Analisis
Normalisasi Israel-Saudi: Diplomasi atau Pengkhianatan Palestina?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Langkah Arab Saudi menuju normalisasi dengan Israel, yang dilaporkan semakin dekat, bukan hanya mengejutkan tetapi juga sarat dengan kontroversi. Dalam perkembangan terbaru yang diungkap al-Mayadeen, Riyadh dan Tel Aviv disebut telah mencapai kemajuan signifikan dalam negosiasi. Perjanjian tersebut mencakup janji samar untuk sebuah “jalur menuju negara Palestina” alih-alih pengakuan penuh atas negara Palestina.
Menurut laporan tersebut, Saudi telah melunakkan tuntutannya terhadap Israel, dari pengakuan eksplisit terhadap Palestina menjadi sekadar komitmen abstrak. Dalam hal ini, komitmen tersebut lebih merupakan simbolis ketimbang langkah nyata untuk memajukan kepentingan Palestina. Bahkan, Putra Mahkota Mohammed bin Salman disebut tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap isu Palestina, kecuali untuk mendapatkan dukungan domestik yang diperlukan guna mewujudkan normalisasi tersebut.
Arab Saudi, yang selama ini mengklaim diri sebagai pemimpin dunia Islam, perlahan meninggalkan posisi simbolisnya dalam memperjuangkan hak-hak Palestina. Dalam diskursus ini, klaim Mohammed bin Salman bahwa normalisasi adalah langkah pragmatis untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel terdengar seperti dalih kosong. Fakta bahwa MbS tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap isu Palestina semakin menegaskan bahwa langkah ini semata-mata untuk memperkuat posisi geopolitik Saudi. Dengan dukungan Amerika Serikat yang menjanjikan pakta pertahanan dan akses ke senjata canggih, Riyadh tampaknya lebih fokus pada ambisi domestik dan regionalnya, seperti persaingan dengan Iran, ketimbang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Palestina.
Narasi “pragmatisme” ini mungkin dapat meredam kritik sementara waktu, tetapi tanpa hasil konkret, langkah ini hanya akan memperburuk penderitaan rakyat Palestina. Gencatan senjata di Gaza yang disebut-sebut sebagai bagian dari kesepakatan ini hanyalah langkah simbolis. Tidak ada indikasi bahwa blokade atau pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina akan berakhir. Justru, dengan normalisasi ini, tekanan internasional terhadap Israel untuk mematuhi hukum internasional semakin berkurang.
Normalisasi Saudi dengan Israel tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas: bagaimana dunia Arab perlahan mengabaikan Palestina demi keuntungan mereka sendiri. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain telah lebih dulu mengambil langkah serupa, dan kini Saudi tampaknya mengikuti jejak yang sama. Bagi Palestina, ini bukan hanya pengkhianatan, tetapi juga tikaman dari belakang. Setiap bentuk normalisasi, apalagi tanpa konsesi besar dari Israel, hanya akan melemahkan perjuangan mereka dan memperkuat posisi pendudukan.
Langkah ini juga memiliki dampak jangka panjang yang berbahaya. Ketika Arab Saudi, yang selama ini dianggap sebagai pelindung dua kota suci umat Islam, memilih untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, pesan yang tersampaikan adalah bahwa isu Palestina tidak lagi menjadi prioritas dunia Islam. Ini tidak hanya melukai solidaritas Muslim terhadap Palestina, tetapi juga membuka jalan bagi Israel untuk memperkuat legitimasi mereka atas tanah yang mereka duduki.
Jika Saudi benar-benar peduli pada Palestina, mereka akan menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan penghentian pendudukan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pengakuan penuh terhadap negara Palestina. Namun, langkah ini justru menunjukkan bahwa Palestina hanya menjadi alat tawar-menawar dalam ambisi geopolitik Riyadh. Dengan demikian, normalisasi ini tidak lebih dari sebuah transaksi politik yang mengorbankan perjuangan Palestina demi keuntungan pragmatis Saudi.
Rakyat Palestina, yang telah menderita selama puluhan tahun di bawah pendudukan dan blokade, tentu memandang langkah ini dengan kekecewaan mendalam. Normalisasi dengan Israel, apalagi tanpa syarat tegas untuk mengakhiri penjajahan, adalah bentuk pengabaian terhadap penderitaan mereka. Saudi mungkin akan mencoba membungkus langkah ini dengan narasi diplomatik yang manis, tetapi pada akhirnya, tindakan ini hanya akan tercatat sebagai bab kelam dalam perjuangan Palestina.
Arab Saudi, dengan segala klaimnya sebagai pemimpin dunia Islam, harusnya menjadi pembela keadilan dan pendukung utama rakyat Palestina. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Langkah ini bukan hanya menunjukkan betapa jauhnya Saudi dari peran tersebut, tetapi juga menegaskan bahwa dalam dunia politik, kepentingan pragmatis sering kali lebih diutamakan daripada prinsip dan nilai-nilai moral.