Connect with us

Analisis

Suriah di Ambang Perang Saudara Kedua

Published

on

Di tengah debu dan reruntuhan yang belum reda, Suriah seolah terjebak dalam lingkaran kekerasan yang tiada akhir. Laporan terbaru dari The New York Times mengungkap kebangkitan mengejutkan kelompok Islamic State (ISIS), dengan peningkatan serangan dari 121 pada 2023 menjadi 294 pada 2024 menurut Departemen Pertahanan AS—atau bahkan mencapai 400 menurut Komite Pemantau PBB. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) juga memperingatkan potensi pembantaian terhadap warga sipil di Homs dan wilayah pesisir, menghidupkan kembali bayang-bayang kelam masa perang.

Suriah yang baru saja melewati kejatuhan rezim otoriter Bashar al-Assad kini menghadapi kenyataan pahit: transisi kekuasaan yang dibayangi kekacauan. Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok bersenjata berakar jihadisme yang kini memimpin pemerintahan transisi, berusaha menegakkan otoritas di tengah puing-puing negara. Kerja sama awal HTS dengan Amerika Serikat dalam menggagalkan delapan rencana serangan ISIS di Damaskus memberi sinyal keseriusan mereka dalam memerangi ekstremisme. Namun, gelombang kekerasan sektarian yang menewaskan ratusan warga sipil menandakan HTS belum mampu mengendalikan faksi-faksi milisi di bawah komandonya.

Di pedesaan Homs, warga Jeblaya diancam kelompok bersenjata agar menyerahkan 300 senjata militer atau menghadapi pembantaian. Di Al-Hattaniya dekat Baniyas, mereka dituntut membayar 60 juta pound Suriah dengan ancaman serupa. Ketidakmampuan HTS mengatasi pemerasan bersenjata ini membuka celah yang bisa dimanfaatkan kekuatan destruktif.

Meski tak lagi menguasai wilayah seperti satu dekade lalu, ISIS menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Sekitar 9.000 hingga 10.000 pejuangnya ditahan di penjara yang dijaga Syrian Democratic Forces (SDF) yang didukung AS. Tambahan 40.000 anggota keluarga mereka ditahan di kamp-kamp seperti Al-Hol. Risiko pelarian massal menjadi mimpi buruk yang membayangi. Serangan ISIS pada 2022 ke penjara Hasaka yang membebaskan hampir 400 tahanan menunjukkan betapa rentannya sistem detensi ini.

Menurut Colin Clarke dari Soufan Group, penjara-penjara ini adalah “mahkota permata” bagi ISIS: bukan hanya karena banyaknya pejuang berpengalaman yang ditahan, tetapi juga nilai propagandanya yang mampu mendorong rekrutmen selama berbulan-bulan. Kelemahan dalam pengawasan bisa menjadi pemicu kebangkitan baru ISIS dari balik jeruji besi.

SDF, sebagai garda terdepan melawan ISIS, kini tertekan akibat serangan milisi dukungan Turki, yang menganggap SDF sebagai cabang separatis Kurdi. Gangguan ini melemahkan kapasitas SDF dalam menjaga penjara dan kamp. Meskipun AS telah menambah jumlah pasukan menjadi 2.000 dan melancarkan serangan udara di gurun Suriah untuk menekan ISIS, ketidakpastian arah kebijakan luar negeri AS—terutama setelah era Trump yang skeptis terhadap keterlibatan militer jangka panjang—membuat stabilitas jangka panjang diragukan. Jika AS mundur, kekosongan kekuasaan akan terbuka lebar, memberi ruang bagi kebangkitan ISIS.

Di wilayah pesisir dan Homs, SOHR melaporkan krisis yang lebih kompleks. Warga sipil menghadapi ancaman dari ISIS sekaligus teror kelompok bersenjata oportunistik yang memanfaatkan kekacauan untuk melakukan pemerasan dan intimidasi. Tuduhan genosida terhadap warga Alawit—dengan laporan penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan penghancuran rumah—menggambarkan pola pembersihan etnis yang sistematis. Ketidakmampuan organisasi kemanusiaan menjangkau wilayah-wilayah ini membuat penderitaan warga makin tersembunyi.

Aktivis dari Suweida seperti Ghada al-Shaarani menyebut penganiayaan sektarian juga menarget komunitas Druze. Pola kekerasan ini merefleksikan kembali luka lama dari perang saudara pertama, dengan retorika kebencian sektarian kembali menggema di medan konflik.

HTS menghadapi tantangan multidimensi: menghadapi ISIS, menertibkan milisi internal, serta menahan tekanan eksternal dari serangan Turki terhadap SDF. Pemerintahan baru ini, sebagaimana dilaporkan The New York Times, tampak kekurangan kapasitas untuk mengelola semua ancaman secara bersamaan. Dalam negara yang terfragmentasi, ketidakmampuan HTS memonopoli kekerasan—prasyarat bagi negara yang stabil—membuka ruang bagi aktor lain: ISIS, milisi sektarian, atau bahkan sisa-sisa rezim Assad.

Aaron Zelin dari Washington Institute memperingatkan bahwa satu serangan besar ISIS terhadap warga asing di Damaskus dapat mengubah persepsi global dan memicu intervensi militer yang tak terkendali. Perbedaan ideologis yang tajam antara HTS dan ISIS menambah bara konflik. ISIS, dengan visinya tentang khilafah global, menganggap HTS sebagai pengkhianat karena pragmatisme dan keterlibatannya dengan AS. Sebaliknya, HTS memandang ISIS sebagai ancaman terhadap legitimasi mereka.

Permusuhan ini bukan sekadar persaingan, melainkan pertarungan eksistensial. Jika ISIS berhasil membebaskan tahanan dan memperluas operasinya ke wilayah-wilayah yang dikuasai HTS seperti Damaskus atau Idlib, maka konflik bersenjata terbuka akan sulit dihindari. Suriah bisa terseret dalam perang multi-front yang lebih brutal dibandingkan sebelumnya.

Yang membuat potensi perang saudara kedua ini lebih kelam dibandingkan periode 2011–2024 adalah absennya aktor kuat yang mampu menegakkan stabilitas. Dulu, rezim Assad—meski brutal—memiliki militer yang terorganisir, dukungan Rusia dan Iran, serta struktur pemerintahan yang berfungsi. Kini, HTS adalah kekuatan baru yang belum teruji, dengan otoritas rapuh dan dukungan internasional yang goyah. Rusia dan Iran sibuk di medan konflik lain, sementara AS terlihat enggan terlibat penuh. Tanpa kekuatan yang bisa memaksakan ketertiban, Suriah terancam menjadi arena pertarungan antar faksi yang tak terkendali.

Krisis kemanusiaan memperparah kondisi. Lebih dari satu dekade konflik telah menghancurkan infrastruktur, melumpuhkan ekonomi, dan membuat rakyat kelelahan. Ketika bantuan kemanusiaan tak menjangkau wilayah seperti Homs dan pesisir, warga yang terisolasi menjadi sasaran empuk perekrutan kelompok ekstremis. Jika pada 2011 masih ada harapan perubahan, kini hanya tersisa keputusasaan—bahan bakar konflik yang lebih destruktif.

Kompleksitas aktor yang terlibat memperbesar risiko kekacauan. Jika perang saudara pertama terbagi jelas antara rezim dan oposisi, kini konstelasinya jauh lebih rumit: HTS versus ISIS, milisi sektarian versus minoritas, SDF versus milisi pro-Turki, hingga sisa-sisa pasukan Assad. Banyaknya aktor bersenjata dengan agenda tumpang tindih menciptakan kemungkinan perang multi-front berkepanjangan—tanpa satu pun kekuatan dominan, tapi cukup banyak untuk saling menghancurkan.

Suriah kini berada di persimpangan genting. Tanda-tanda perang saudara kedua kian nyata: kebangkitan ISIS, meningkatnya kekerasan sektarian, lemahnya pemerintahan transisi, dan ketidaksepakatan internasional dalam merespons krisis. Tanpa langkah cepat—penguatan pemerintahan transisi, penekanan terhadap ISIS, penertiban milisi bersenjata, serta penyaluran bantuan kemanusiaan massal—negara ini bisa kembali terperosok ke dalam jurang konflik yang lebih dalam.

Data menunjukkan eskalasi yang mengkhawatirkan: lonjakan serangan ISIS, risiko pelarian 10.000 tahanan, dan ratusan korban kekerasan sektarian. Di tengah lanskap luka dan darah, Suriah seperti kapal bocor di tengah badai, dipimpin nakhoda baru yang belum paham arah pelayaran. Jika dunia membiarkan kapal ini terombang-ambing tanpa arah, maka perang saudara kedua bukan soal “jika,” melainkan “kapan.” Dan kali ini, gelapnya bisa jauh lebih pekat—karena fondasi terakhir yang masih tersisa sudah terlalu rapuh untuk menopang beban sejarah berikutnya.

*Sumber:

https://www.nytimes.com/2025/04/09/world/middleeast/syria-isis-prisoners.html

https://english.almayadeen.net/news/politics/sohr-warns-of-massacre-threats-in-syria-s-homs–coastal-regi

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *