Analisis
Suriah 2025: Pemerintahan Transisi yang Terpecah Belah

Ahmad al-Sharaa, pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), berdiri di podium dengan penuh percaya diri. Matanya menatap tajam ke kamera, suaranya lantang mengumumkan pemerintahan transisi Suriah. Ia berbicara seolah perang belasan tahun telah usai, dan Suriah kini bersatu di bawah satu bendera. Namun, realitas di lapangan jauh dari kata-katanya. Peta pengaruh per 31 Oktober 2025 menunjukkan Suriah masih tercerai-berai, bagaikan puing Aleppo pasca-serangan udara, dengan faksi-faksi yang saling berebut kuasa.
Peta itu mengungkapkan kompleksitas situasi di Suriah secara mendetail. HTS menguasai Idlib dan sebagian barat laut, ditandai warna kuning, termasuk Aleppo dan Hama. Namun, kendali mereka tidak menyeluruh, hanya terbatas pada wilayah tertentu. Suriah bukan hanya Idlib, dan al-Sharaa, meski mengklaim sebagai presiden, tidak berkuasa atas sebagian besar wilayah. Pasukan Kurdi SDF menguasai timur laut, Turki bercokol di utara, Rusia mempertahankan pangkalan di barat, dan AS mendukung sekutunya. Bagaimana al-Sharaa bisa menyebut dirinya pemimpin nasional?
Di timur laut, Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang didominasi Kurdi, mengendalikan wilayah luas seperti Raqqa dan Qamishli. Ditandai warna biru, mereka didukung AS, yang memiliki pangkalan di Abu Kamal. SDF tidak akan tunduk pada al-Sharaa atau HTS, terutama karena pemerintahan transisi tidak menyertakan perwakilan Kurdi. Tanpa representasi, klaim al-Sharaa sebagai pemimpin seluruh Suriah terasa kosong. Ketegangan antara HTS dan SDF pun terus berlanjut dengan bentrokan sporadis di sepanjang garis batas.
Di utara, Turki menguasai Afrin, Jarabulus, dan Al-Bab, ditandai warna biru tua. Bendera Turki menunjukkan Ankara tidak akan mundur. Erdogan mungkin menyambut jatuhnya Assad, tetapi ia tidak akan menyerahkan wilayah ini kepada al-Sharaa. Turki punya kepentingan strategis, termasuk mencegah ekspansi Kurdi. Ribuan tentara Turki masih ada di Suriah, dengan operasi seperti “Euphrates Shield.” Jika Suriah merdeka, mengapa pasukan asing masih menduduki wilayahnya?
Rusia, pendukung utama Assad, tetap bertahan meski Assad lengser. Bendera Rusia di Hmeimim dan Tartus menunjukkan kehadiran mereka. Pangkalan angkatan laut dan udara itu adalah aset strategis bagi Moskow. Suriah adalah batu loncatan geopolitik di Timur Tengah. Al-Sharaa berbicara tentang kedaulatan, tetapi tanpa restu Kremlin, ia hanyalah pemimpin kosong. Rusia juga memastikan pemerintahan baru tidak mengancam posisinya, terutama dengan HTS yang berakar dari Al-Qaeda
Di selatan, Israel terus mengintai dengan waspada. Bendera Israel di Daraa dan zona UNDOF menunjukkan kehadiran mereka. Israel kerap menyerang target yang dianggap ancaman, seperti gudang senjata Iran. Kini, dengan HTS berkuasa di Idlib, serangan udara Israel makin intensif, menargetkan Suriah barat, termasuk Hama. Seorang presiden sejati harusnya melindungi wilayahnya. Namun, al-Sharaa tak berdaya menghentikan agresi ini, melemahkan klaimnya sebagai pemimpin nasional.
Pemerintahan transisi al-Sharaa berdiri di atas fondasi rapuh. Kabinetnya didominasi mantan anggota HTS, yang dulu dikenal sebagai Jabhat al-Nusra, cabang Al-Qaeda. Representasi Kurdi, Alawit, dan Druze nyaris simbolis. Alawit dan Druze hanya diberi posisi kecil, seolah menunjukkan inklusivitas. Namun, ini tetap rezim sektarian berbasis ideologi HTS. Kelompok ini dikenal menerapkan hukum syariah ekstrem, menunjukkan pemerintahan ini jauh dari visi persatuan yang dijanjikan.
Kekejaman juga menodai pemerintahan ini. Pada Maret 2025, lebih dari 1.500 warga Alawit dibantai di pesisir barat, basis pendukung Assad. Ini bukan sekadar korban perang, melainkan pembersihan etnis oleh pasukan yang disebut “tentara Suriah baru.” Tindakan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang legitimasi al-Sharaa. Bagaimana dunia bisa mengakui rezim yang lahir dari darah warganya sendiri? Kekerasan ini mencerminkan sifat sebenarnya dari pemerintahan transisi yang baru.
Konstitusi sementara yang ditandatangani al-Sharaa pada 13 Maret 2025 juga tidak meyakinkan. Ia mengklaim akan ada pemilu dalam beberapa tahun, tetapi janji ini terasa hampa. Pemilu jujur sulit terjadi di bawah HTS, yang punya rekam jejak ekstrem. Di Idlib, mereka mengeksekusi lawan politik dan menekan kebebasan. Al-Sharaa berbicara tentang demokrasi, tetapi dunia tahu ini hanyalah kediktatoran lama dengan wajah baru, tanpa harapan perubahan nyata.
Jalan menuju Suriah yang utuh masih panjang dan penuh rintangan. Kekuatan asing seperti Turki, Rusia, AS, dan Israel masih bercokol di wilayahnya. Faksi-faksi internal terus bersaing, memperparah perpecahan. Harapan menyatukan Suriah terasa seperti mimpi di siang bolong. Assad mungkin telah tumbang, tetapi Suriah belum utuh. Dengan konflik yang tak kunjung usai, negeri ini mungkin tak akan pernah kembali seperti dulu, terjebak dalam pusaran kepentingan global.
Pemerintahan transisi al-Sharaa hanyalah cerminan dari realitas pahit Suriah. Meski diproklamasikan dengan semangat, itu tidak mengubah fakta bahwa stabilitas masih jauh. Kekuatan asing dan faksi internal terus memperkeruh situasi. Perdamaian sejati tetap menjadi fatamorgana di tengah gurun konflik. Suriah, pasca-Assad, masih terpecah, dan visi persatuan al-Sharaa hanyalah ilusi. Negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar pidato untuk bangkit dari reruntuhan perang.
Namun, apa yang tampak sebagai realitas pahit mungkin bukanlah akhir dari segalanya. Di balik pusaran kekuatan asing dan perpecahan internal, ada satu elemen yang tak pernah bisa dilupakan: rakyat Suriah. Mereka adalah potensi yang belum sepenuhnya terungkap—rakyat yang terjepit dalam cengkeraman para pemimpin dan kepentingan global. Suriah mungkin terpecah, namun semangat kebangkitan itu masih ada di hati mereka. Menghitung hari menuju perdamaian sejati bukan lagi soal ilusi, tetapi tentang bagaimana mampu menembus kehancuran yang ada dan membangun kembali sebuah bangsa dari reruntuhan yang paling dalam. Suriah, meski terpecah, tidak harus menjadi sejarah yang hilang begitu saja.