Connect with us

Analisis

Provokasi Israel dan Tekad Perlawanan yang Tak Padam

Published

on

Ratusan ribu orang berkumpul di Beirut pada 23 Februari 2025 untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang Sekretaris Jenderal Hizbullah, Sayyid Syahid Hassan Nasrallah, dan penerusnya, Sayyid Syahid Hashem Safieddine. Dari pagi buta, para pelayat membanjiri stadion Camille Chamoun Sports City. Sekitar 1,4 juta orang, termasuk dari 80 negara, datang untuk menghormati sosok yang bagi mereka adalah simbol perlawanan.

Di tengah lautan manusia yang larut dalam suasana berkabung, suara jet tempur Israel memecah langit Beirut. Pesawat-pesawat itu terbang rendah di atas stadion, sebuah pemandangan yang lebih dari sekadar unjuk kekuatan militer. Ini adalah pesan provokatif, upaya menanamkan ketakutan dan membuktikan bahwa bahkan di momen paling sakral bagi Hizbullah, Israel tetap ingin menunjukkan supremasinya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Daripada menciptakan kepanikan, provokasi ini memantik reaksi sebaliknya. Dari stadion menggema pekikan lantang: “Labbaik Ya, Nasrallah!” dan “Mampus Israel!” Ini bukan sekadar seruan spontan, tetapi ekspresi keberanian dan keteguhan hati bahwa perlawanan tidak mati bersama pemimpinnya. Massa justru semakin solid.

Israel tampaknya mengira bahwa kehilangan seorang figur sentral akan melumpuhkan Hizbullah atau setidaknya melemahkan moral pendukungnya. Tapi, sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa setiap kali seorang pemimpin perlawanan gugur, justru lahir gelombang baru yang lebih besar, lebih marah, dan lebih siap menghadapi agresi yang lebih keras dari sebelumnya.

Lebih jauh, ini bukan sekadar soal penghinaan atau gangguan terhadap upacara pemakaman. Ini adalah bagian dari strategi perang psikologis. Israel memahami bahwa perang tidak hanya terjadi di garis depan, tetapi juga dalam persepsi publik. Mereka ingin mempermalukan Hizbullah, ingin menciptakan kesan bahwa bahkan dalam kematian, Sayyid Hassan Nasrallah tetap berada dalam bayang-bayang kekuatan udara mereka.

Tapi Hizbullah bukanlah organisasi yang mudah dipermalukan. Ketika pemimpin mereka syahid, yang mereka lakukan bukan meratap dalam ketakutan, tetapi menegaskan kembali tekad mereka. Bahkan, provokasi ini bisa menjadi katalis yang mempercepat eskalasi konflik, mengundang respons yang lebih besar dari kelompok-kelompok perlawanan di wilayah lain, termasuk Palestina dan Irak.

Tak lama setelah prosesi selesai, berbagai pernyataan bermunculan. Pemimpin Iran menegaskan bahwa perlawanan tidak akan berhenti. Hamas pun menyampaikan penghormatan mereka, mengingat bagaimana Sayyid Syahid Hassan Nasrallah dengan gigih mendukung perjuangan Palestina. Ini adalah momen konsolidasi, bukan perpecahan. Israel gagal membuat Hizbullah terpecah, justru yang terjadi adalah sebaliknya: perlawanan semakin berakar kuat.

Di sisi lain, pertanyaannya kini bukan lagi soal apakah Hizbullah akan membalas, tetapi bagaimana dan kapan. Serangan impulsif bisa saja terjadi, tetapi kemungkinan besar, Hizbullah akan memilih strategi yang lebih terukur. Mereka memahami bahwa perang tidak hanya dimenangkan dengan amarah, tetapi dengan perhitungan matang, mencari titik terlemah Israel dan memanfaatkan momentum yang tepat.

Ketika Sayyid Syahid Hassan Nasrallah masih hidup, ia sering menyampaikan bahwa perlawanan tidak boleh hanya menjadi reaksi sesaat, tetapi harus menjadi strategi berkelanjutan. Kini, setelah kesyahidannya, prinsip itu akan diuji. Jika Israel berharap bahwa pembunuhan ini akan melemahkan Hizbullah, mereka justru bisa saja menghadapi konsekuensi yang lebih besar dari apa yang mereka duga.

Di medan politik, peristiwa ini juga memperlihatkan bahwa Hizbullah masih memiliki legitimasi yang kuat di mata pendukungnya. Jumlah massa yang hadir di pemakaman bukan hanya refleksi duka, tetapi juga pernyataan politik. Ini adalah bentuk dukungan yang mengisyaratkan bahwa meskipun pemimpin berganti, perjuangan mereka tetap berlanjut, bahkan dengan intensitas yang lebih besar.

Pada akhirnya, provokasi Israel dalam prosesi pemakaman Sayyid Syahid Hassan Nasrallah adalah perjudian besar yang mungkin lebih banyak merugikan mereka sendiri. Jika tujuan mereka adalah untuk menunjukkan dominasi, maka mereka justru telah membangkitkan semangat yang lebih besar dalam barisan perlawanan. Jika tujuan mereka adalah melemahkan Hizbullah, maka mereka justru telah mengukuhkan posisi organisasi itu sebagai simbol keteguhan yang tidak bisa digoyahkan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *