Connect with us

Analisis

Rekaman di Khan Younis: Fragmen Perlawanan Asimetris

Published

on

Di sebuah titik reruntuhan di Khan Younis, Gaza selatan, di antara puing-puing bangunan dan bayang-bayang yang tak kunjung hilang dari dentuman artileri, muncul sebuah rekaman berdurasi dua menit empat puluh enam detik. Tanpa kata. Tanpa narasi. Hanya gerak kamera dan satu tubuh manusia, mendekati kendaraan lapis baja Israel seperti mendekati kematian dengan wajah terbuka. Ia memanjat Armored Personnel Carrier (APC) milik pasukan elite Sayeret Golani, membuka sesuatu di atasnya, lalu memasukkan bom. Dalam hitungan detik, tiga tentara Israel tewas, beberapa lainnya terluka. Kamera tetap merekam. Dunia menyaksikan. Dan kita—yang menonton dari kejauhan, di rumah-rumah kita yang utuh—diam tak berkedip, mungkin tak percaya.

Bukan karena ini pertama kalinya terjadi. Tapi karena aksi seperti itu, biasanya hanya kita temukan dalam film perang Hollywood, dengan aktor utama berseragam pasukan khusus AS, bersenjata lengkap dan ditopang efek suara dramatis. Tapi ini bukan film. Bukan aktor. Bukan pasukan elit dengan peralatan canggih. Ini seorang pejuang perlawanan dari Gaza—mungkin tanpa alas kaki—melakukan sesuatu yang dalam istilah militer dikenal sebagai forlorn hope, misi yang diambil meski peluang keberhasilannya tipis, dan nyawa yang digadaikan nyaris pasti tak kembali. Tapi ia tetap melakukannya. Dan berhasil.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa yang tampak sebagai aksi nekat, dalam realitas strategi militer ternyata bukan tindakan acak. Laporan dari akun riset lapangan MenchOsint menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari serangkaian operasi terkoordinasi yang melibatkan Al-Qassam Brigades. Bukan hanya terhadap APC. Tapi juga tank Merkava—kebanggaan militer Israel—yang diserang menggunakan alat peledak rakitan lokal bernama “Shawaz”. Operasi serupa dilakukan berkali-kali, dengan hasil yang konsisten. Ini mengindikasikan satu hal: perlawanan yang dijalankan tidak digerakkan oleh amarah semata, tetapi oleh kalkulasi strategis yang matang.

Dalam dunia militer, keberhasilan mendekati dan menghancurkan kendaraan lapis baja seperti APC atau tank membutuhkan lebih dari sekadar keberanian. Ia butuh perencanaan, pengamatan, pembacaan pola, dan pemahaman teknis tentang celah keamanan musuh. Video yang dirilis Al-Qassam memperlihatkan hal itu secara telanjang: target tidak dipilih sembarangan. Mobilisasi dilakukan dalam waktu dan ruang yang tepat. Bahkan mungkin ada pengetahuan bahwa saat lubang di atas kendaraan terbuka, itulah titik terlemah untuk menyusupkan ledakan. Jika benar begitu, ini bukan misi bunuh diri. Ini strategi militer yang dijalankan oleh unit terlatih dalam skema perang asimetris.

Asimetri itulah inti dari dinamika konflik ini. Israel, dengan teknologi militernya yang canggih, sistem perlindungan aktif seperti Trophy APS di tank Merkava, dan superioritas udara yang nyaris tak tertandingi, berhadapan dengan kelompok perlawanan yang bersenjata terbatas, namun penuh improvisasi dan determinasi. Di hadapan sistem radar dan drone pengintai, Al-Qassam menyiapkan senjata rakitan, mengandalkan pengetahuan lokal, dan keberanian individu. Dalam setiap operasi, mereka tampaknya membaca ulang kelemahan lawan, memperbarui taktik, lalu mencobanya lagi—berulang, hingga berhasil. Bahkan ketika gagal, mereka tampaknya belajar. Dan ketika berhasil, mereka tidak hanya mencatat. Mereka merekam. Dan menyebarkan.

Video yang dirilis Al-Qassam bukan hanya dokumentasi. Ia adalah bagian dari strategi psikologis. Dalam perang asimetris, efek visual bisa sekuat rudal. Dengan menyebarkan footage keberhasilan operasi terhadap unit sekelas Sayeret Golani—yang dalam sejarah pernah berperan dalam Operasi Entebbe tahun 1976—Hamas mengirim pesan bahwa tidak ada unit yang kebal. Bahkan elit pun bisa dilumpuhkan. Ini bukan sekadar soal membunuh musuh, tapi juga melemahkan kepercayaan diri mereka, mengganggu opini publik internal, dan mempengaruhi persepsi internasional tentang superioritas militer Israel.

Kita yang menonton dari Indonesia mungkin bertanya-tanya: bagaimana bisa aksi semacam itu dilakukan tanpa pelatihan militer formal? Bagaimana bisa menghadapi tank Merkava hanya dengan perangkat rakitan? Tapi sejarah kita sendiri pernah mencatat sesuatu yang serupa. Dalam masa penjajahan, pejuang kemerdekaan Indonesia tidak bersenjata lengkap. Mereka mengandalkan bambu runcing, penyamaran, dan pemetaan gerilya. Tapi bukan berarti mereka tidak terorganisasi. Gerilya adalah strategi. Seperti halnya apa yang dilakukan Hamas hari ini. Dalam perang tidak setara, taktik lapangan adalah bentuk kecerdasan yang lahir dari keterbatasan.

Kembali pada aksi di Khan Younis, yang membuat publik terdiam bukan hanya karena hasilnya, tapi karena caranya. Ini bukan baku tembak jarak jauh. Ini kontak dekat. Nyaris kontak langsung. Penyerang menyatu dengan kendaraan musuh, mengatasi sistem proteksi dengan kehadiran fisik yang tak terdeteksi radar. Dan dalam sekali ledak, tiga nyawa hilang, ratusan narasi tercipta. Al-Qassam menyebut bahwa mereka juga menarget dua APC lainnya dan menyerang satu menggunakan Yasin-105, senjata buatan sendiri yang dirancang untuk operasi spesifik. Ini bukan sembarang tembakan. Ini skenario perlawanan yang dijalankan dalam siklus aksi, analisis, dan pembaruan.

Di tengah semua ini, muncul pertanyaan etis yang tak terhindarkan. Berapa harga dari sebuah keberhasilan taktis seperti ini? Siapa yang membayar harga itu? Setiap operasi seperti ini melibatkan risiko luar biasa. Bukan hanya bagi yang menjalankan, tapi juga bagi komunitas yang mengelilinginya. Dalam satu sisi, keberhasilan seperti ini memberi semangat bagi gerakan perlawanan. Tapi di sisi lain, ia bisa memicu pembalasan brutal, meningkatkan intensitas kekerasan, dan memperluas dampak kemanusiaan yang tak terhitung. Anak-anak, perempuan, lansia—semua rentan. Strategi militer mungkin efektif, tapi konflik yang panjang tidak mengenal batas antara kombatan dan non-kombatan.

Di Indonesia, kita hidup dalam kedamaian yang rapuh. Tapi bukankah seharusnya itu membuat kita lebih peka, bukan lebih apatis? Apa yang bisa kita pelajari dari keberanian yang terukur, dari kecerdikan dalam kekurangan, dan dari keberanian melawan kekuatan besar dengan alat seadanya? Dan lebih jauh lagi, apakah kita, jika berada di posisi yang sama, akan memilih diam, atau mencari cara, seperti mereka, untuk menyeimbangkan medan—meski hanya sesaat?

Serangan seperti ini, sebagaimana disebutkan banyak analis, bukan tindakan putus asa. Ia adalah bagian dari strategi yang terukur dan berkembang. Ada hitung-hitungan. Ada logistik. Ada komunikasi. Bahkan ada propaganda. Seperti drone-drone sipil di medan Ukraina yang diubah jadi senjata akurat, seperti ranjau jalanan di Irak yang mengalahkan konvoi tank AS, aksi pejuang Hamas hari ini berada dalam satu benang merah: perang asimetris adalah tentang menemukan celah, dan menyusup di antaranya dengan kecermatan yang tak terduga.

Apa yang kita lihat dalam rekaman video itu bukanlah kebetulan. Ia adalah fragmen dari puzzle besar perlawanan. Sebuah puzzle yang dibangun dari batu, nyawa, kabel, dan keyakinan. Ia mungkin tidak sebanding dengan teknologi musuh. Tapi dalam perang seperti ini, sering kali bukan siapa yang punya senjata paling canggih yang menang. Tapi siapa yang paling memahami medan, paling mengenal lawan, dan paling sanggup bertahan dalam waktu paling lama.

Dan mungkin, justru karena itulah, dunia harus belajar kembali bahwa strategi bukan soal alat, tapi soal cara berpikir. Dan dalam reruntuhan Khan Younis, pelajaran itu sedang dipertontonkan dengan jelas. Bukan dalam ruang kelas. Tapi di medan yang dipenuhi debu, darah, dan determinasi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer