflictNewsX, 7 Maret 2025.
- Kelompok Pemberontak: Klaim “Military Council for the Liberation of Syria” atas serangan di Latakia, dari @LatakiaEye, 7 Maret 2025.
- Kekerasan terhadap Demonstran: Tindakan HTS menembaki demonstran di Tartus, dilaporkan @SyriaTruth, 6 Maret 2025.
- Sikap terhadap Israel: Kritik atas kebisuan HTS terhadap invasi Israel, dari @SuriahWatcher, 7 Maret 2025.
- Ketegangan Minoritas: Intimidasi terhadap Alawi dan Kristen, dilaporkan @VoiceOfMinorities, 7 Maret 2025.
- Pernyataan Al-Sharaa: Kutipan “Suriah lelah perang” dari wawancara Ahmed al-Sharaa dengan BBC, Desember 2024.
- Konteks Historis: Bentrokan HTS dengan Druze dan tekanan terhadap Kristen berdasarkan peristiwa sebelumnya, serta trauma perang saudara 2011-2024 dari pengetahuan umum.
Catatan: Informasi ini belum dikonfirmasi oleh media resmi hingga 7 Maret 2025. Laporan dari X bersifat awal dan dapat diverifikasi lebih lanjut oleh pembaca. Analisis juga diperkaya dengan konteks historis dan logika situasional.