Analisis
Perang Ekonomi AS vs BRICS: Perebutan Dominasi Global

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Donald Trump baru-baru ini mengancam akan mengenakan tarif 100% terhadap negara-negara BRICS jika mereka melanjutkan rencana untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyatakan, “Kami membutuhkan komitmen dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan mata uang BRICS baru, atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar AS, atau mereka akan menghadapi tarif 100% dan harus mengucapkan selamat tinggal pada penjualan ke ekonomi AS yang luar biasa.” Pernyataan ini menyoroti ketegangan yang tengah terjadi di panggung global, di mana persaingan untuk dominasi ekonomi semakin memanas.
Langkah BRICS untuk mendukung perdagangan dalam mata uang lokal dan menjauh dari dolar AS telah memicu kekhawatiran di Washington. Ancaman tarif 100% dari Donald Trump terhadap negara-negara BRICS yang terus maju dengan upaya de-dolarisasi hanya menunjukkan betapa seriusnya AS mempertahankan dominasi ekonominya. Namun, apa yang tampak sebagai pertahanan dari posisi mapan ini justru dapat mempercepat transisi menuju tatanan global yang lebih multipolar.
Sebaliknya, negara-negara BRICS, yang kini diperkuat oleh anggota baru seperti Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, terus berupaya mengurangi ketergantungan pada dolar. Sistem pembayaran alternatif yang mereka kembangkan, seperti yang dilakukan Iran dengan Rusia, adalah bukti nyata bahwa ada jalan untuk menghindari tekanan ekonomi Barat. Namun, apakah perang ekonomi ini benar-benar memberikan jalan keluar yang lebih adil?
Negara-negara dunia ketiga, yang sudah menghadapi berbagai tantangan pembangunan, berada di tengah persimpangan yang sulit. Ketidakstabilan yang diciptakan oleh perang ekonomi ini memberikan dampak langsung terhadap mereka. Ketidakpastian ekonomi global menjadi salah satu tantangan terbesar. Negara-negara yang bergantung pada perdagangan internasional menghadapi risiko besar akibat fluktuasi nilai mata uang dan kenaikan biaya pinjaman. Ketegangan antara dolar AS dan mata uang alternatif BRICS menciptakan volatilitas yang mempersulit perencanaan ekonomi.
Pilihan yang terbatas juga menjadi dilema lain. Banyak negara dunia ketiga bergantung pada AS untuk bantuan dan perdagangan, tetapi di sisi lain, BRICS menawarkan peluang baru dalam pembiayaan dan perdagangan yang lebih mandiri. Namun, terjebak dalam konflik antara dua kekuatan besar ini dapat membuat mereka kehilangan otonomi dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Gangguan rantai pasok menjadi ancaman nyata. Perang tarif dan pembatasan perdagangan dapat mengganggu rantai pasok global, memengaruhi negara-negara dunia ketiga yang menjadi penyedia bahan mentah untuk industri di China atau pemasok energi ke negara-negara Barat. Selain itu, fluktuasi harga energi dan komoditas akibat ketegangan geopolitik memberikan pukulan telak bagi negara-negara dunia ketiga yang bergantung pada ekspor sumber daya alam. Pendapatan mereka berpotensi anjlok, sementara biaya impor bahan bakar bisa melonjak.
Namun, di balik semua tantangan ini, ada peluang besar bagi dunia ketiga untuk memanfaatkan dinamika baru ini. BRICS menawarkan alternatif melalui sistem pembiayaan dan perdagangan yang lebih inklusif. Bank Pembangunan BRICS, misalnya, dapat menjadi solusi bagi negara-negara yang selama ini menghadapi kendala dalam mendapatkan pinjaman dari lembaga Barat seperti IMF. Selain itu, diversifikasi pasar yang ditawarkan oleh BRICS dapat membantu dunia ketiga mengurangi ketergantungan pada pasar Barat yang sering kali bersifat protektif.
Peluang ini hanya dapat dimanfaatkan jika negara-negara dunia ketiga memiliki kebijakan yang matang dan strategi yang jelas. Ketergantungan baru, kali ini pada BRICS, harus dihindari agar mereka tidak jatuh ke dalam perangkap dominasi ekonomi yang lain.
Perang ekonomi antara AS dan BRICS bukanlah konflik sederhana. Dampaknya meluas, mengguncang tatanan global yang selama ini bergantung pada dominasi dolar AS. Negara-negara dunia ketiga, yang paling rentan terhadap perubahan ini, menghadapi tantangan besar sekaligus peluang yang menentukan masa depan mereka. Dalam lanskap yang berubah ini, pilihan strategis yang diambil oleh dunia ketiga akan menentukan apakah mereka akan tetap menjadi korban konflik kekuatan besar, atau justru menjadi aktor penting dalam membentuk tatanan dunia baru yang lebih adil dan seimbang.