Analisis
Revolusi Suriah Berubah Jadi Perebutan Kekuasaan?

Dulu, rakyat Suriah mengangkat senjata demi revolusi yang mereka yakini akan membawa perubahan besar. Mereka berjuang untuk kebebasan, hak asasi manusia, dan mengakhiri kekejaman rezim Assad. Namun, kini, Suriah tampaknya telah berbalik arah. Setelah penggulingan Bashar al-Assad oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan pembentukan pemerintahan transisi, harapan itu seolah sirna. Yang tersisa adalah perebutan kekuasaan yang semakin keras, dengan rakyat Suriah menjadi pihak yang paling terpinggirkan.
Salah satu momen paling mencengangkan adalah ketidakaktifan HTS saat Suriah National Army (SNA), yang didukung penuh oleh Turki, berperang dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Di mana posisi HTS? Mengapa mereka hanya diam? Bukankah mereka seharusnya berada di garis depan, menyuarakan perdamaian dan kesepakatan antara dua kekuatan yang bertarung ini? Nyatanya, HTS memilih untuk tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut. Mereka tidak mengambil peran untuk menengahi, bahkan cenderung membiarkan SNA yang didukung Turki menguasai lebih banyak wilayah, sementara SDF, mayoritas Kurdi, berada di ujung tanduk.
Sikap pasif HTS dalam situasi ini justru memberi keuntungan besar bagi mereka. Di saat kelompok lain sibuk bertempur, HTS memperkuat posisinya di wilayah yang mereka kendalikan. Tanpa gangguan besar, mereka bisa terus memperluas pengaruh mereka, sementara kekuasaan di Suriah jatuh ke tangan mereka yang lebih siap mengambil kendali. Ini seperti memberi ruang bagi HTS untuk menguasai seluruh Suriah, sebuah langkah strategis yang ternyata lebih menguntungkan daripada terlibat dalam konflik yang bisa saja merugikan mereka.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri: hubungan dekat HTS dengan Turki. Tidak bisa dipisahkan lagi, kedekatan ini memberi Turki ruang lebih besar untuk bertindak sekehendaknya di Suriah. Turki, yang telah menjadi pendukung utama HTS dalam menggulingkan Assad, kini semakin dominan di wilayah utara Suriah. Dengan dukungan militer dan logistik dari Turki, SNA terus melancarkan serangan terhadap SDF, yang seharusnya menjadi bagian dari solusi damai di Suriah. Mengapa HTS diam? Mungkin karena dalam diamnya, mereka meraup manfaat besar. Bagaimanapun, hubungan mereka dengan Turki memberikan mereka perlindungan, sementara Turki juga semakin bebas untuk bertindak tanpa hambatan.
Lebih ironis lagi, meskipun Turki memberi dukungan penuh kepada SNA, mereka juga secara terang-terangan mengabaikan upaya perdamaian. Turki tidak menunjukkan minat untuk berdialog atau mencari solusi yang melibatkan semua pihak. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih jalan perang. Dalam hal ini, Turki seolah menjadi pemain utama di Suriah, dan HTS hanya menjadi pendukung yang pasif, meski mereka sempat dianggap sebagai pemimpin revolusi.
Di balik semua ini, ada satu kenyataan yang sulit diabaikan: revolusi yang dulu digembor-gemborkan untuk membebaskan rakyat Suriah kini telah bergeser menjadi perebutan kekuasaan. Dulu, rakyat Suriah berjuang dengan semangat untuk menciptakan negara yang lebih baik, lebih adil. Namun, sekarang yang ada hanyalah pertarungan antara kelompok-kelompok yang berambisi menguasai lebih banyak wilayah. HTS, yang dulunya digambarkan sebagai pahlawan revolusi, kini lebih terfokus pada memperkuat cengkeramannya di pemerintahan transisi, sementara nasib rakyat Suriah semakin terabaikan.
Lalu, di mana posisi SDF dalam semua ini? Mereka, yang telah berperan besar dalam memerangi ISIS dan melindungi wilayah Kurdi, kini menjadi sasaran serangan dari SNA yang didukung Turki. SDF tidak hanya berjuang melawan musuh internal seperti ISIS, tetapi juga harus menghadapi ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai wilayah mereka. Ini adalah realitas yang menyakitkan, di mana mereka yang berjuang untuk stabilitas dan perdamaian justru harus bertarung untuk mempertahankan eksistensi mereka.
Pada akhirnya, yang lebih terlihat sekarang bukan lagi perjuangan rakyat Suriah untuk kebebasan, tetapi perjuangan kelompok-kelompok yang lebih mengutamakan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat. Jika HTS dan Turki terus mengutamakan ambisi mereka, dan SNA terus menggempur SDF tanpa mencari jalan tengah, maka Suriah akan tetap terperosok dalam konflik tanpa akhir. Dan rakyat Suriah, yang dulu berharap revolusi akan membawa mereka pada masa depan yang lebih baik, kini hanya bisa melihat negara mereka terpecah belah, terperosok dalam kekuasaan yang tak kunjung memberikan kedamaian.
Ketika perang tidak lagi menjadi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi tentang siapa yang paling kuat dan paling berkuasa, rakyat Suriah lah yang harus membayar harga tertinggi. Tidak ada lagi ruang untuk revolusi yang sejati, yang ada hanya perebutan kekuasaan tanpa peduli pada masa depan negara ini. Jika tidak ada langkah konkret menuju rekonsiliasi dan perdamaian, maka Suriah akan terus terjerumus dalam kekacauan yang tak berujung.
*Referensi:
- Violent clashes continue in north Syria as Damascus seeks to disarm US-backed Kurds
- PKK to leave Syria on condition Kurds ‘maintain leadership role’
- Turkish FM vows to defeat US-backed SDF in Syria
- Why Turkiye is so influential in post-Assad Syria
- Negotiators zero in on potential deal to disarm Syria’s last battleground