Analisis
Strategi Hamas & Dampak Politik di Balik Serah Jenazah

Momen penyerahan empat jenazah pemukim Israel oleh Hamas menjadi babak baru dalam konflik Gaza yang berkepanjangan. Ini bukan sekadar pertukaran dalam konteks perang, tetapi juga perang narasi yang dimainkan di panggung global. Hamas tidak hanya menyerahkan jasad, tetapi juga menyampaikan pesan politik yang kuat melalui simbolisme, backdrop besar, dan pengemasan momen tersebut. Semua ini adalah bagian dari strategi komunikasi yang bertujuan untuk membentuk persepsi publik tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini.
Backdrop yang menampilkan gambar Benjamin Netanyahu sebagai Dracula adalah pernyataan visual yang tajam. Hamas ingin menampilkan Netanyahu sebagai pemimpin haus darah yang bertanggung jawab atas kematian rakyatnya sendiri. Gambar ini menguatkan narasi bahwa keempat sandera tidak mati di tangan Hamas, tetapi akibat serangan udara Israel sendiri. Dengan menghadirkan peti mati hitam dan gambar para sandera di atasnya, Hamas mengukuhkan simbolisme tragedi dan menantang klaim Israel bahwa mereka adalah satu-satunya pihak yang melindungi rakyatnya dari bahaya.
Reaksi warga Israel terhadap momen ini sangat beragam. Sebagian besar keluarga korban dan masyarakat luas marah kepada pemerintah mereka, yang dianggap gagal menyelamatkan para sandera. Dalam beberapa bulan terakhir, tekanan terhadap Netanyahu semakin meningkat. Demonstrasi besar-besaran terus berlangsung di berbagai kota Israel, menuntut kesepakatan yang lebih cepat untuk menyelamatkan para sandera yang tersisa. Banyak yang merasa bahwa pemerintah lebih memprioritaskan operasi militer ketimbang keselamatan warganya sendiri.
Bagi keluarga Bibas dan Lifshitz, momen ini menjadi pukulan yang begitu dalam. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober, mereka telah berharap para sandera bisa dipulangkan dalam keadaan hidup. Kenyataan bahwa mereka justru menerima jenazah yang diduga tewas akibat serangan udara Israel memperburuk luka yang sudah dalam. Ini menciptakan dilema di masyarakat Israel: apakah mereka harus terus mendukung perang ini atau mulai menekan pemerintah untuk mencari solusi damai yang lebih nyata.
Di sisi lain, Hamas dengan cerdik menggunakan momen ini untuk membangun legitimasi mereka di mata dunia. Tuduhan mereka bahwa Netanyahu dan tentara Israel sendiri yang membunuh para sandera adalah bagian dari upaya membentuk opini publik internasional. Dalam konteks hukum internasional, Hamas ingin memperkuat narasi bahwa Israel tidak hanya melakukan genosida terhadap warga Palestina, tetapi juga gagal melindungi rakyatnya sendiri dari dampak perang yang mereka ciptakan.
Narasi ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, telah dikenai surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Israel juga sedang menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Dengan membingkai penyerahan jenazah ini dalam konteks kejahatan perang Israel, Hamas ingin menggeser perhatian dunia ke arah kebrutalan yang lebih besar, yaitu pembantaian warga sipil Palestina yang telah menelan puluhan ribu korban.
Bagi Hamas, setiap langkah dalam perang ini harus memiliki dampak strategis. Momen penyerahan jenazah ini adalah bukti bagaimana mereka tidak hanya bertempur di medan perang, tetapi juga di arena opini publik global. Dengan mengemas momen ini sedemikian rupa, mereka berusaha melemahkan kepercayaan rakyat Israel terhadap pemimpinnya dan memperkuat kecaman internasional terhadap agresi Israel di Gaza.
Sementara itu, bagi Israel, peristiwa ini semakin memperumit situasi politik dalam negeri. Netanyahu menghadapi tekanan dari berbagai arah: dari keluarga sandera yang marah, dari masyarakat yang menuntut akuntabilitas, dan dari komunitas internasional yang semakin keras mengecam tindakan militernya. Dalam politik Israel, kegagalan menangani krisis sandera bisa menjadi faktor penentu bagi masa depan kepemimpinan Netanyahu yang sudah terancam.
Di tengah semua ini, penderitaan rakyat Palestina terus berlanjut. Gaza tetap hancur lebur, dengan infrastruktur yang luluh lantak dan lebih dari 48.000 orang tewas akibat serangan Israel. Sementara dunia menyaksikan pertukaran ini sebagai drama politik, rakyat Gaza dan Israel yang kehilangan orang-orang tercinta harus terus menanggung dampak perang yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Konflik ini bukan lagi soal siapa yang menang di medan perang, tetapi siapa yang berhasil menguasai narasi di mata dunia.