Analisis
Strategi Cerdik Perlawanan Lebanon Hadapi Israel

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Ketegangan di perbatasan Lebanon-Israel tak pernah benar-benar mereda meski genjatan senjata telah disepakati pada 27 November 2024. Kesepakatan yang dimediasi oleh Amerika Serikat ini dirancang untuk menghentikan eskalasi konflik selama 60 hari. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah penarikan pasukan Israel dari wilayah selatan Lebanon, penggeseran kelompok perlawanan Islam Hizbullah ke utara Sungai Litani, serta penempatan tentara Lebanon di area yang sebelumnya dikontrol oleh militer Israel. Namun, di hari-hari awal penerapannya, pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi, sebagian besar dilakukan oleh Israel.
Amos Hochstein, utusan khusus AS, melaporkan bahwa Israel telah melanggar perjanjian dengan melakukan serangan udara yang menargetkan wilayah Lebanon, termasuk di Marjayoun, yang menewaskan satu orang dan melukai beberapa lainnya. “Ada pelanggaran serius oleh Israel terhadap kesepakatan ini,” kata Hochstein kepada media. Sementara itu, Kementerian Kesehatan Lebanon mencatat bahwa serangan tersebut hanya salah satu dari lebih dari 52 pelanggaran yang dilakukan Israel dalam sehari. Namun, Israel melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu justru menuding kelompok perlawanan sebagai pelanggar kesepakatan. “Kami akan merespons keras setiap pelanggaran, baik kecil maupun besar,” ujar Netanyahu.
Menariknya, Hizbullah memilih langkah yang tak terduga. Mereka tidak langsung merespons pelanggaran tersebut, meskipun serangan Israel telah merenggut nyawa dan melukai warga sipil. Sebaliknya, mereka menunggu pengakuan dari pihak ketiga yang netral atau bahkan dari negara-negara pendukung Israel sendiri. Setelah pernyataan dari utusan khusus AS yang mengakui pelanggaran Israel, kelompok perlawanan melancarkan apa yang mereka sebut sebagai “respons defensif awal” dengan menargetkan posisi militer Israel di Kfarchouba.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Hizbullah menyampaikan, “Serangan ini adalah respons awal terhadap pelanggaran berulang yang dilakukan oleh musuh Israel, termasuk serangan udara yang menewaskan warga sipil serta pelanggaran wilayah udara hingga mencapai ibu kota, Beirut.” Dengan mengaitkan serangan tersebut pada pengakuan pelanggaran sebelumnya, kelompok ini berhasil menghindari tuduhan sebagai pihak yang memulai eskalasi konflik.
Langkah ini menjadi strategi cerdik yang menunjukkan kemampuan kelompok perlawanan untuk memanfaatkan momentum diplomatik dan narasi internasional. Alih-alih menyerang tanpa dasar yang kuat, mereka menunggu pengakuan resmi dari Amerika Serikat, yang selama ini dikenal sebagai pendukung utama Israel. Hal ini memberikan landasan moral sekaligus memperkuat legitimasi tindakan mereka.
Di sisi lain, Israel terus membantah tuduhan bahwa mereka telah melanggar genjatan senjata. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyebut bahwa keberadaan kelompok perlawanan Islam di selatan Sungai Litani adalah pelanggaran perjanjian. “Kami hanya menegakkan isi genjatan senjata,” klaimnya dalam sebuah pernyataan kepada media. Namun, kenyataannya, Israel sendiri telah melakukan lebih dari dua puluh serangan udara di wilayah Lebanon sejak genjatan senjata diberlakukan.
Kepemimpinan Lebanon, melalui Ketua Parlemen Nabih Berri, mengecam keras tindakan Israel. “Apa yang dilakukan oleh pasukan Israel adalah pelanggaran mencolok terhadap kesepakatan genjatan senjata. Kami menyerukan kepada komite pemantau internasional untuk segera mengambil tindakan atas lebih dari 54 pelanggaran yang telah terjadi,” ujar Berri dalam sebuah konferensi pers.
Dengan demikian, respons kelompok perlawanan tidak hanya menunjukkan perlawanan fisik, tetapi juga pemahaman mendalam tentang strategi diplomatik. Menunggu pengakuan dari AS sebelum melancarkan serangan adalah langkah yang menempatkan Israel dalam posisi defensif di mata dunia internasional.
Meskipun genjatan senjata ini dirancang untuk memberikan waktu bagi kedua pihak mengurangi ketegangan, pelanggaran yang terus terjadi, terutama oleh Israel, semakin memperlemah fondasi kesepakatan tersebut. Strategi kelompok perlawanan Islam Lebanon yang memanfaatkan pelanggaran Israel sebagai dasar untuk bertindak telah memperlihatkan kecerdikan mereka dalam menghadapi musuh yang lebih kuat di kancah internasional. Namun, dengan retorika Israel yang semakin keras dan ancaman balasan yang terus dilontarkan, masa depan kesepakatan ini semakin diragukan.