Connect with us

Analisis

Perang Media di Konflik Suriah: Rakyat Melawan Propaganda

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Sejak awal konflik pada 2011, Suriah menghadapi perang multidimensi yang tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di ranah informasi. Media menjadi senjata ampuh bagi berbagai pihak, termasuk kelompok oposisi dan teroris, untuk menyebarkan disinformasi demi meruntuhkan legitimasi pemerintah Suriah. Namun, tantangan yang dihadapi Suriah jauh melampaui ancaman narasi bohong ini. Media resmi pemerintah Suriah pun menjadi sasaran langsung dari blokade besar-besaran oleh kekuatan internasional.

Pemerintah Suriah mengalami pembungkaman sistematis. Stasiun televisi nasional dan kanal berita Suriah kala itu dilarang mengakses satelit ArabSat dan Nilesat, yang merupakan tulang punggung penyiaran di kawasan Timur Tengah. Blokade ini dilakukan atas tekanan negara-negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi dan sekutunya. Selain itu, situs resmi berita pemerintah seperti Syrian Arab News Agency (SANA) juga diblokir di banyak negara dan menjadi sasaran serangan siber. Warga Suriah bahkan harus menggunakan tautan-tautan alternatif berbentuk angka untuk mengakses berita dari pemerintah. Situasi ini membuat suara pemerintah Suriah hampir tidak terdengar di panggung internasional.

Sementara itu, kelompok oposisi dan teroris memanfaatkan celah ini untuk mendominasi narasi global. Mereka menggunakan media sosial secara masif untuk menyebarkan berita palsu dan video manipulatif yang menuduh pemerintah Suriah melakukan kekejaman terhadap rakyatnya. Narasi ini didukung oleh media-media besar Barat dan kawasan, yang sering kali tanpa verifikasi mendalam menggemakan propaganda kelompok-kelompok tersebut. Dengan dukungan logistik, finansial, dan teknologi dari negara-negara besar, musuh yang dihadapi oleh Suriah bukanlah ancaman kecil.

Namun, rakyat Suriah tidak tinggal diam. Di tengah blokade informasi ini, warga Suriah mengambil inisiatif dengan menciptakan media alternatif di media sosial, terutama Facebook. Mereka membangun jaringan berita lokal seperti Halab News Network (HNN) dan Qalamoun News Network (QNN), yang menjadi corong informasi langsung dari lapangan. Aktivis digital ini tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga membongkar disinformasi yang disebarkan oleh kelompok oposisi. Banyak video yang menuding militer Suriah terbukti manipulatif, dan rekaman-rekaman asli dari warga menunjukkan bahwa kekejaman yang dituduhkan sebenarnya dilakukan oleh kelompok oposisi atau teroris.

Perjuangan warga Suriah ini membuktikan bahwa mereka bukan sekadar penonton dalam konflik ini, tetapi aktor utama dalam mempertahankan narasi kebenaran. Melalui platform yang sederhana, mereka melawan propaganda yang didukung kekuatan internasional besar. Keberhasilan ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat Suriah tetap bertahan hingga kini.

Jika saja perang informasi ini dimenangkan sepenuhnya oleh kelompok oposisi dan teroris, Suriah mungkin sudah bernasib seperti Libya, yang jatuh dalam kehancuran total setelah kehilangan kontrol negara. Nasib Presiden Bashar al-Assad pun mungkin akan serupa dengan Kolonel Muammar Khadafi, yang kehilangan kekuasaan dan tewas dengan tragis. Namun, keberanian dan ketahanan rakyat Suriah dalam melawan disinformasi menjadi benteng terakhir yang menjaga negara mereka tetap berdiri.

Melalui perjuangan warga biasa, Suriah tidak hanya melawan ancaman fisik tetapi juga tekanan global yang bertujuan meruntuhkan negaranya. Kisah ini menjadi bukti bahwa kekuatan solidaritas dan kebenaran dapat mengalahkan propaganda terorganisir, bahkan jika yang dihadapi adalah kekuatan besar dengan agenda politik yang jelas.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *