Analisis
Radikalisasi Digital: Ancaman Tersembunyi di Singapura

Di tengah gemerlap modernitas Singapura, sebuah laporan pada 2 April 2025 mengguncang kesadaran kita akan kerapuhan harmoni sosial yang selama ini dibanggakan. Seorang remaja berusia 17 tahun, terinspirasi oleh penembakan mengerikan di Christchurch pada 2019 yang menewaskan 51 umat Muslim, merencanakan serangan serupa di lima masjid—Masjid Maarof, Masjid Jamek Queenstown, Masjid Darussalam, Masjid An-Nur, dan Masjid Hajjah Fatimah—dengan target membunuh 100 orang sebelum mengakhiri hidupnya. Bersamaan dengan itu, seorang remaja perempuan berusia 15 tahun terdeteksi ingin bergabung dengan ISIS, menikahi pejuangnya, dan mati sebagai martir. Keduanya, yang ditangani oleh Internal Security Department (ISD) melalui Internal Security Act (ISA), adalah bukti nyata bahwa ancaman radikalisasi tidak lagi hanya datang dari luar, melainkan lahir dari dalam, melalui celah tak terduga: dunia digital.
Kisah ini dimulai dari laporan ISD yang mengungkap bagaimana remaja laki-laki itu, sejak 2022, terjerumus dalam lubang kelam Islamofobia dan ekstremisme sayap kanan jauh setelah mengonsumsi materi online. Ia mengagumi Brenton Tarrant, pelaku Christchurch, dan terobsesi dengan teori “Great Replacement“—sebuah narasi ethno-nasionalis yang mengklaim populasi kulit putih digantikan oleh non-Eropa—meskipun data demografis Singapura, dengan 74% etnis Tionghoa yang stabil, jelas bertolak belakang dengan fantasi itu. Ia bahkan menyebut dirinya “supremasis Asia Timur,” memuja etnis Han, Korea, dan Jepang, sambil membenci Melayu dan India. Sementara itu, remaja perempuan, yang menjadi individu termuda kedua yang ditangani ISA, terpikat oleh propaganda ISIS, bermimpi bertempur di Suriah. Keduanya teradikalisasi secara mandiri, tanpa bertemu atau bergabung dengan jaringan formal, hanya bermodalkan layar ponsel dan koneksi internet.
Singapura, dengan reputasinya sebagai benteng keamanan, tampaknya tersandung pada paradoks teknologi. Negara ini terkenal dengan kontrol perbatasan yang ketat—Bandara Changi adalah bukti nyata—dan sistem intelijen yang canggih. Namun, kasus ini membuktikan bahwa ancaman tidak lagi harus menyeberang pos pemeriksaan; ia merayap masuk melalui Wi-Fi. Remaja laki-laki itu, misalnya, mencoba membeli senjata dari kontak di AS, menanyakan Glock 19 dari penjual asing, hingga mempertimbangkan penyelundupan dari Malaysia atau Thailand. Semua gagal berkat kontrol senjata Singapura yang ketat, tapi niatnya tetap menggetarkan: ia ingin meniru Tarrant, menyiarkan langsung serangan, dan menginspirasi kekerasan lebih luas. ISD berhasil menghentikannya, tapi pertanyaannya menggantung: bagaimana ia bisa sampai sejauh ini tanpa terdeteksi lebih awal?
Jawabannya terletak pada sifat radikalisasi online yang licin dan pribadi. Berbeda dengan terorisme tradisional yang terorganisasi, seperti Jemaah Islamiyah yang pernah mengancam Singapura, kasus ini menunjukkan ancaman yang lebih sulit dilacak. Remaja itu tidak berbagi rencana dengan siapa pun, bahkan orang tuanya yang tahu tentang kebenciannya terhadap Muslim hanya mencoba menasihati tanpa melapor. Sementara itu, remaja perempuan diam-diam merajut mimpi ekstremnya. ISD akhirnya menemukan remaja laki-laki melalui investigasi terkait Nick Lee, 18, yang ditahan pada Desember 2024 karena ekstremisme serupa, tapi ini menunjukkan bahwa keberhasilan intelijen sering kali reaktif, bukan proaktif. Menteri Dalam Negeri K. Shanmugam mengakui, “Mungkin ada orang lain di luar sana, sedang merencanakan, mengonsumsi materi online,” sebuah pernyataan yang menggarisbawahi betapa rapuhnya pertahanan terhadap ancaman tak kasat mata ini.
Edukasi, yang seharusnya menjadi benteng pertama, tampaknya belum cukup tajam. Singapura memang punya Character and Citizenship Education dan Hari Harmoni Rasial untuk menanamkan toleransi, tapi pendekatan ini lebih menyasar harmoni umum, bukan melawan narasi ekstrem spesifik seperti “Great Replacement” atau glorifikasi martir ISIS. Remaja 17 tahun, misalnya, tetap terpikat oleh video Christchurch dan manifesto Tarrant meskipun hidup di masyarakat yang menjunjung multikulturalisme. Ini menunjukkan bahwa pesan toleransi saja tidak cukup; anak muda perlu “imunitas mental” untuk menolak propaganda dengan logika dan empati. Literasi digital yang ada, melalui Digital for Life, lebih fokus pada keamanan siber dasar, bukan mengenali dan mendebat ideologi kebencian yang rumit.
Peran keluarga juga jadi sorotan. Orang tua remaja laki-laki tahu anaknya benci Muslim dan menghabiskan waktu berlebihan online, tapi tidak bertindak lebih jauh. Associate Professor Faishal Ibrahim menyesalkan hal ini, menekankan bahwa keluarga adalah garis pertahanan awal yang sering terlewat. Jika mereka melapor ke phak berwajib, mungkin prosesnya bisa dicegah lebih cepat. Tapi, ada dilema di sini: apakah orang tua takut anak mereka dihukum, atau mereka tidak tahu tanda radikalisasi cukup serius untuk dilaporkan? Ini menunjukkan perlunya kampanye yang lebih agresif untuk mendidik publik tentang apa yang harus dilakukan saat melihat gejala ekstremisme.
Data ISD memperkuat urgensi masalah ini: sejak 2015, 17 individu di bawah 20 tahun ditangani di bawah ISA, sembilan di antaranya ingin menyerang di Singapura. Empat di antaranya, termasuk remaja ini, terinspirasi ekstremisme sayap kanan jauh sejak 2020, semua dipengaruhi Tarrant. Ini bukan lagi ancaman sporadis, melainkan tren yang berkembang. Shanmugam memperingatkan, “Kami harus selalu benar setiap saat, sementara mereka hanya perlu benar sekali untuk membunuh.” Statistik ini bukan sekadar angka; ia adalah alarm bahwa radikalisasi anak muda, terutama via online, adalah bom waktu yang harus segera dilucuti.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, Singapura harus mempertajam edukasi dengan modul khusus tentang ekstremisme digital—mengajarkan anak muda membedah narasi seperti supremasi etnis atau jihadisme dengan fakta dan logika. Kedua, teknologi harus dimanfaatkan lebih cerdas; AI bisa dilatih untuk mendeteksi pola konsumsi konten radikal tanpa melanggar privasi berlebihan. Ketiga, kerja sama dengan platform seperti X atau Telegram harus diperkuat untuk memblokir materi ekstrem sebelum menyebar. Terakhir, komunitas harus digerakkan—kampanye publik yang jelas, dialog terbuka, dan saluran pelaporan yang ramah bisa mendorong keluarga bertindak lebih cepat.
Kasus ini adalah cermin bagi Singapura dan dunia: keamanan modern bukan lagi soal tembok fisik, tapi pertempuran pikiran di ranah digital. Kontrol senjata ketat menyelamatkan Singapura kali ini—remaja itu gagal mendapat AK-47 atau Glock—tapi itu saja tidak cukup. Harmoni sosial yang dibanggakan bisa runtuh jika generasi muda terus diracuni kebencian yang tak terdeteksi. ISD telah membuktikan kemampuannya, tapi keberhasilan mereka akan sia-sia tanpa usaha kolektif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat. Singapura, dengan segala kecanggihannya, harus berlari lebih cepat melawan ancaman yang terus berevolusi ini, atau risiko melihat harmoninya retak oleh tangan anak-anaknya sendiri.