Analisis
Perang Narasi: Iran, AS, dan Bayang-Bayang Konflik

Di sebuah ruangan diplomatik yang penuh ketegangan, para pemimpin dunia bertukar pernyataan yang mengandung tekanan tinggi. Laporan dari Al Mayadeen dan The Cradle membawa kita ke jantung dinamika regional, di mana Iran memperingatkan enam negara tetangganya—Irak, Kuwait, UEA, Qatar, Turki, dan Bahrain—agar tidak membiarkan wilayah mereka dijadikan basis agresi militer AS. Sementara itu, Donald Trump mengeluarkan ultimatum bahwa jika tidak ada kesepakatan nuklir dalam dua bulan, Teheran akan menjadi target pemboman besar-besaran.
Di balik manuver ini, sistem rudal Patriot dan THAAD berpindah lokasi, pesawat siluman B-2 mulai bermanuver dari Diego Garcia, dan narasi pun menjadi senjata strategis yang tak kalah penting dari kekuatan militer.
Strategi Iran: Membangun Ketahanan Melalui Narasi
Laporan Reuters pada 6 April mengutip seorang pejabat senior Iran yang menegaskan bahwa dukungan terhadap serangan AS akan dianggap sebagai “tindakan bermusuhan” dengan “konsekuensi berat.” Peringatan ini dipertegas oleh Mayor Jenderal Hossein Salami dari IRGC, yang dalam pidatonya yang dikutip RT menyatakan bahwa Iran “tidak akan mundur selangkah pun” dan “siap untuk segala jenis perang.”
Pernyataan-pernyataan itu bukan sekadar retorika, tetapi bagian dari strategi psikologis Iran: mengirim pesan ke lawan dan rakyatnya sendiri bahwa mereka mampu bertahan dan siap merespons. Ketika Salami menyebut serangan rudal Iran ke Israel pada 2024 sebagai bukti kemampuan menembus “ilusi keamanan,” itu adalah pernyataan ganda—ditujukan kepada musuh dan sekaligus membangkitkan semangat nasional di dalam negeri.
Trump dan Diplomasi Ancaman
Di Washington, Donald Trump memilih jalur komunikasi yang berbeda, tetapi dengan muatan yang sama kuat. Dalam wawancara dengan NBC yang dikutip Al Mayadeen, ia berkata, “Jika mereka tidak membuat kesepakatan, akan ada pemboman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.” Pernyataan ini mencerminkan gaya khas Trump: penuh tekanan, bernuansa ultimatum, dan ditujukan untuk memaksa Iran ke meja perundingan.
Namun, seperti yang dicatat EurAsian Times, pendekatan ini memiliki paradoks inheren: bagaimana mungkin negosiasi berjalan ketika diawali dengan ancaman? Presiden Iran Masoud Pezeshkian menangkap kontradiksi ini dengan tajam, dengan bertanya dalam pidatonya, “Jika Anda ingin bernegosiasi, apa tujuan ancaman itu?” Retorika seperti ini berisiko menggerus kredibilitas AS, tidak hanya di mata Iran tetapi juga di hadapan sekutu regionalnya yang mulai menunjukkan keraguan.
Israel dan Bahasa Tindakan
Berbeda dengan Iran dan AS yang saling bersahutan dengan pernyataan, Israel memilih pendekatan yang lebih tenang, namun strategis. The Cradle melaporkan bahwa AS mengirimkan sistem THAAD kedua ke Israel dan menempatkannya di pangkalan Nevatim, lokasi yang sebelumnya menjadi sasaran rudal Iran. Kunjungan Benjamin Netanyahu ke Washington mempertegas niat Israel untuk tidak tersisih dalam negosiasi AS-Iran.
Tanpa banyak bicara, Israel menyampaikan pesan melalui langkah militer yang simbolik: penguatan pertahanan dan kesiapan untuk serangan preventif terhadap fasilitas nuklir Iran. Diamnya bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari strategi komunikasi yang menghitung setiap gerakan.
Perang Retorika sebagai Medan Utama
Apa yang kita saksikan bukan sekadar prolog dari potensi konflik bersenjata. Ini adalah perang untuk membentuk persepsi dan opini, baik di dalam negeri maupun internasional. Iran, melalui pernyataan para jenderalnya dan media nasional, membangun narasi kedaulatan dan ketahanan. Salami, dalam wawancara dengan televisi pemerintah yang dikutip RT, menyebut Israel “masih rentan” dan mengklaim Iran telah “menguasai formula untuk mengalahkan musuh ini.”
Pernyataan ini tidak hanya mengirim sinyal ke luar, tapi juga menyatukan rakyat di dalam negeri dengan rasa percaya diri yang didukung oleh kemajuan teknologi militer, seperti rudal hipersonik Fattah-1 dan fasilitas bawah tanah yang siap digunakan, sebagaimana disebutkan oleh EurAsian Times.
Intimidasi AS dan Risiko Eskalasi
Sementara itu, AS terus memainkan kartu kekuatan militer dan ancaman verbal. Al Mayadeen melaporkan pemindahan sistem rudal Patriot dari Korea Selatan ke Timur Tengah dan penempatan enam pesawat pembom siluman B-2 di Diego Garcia. Pesawat-pesawat ini dikenal mampu menembus sistem pertahanan udara lawan dan telah lama menjadi simbol dominasi udara AS.
Namun, pendekatan ini tidak lepas dari risiko. Mantan penasihat Pentagon, Douglas Macgregor, memperingatkan melalui platform X bahwa strategi semacam ini mencerminkan pola kegagalan di Vietnam dan Afghanistan. Jika intimidasi ini gagal membuahkan hasil, narasi bahwa AS adalah agresor yang tidak dapat dipercaya justru akan semakin kuat.
Negara Teluk: Terjepit di Tengah-Tengah
Dalam ketegangan ini, negara-negara Teluk seperti Kuwait, Qatar, dan Turki berada dalam posisi yang sulit. Reuters mencatat bahwa Kuwait telah menyampaikan kepada Iran bahwa wilayahnya tidak akan digunakan sebagai pangkalan serangan, sementara Turki, menurut laporan Al Mayadeen, menyebut tidak menerima peringatan langsung.
Respon mereka mencerminkan keberhasilan strategi komunikasi Iran: membuat sekutu AS di kawasan mempertimbangkan ulang posisi mereka. Ini bisa dibilang sebuah keberhasilan diplomasi Iran, di mana tanpa aksi militer, mereka mampu menggoyahkan kepercayaan pada keutuhan aliansi AS.
Pertempuran Persepsi di Era Informasi
Kekuatan narasi dalam konflik ini diperbesar oleh kecepatan penyebaran informasi. Setiap ancaman Trump yang menjadi berita utama, setiap pidato Salami yang ditayangkan televisi, dan setiap laporan tentang THAAD yang dikirim ke Israel dengan cepat tersebar di media sosial dan kanal berita global. Dampaknya bisa langsung terasa: meningkatnya dukungan rakyat Iran terhadap sikap keras pemerintahnya atau, sebaliknya, meningkatnya tekanan dalam negeri di AS jika publik menilai retorika Trump sebagai tindakan yang gegabah.
Araghchi, dalam laporan Al Mayadeen, menekankan pentingnya “diplomasi berbasis kepercayaan,” yang semakin sulit dicapai dalam atmosfer yang penuh ancaman. Ketika persepsi menjadi arena utama, maka opini publiklah yang bisa menentukan arah langkah politik berikutnya.
Ancaman Salah Perhitungan
Risiko terbesar dari perang retorika adalah salah tafsir. Ketika Trump mengancam pemboman, Iran meningkatkan kesiagaan rudalnya, seperti dilaporkan oleh EurAsian Times. Ketika Iran berbicara soal kemampuan menembus pertahanan Israel, Tel Aviv merespons dengan memperkuat Nevatim.
Satu kesalahan persepsi bisa mengubah arah eskalasi secara drastis. The Cradle bahkan mengutip spekulasi bahwa jika konflik benar-benar meletus, Diego Garcia bisa menjadi salah satu target pertama. Ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara ancaman retoris dan konflik nyata.
Siapa yang Menang dalam Perang Narasi?
Apa yang sedang berlangsung di Timur Tengah hari ini adalah perebutan dominasi dalam ruang persepsi. Iran berusaha membuktikan bahwa mereka bisa bertahan dan bahkan menang dari tekanan maksimum AS, sebagaimana pernah mereka lakukan sejak AS keluar dari JCPOA pada 2018. AS, di sisi lain, mencoba mempertahankan hegemoni globalnya melalui tekanan verbal dan unjuk kekuatan. Sementara Israel, dengan pendekatan yang lebih diam, tetap aktif melalui tindakan militer yang presisi.
Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang memiliki lebih banyak rudal atau pesawat pembom, melainkan siapa yang mampu menguasai narasi. Apakah Iran dengan pesan ketahanannya, Trump dengan ancaman khasnya, atau Israel dengan strateginya yang tak banyak kata?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menentukan arah konflik, tetapi juga cara kita melihat dan memahami dinamika geopolitik di abad ke-21—sebuah era ketika konflik bisa dimulai bukan dengan tembakan, tetapi dengan satu kalimat.
*Sumber: