Analisis
Perang atau Damai: Israel di Ujung Tanduk Hadapi Iran

Di tengah gemuruh ketegangan geopolitik, bayang-bayang konflik antara Israel dan Iran kembali menyelimuti Timur Tengah. Laporan dari The Cradle menggambarkan Israel, di bawah komando Benjamin Netanyahu, sedang mempertimbangkan serangan terbatas terhadap fasilitas nuklir Iran, meski dengan skala lebih kecil dari rencana awal. Namun, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar membantah adanya rencana serangan dalam waktu dekat, menegaskan preferensi untuk diplomasi. Ketidaksesuaian ini mencerminkan dilema Israel: perang atau damai dengan Iran?
Netanyahu, dengan retorika hawkish-nya, telah lama memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Laporan The New York Times mengungkap bahwa Israel sempat mengusulkan serangan bersama dengan AS terhadap fasilitas nuklir Iran, namun ditolak oleh Presiden Donald Trump, yang memilih negosiasi. Serangan Oktober 2024, yang melibatkan lebih dari 100 pesawat tempur Israel, gagal merusak infrastruktur strategis Iran, hanya menewaskan dua tentara. Sistem pertahanan udara Iran, diperkuat teknologi Rusia, berhasil menangkal serangan tersebut.
Kegagalan ini bukan yang pertama. Serangan Israel di Isfahan pada April 2024 juga hanya menyebabkan kerusakan kecil, diolok-olok Iran sebagai “memalukan.” Al Mayadeen mencatat bahwa serangan balasan Iran, seperti pada April dan Oktober 2024, melibatkan ratusan rudal dan drone, menguji sistem pertahanan Iron Dome Israel. Meskipun sebagian besar dicegat, serangan ini memaksa Israel mengerahkan sumber daya besar, menunjukkan kapasitas Iran untuk mengganggu. Apakah Netanyahu tidak belajar dari pola ini?
Dari perspektif perang, serangan militer tampak menggoda bagi Netanyahu. Laporan Reuters menyebutkan Israel masih mempertimbangkan serangan terbatas dengan campuran serangan udara dan operasi komando, yang dapat menunda program nuklir Iran selama beberapa bulan hingga setahun. Israel telah menyebabkan kerugian signifikan bagi sekutu Iran seperti Hamas dan Hizbullah, termasuk membunuh pemimpin senior dan merusak infrastruktur mereka. Namun, kedua kelompok tetap kuat, mempertahankan kemampuan serangan dan dukungan Iran, menunjukkan keterbatasan dampak serangan Israel.
Iran bukan lawan yang lemah. Dengan dukungan Rusia dan kemampuan proksi di Lebanon, Yaman, dan Irak, Iran dapat membalas dengan serangan asimetris yang lebih merusak. Serangan rudal balistik Iran pada Oktober 2024, sebagai respons atas pembunuhan pejabat IRGC, menunjukkan kesiapan Teheran untuk eskalasi. The Cradle mencatat bahwa serangan ini, meski dicegat, menguras sumber daya Israel. Perang terbuka dengan Iran dapat menyeret Israel ke konflik multi-front, melemahkan ekonominya dan stabilitas regional.
Di sisi lain, jalur damai melalui negosiasi AS-Iran menawarkan peluang untuk meredakan ketegangan. The New York Times melaporkan bahwa Trump, menolak serangan militer, memilih diplomasi dengan tenggat waktu beberapa bulan untuk kesepakatan nuklir. Negosiasi di Roma, dimediasi Oman, telah menunjukkan kemajuan, dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyatakan bahwa prinsip dan tujuan tertentu telah disepakati. Kesepakatan yang membatasi pengayaan uranium Iran dapat mengurangi ancaman yang dirasakan Israel.
Namun, Netanyahu tetap skeptis. Ia menuntut pembongkaran total program nuklir Iran, mirip dengan model Libya 2003, sebuah syarat yang dianggap tidak realistis oleh Teheran. Reuters mengutip Araghchi yang menegaskan bahwa pengayaan uranium tidak dapat dinegosiasikan. Sikap keras kepala ini mencerminkan ketidakpercayaan Israel terhadap niat Iran, sebagaimana diungkapkan Sa’ar, yang menyebut Iran tidak dapat dipercaya. Jika negosiasi gagal, Netanyahu mungkin melihatnya sebagai pembenaran untuk serangan militer.
Pilihan perang bukan tanpa risiko domestik. Netanyahu menghadapi tekanan internal akibat konflik di Gaza dan Lebanon, yang telah membebani ekonomi dan militer Israel. The Cradle mencatat bahwa Hamas dan Hizbullah, meski menghadapi kerusakan, tetap menjadi ancaman dengan kemampuan roket dan dukungan populer. Serangan baru ke Iran dapat memicu protes domestik, terutama jika menyebabkan korban jiwa atau krisis ekonomi lebih lanjut. Penolakan AS terhadap serangan dapat mengisolasi Israel secara diplomatik.
Jalur damai juga memiliki kelemahan. Kesepakatan nuklir, meskipun berhasil, mungkin tidak memuaskan Israel jika tidak mencakup pembatasan rudal balistik Iran atau dukungan untuk proksi. Al Mayadeen mengutip kepala International Atomic Energy Agency (IAEA) Rafael Grossi, yang menegaskan bahwa ancaman terhadap fasilitas nuklir Iran tidak dapat diterima karena risiko lingkungan. Ketidakpatuhan Iran di masa depan, seperti setelah AS keluar dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA )pada 2018, dapat memicu krisis baru, memperkuat argumen Netanyahu untuk tindakan militer.
Netanyahu berada di persimpangan. Perang menawarkan solusi cepat tetapi berisiko tinggi, dengan sejarah kegagalan serangan terbatas dan potensi eskalasi yang tidak terkendali. Damai melalui negosiasi bergantung pada kepercayaan terhadap Iran dan AS, dua entitas yang sering diragukan Israel. Reuters menyebutkan bahwa Israel mungkin melihat momen ini sebagai waktu yang tepat untuk menyerang, mengingat tekanan pada Iran. Namun, kegagalan Oktober 2024 seharusnya menjadi peringatan bahwa serangan semacam itu jarang mencapai tujuan strategis.
Pilihan terbaik bagi Israel mungkin adalah mendukung diplomasi sambil mempertahankan tekanan militer sebagai cadangan. Negosiasi yang menghasilkan pengawasan ketat terhadap program nuklir Iran, seperti yang disoroti Grossi, dapat menunda ancaman tanpa memicu perang. Namun, Netanyahu harus belajar dari kegagalan masa lalu: serangan terbatas tidak menghentikan Iran, hanya memperkuat tekadnya. Dengan AS memimpin negosiasi, Israel harus memanfaatkan pengaruhnya untuk memastikan kesepakatan yang kuat, bukan mengandalkan kekuatan militer yang terbukti terbatas.
Keputusan Netanyahu akan membentuk masa depan Timur Tengah. Perang dapat memicu kekacauan regional, sementara damai menawarkan stabilitas yang rapuh. Dengan sejarah ketegangan dan distrust, jalan menuju perdamaian penuh rintangan. Namun, kegagalan serangan sebelumnya dan risiko eskalasi menunjukkan bahwa diplomasi, meskipun tidak sempurna, adalah pilihan yang lebih bijaksana. Israel harus memilih: menghidupkan api konflik atau meredamnya demi stabilitas jangka panjang.
Daftar Sumber
- The Cradle, “Israel mulls limited attack on Iran as second round of nuclear talks takes place in Rome.”
- Al Mayadeen, “Israeli FM denies plans to attack Iran next month, The Telegraph.”
- The New York Times, “Trump Waved Off Planned Israeli Strike on Iranian Nuclear Sites.”
- Reuters, “Exclusive: Israel still eyeing a limited attack on Iran’s nuclear facilities.”
- The Times of Israel, “April 19: US official: ‘Very good progress’ made in Iran talks; we’ll meet again next week.”
- The Washington Post, “Netanyahu tells U.S. that Israel will strike Iranian military, not nuclear or oil, targets.”
- BBC, “What is Hamas and why is it fighting with Israel in Gaza?”
- The Atlantic Council, “What lies ahead for the Israel-Hamas war—and what the United States should do about it.”
- CSIS, “Escalating to War between Israel, Hezbollah, and Iran.”
- Foreign Affairs, “Israel and Hezbollah Are Escalating Toward Catastrophe.”
- The Soufan Center, “Israeli Escalation Against Hezbollah Risks Wider War.”