Connect with us

Analisis

Netanyahu Menukar Gaza Demi Kursi Kekuasaan

Published

on

Ada absurditas yang sukar dipahami, tapi sayangnya nyata: sebuah negeri yang menyebut dirinya demokrasi rela menghancurkan Gaza demi menyelamatkan kursi seorang perdana menteri yang rapuh. Benjamin Netanyahu, pria yang sudah kenyang dengan intrik politik, kini menjadikan perang sebagai sandaran terakhir untuk bertahan hidup. Di balik jargon keamanan nasional, sebenarnya ada drama personal: mempertahankan koalisi rapuh, menenangkan menteri-menteri sayap kanan, sekaligus mengulur waktu dari jeratan hukum internasional.

Ketika media Israel melaporkan rencana Gideon’s Chariots 2, operasi reokupasi Gaza yang diproyeksikan berlangsung hingga 2026, saya rasa kita tidak sedang membaca strategi militer, melainkan memo politik. Netanyahu tahu betul: tanpa perang, pemerintahannya akan runtuh. Tanpa darah di Gaza, kursinya bisa direbut Ben Gvir dan Smotrich, dua figur sayap kanan yang seolah menggenggam kunci koalisi. Ironinya, perang yang memakan puluhan ribu jiwa Palestina itu bisa jadi hanyalah biaya perpanjangan kontrak politik satu orang.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita semua tahu politik adalah arena kompromi. Namun di Israel, komprominya makin absurd. Netanyahu bukan lagi sekadar pemimpin; ia tawanan dari para menterinya sendiri. Ben Gvir mengancam keluar koalisi jika ada gencatan senjata, Smotrich menekan dengan retorika reokupasi penuh Gaza. Hasilnya: Netanyahu memilih menjadi boneka perang, meski panggung dunia semakin sepi dari tepuk tangan. Demokrasi yang katanya modern berubah jadi drama sandera politik, di mana rakyat Palestina dijadikan korban barter kekuasaan.

Sementara itu, angka korban di Gaza mencapai 62 ribu jiwa sejak Oktober 2023. Tapi apakah itu menghentikan ambisi Netanyahu? Tidak. Justru korban menjadi bahan bakar narasi: semakin banyak mayat, semakin keras klaim bahwa “Israel masih dalam ancaman.” Padahal, jika Hamas sudah menyetujui tuntutan Israel soal pembebasan sandera, bukankah logis untuk membuka ruang damai? Tetapi logika itu tak laku di meja kabinet Netanyahu. Yang laku adalah prolongasi perang, sebab hanya dengan begitu koalisi bisa tetap utuh.

Di titik ini, saya jadi teringat cerita lokal kita tentang politikus yang tak rela lengser meski rakyat sudah muak. Bedanya, di sini biasanya taruhannya hanya kursi DPRD atau jabatan bupati. Di tangan Netanyahu, taruhannya adalah nyawa manusia dan stabilitas regional. Bayangkan kalau di Indonesia ada pemimpin yang menghalalkan perang saudara hanya demi menghindari mosi tidak percaya. Absurd, bukan? Tapi di Israel, absurditas itu jadi kenyataan sehari-hari.

Netanyahu pun tampak mempermainkan isu sandera. Ketika mediator internasional berhasil merancang kesepakatan, ia justru mengulur, mengubah syarat, bahkan melanjutkan agresi. Di mata rakyatnya, ia tampil sebagai pemimpin keras kepala yang tak mau tunduk pada Hamas. Namun di balik layar, kita bisa menduga ini strategi licik: menolak perdamaian berarti menolak runtuhnya kabinet. Perdamaian baginya justru bencana politik. Bukankah ironis ketika jalan damai menjadi ancaman terbesar bagi perdana menteri sebuah negara?

Ada satu hal lagi yang tak boleh dilupakan: surat perintah penangkapan dari ICC dan gugatan genosida di ICJ. Netanyahu sadar, setiap langkahnya kini diawasi dunia. Namun alih-alih menahan diri, ia memilih melipatgandakan agresi. Logikanya sederhana sekaligus sinis: jika ia terus memimpin perang, para pendukung domestiknya akan melihatnya sebagai “pahlawan nasional”, bukan terdakwa internasional. Perang dijadikan tameng, kursi perdana menteri dijadikan benteng pribadi. Lagi-lagi, rakyat Palestina menjadi collateral damage dari ketakutan seorang pria menghadapi pengadilan.

Yang lebih menarik, publik Israel pun kian terbelah. Ada keluarga sandera yang berunjuk rasa, menuntut segera ada kesepakatan damai. Mereka sadar, keberlanjutan perang bukan solusi. Tetapi suara mereka kalah keras dibanding gertakan Ben Gvir dan Smotrich. Demokrasi Israel, yang konon menjadi “oasis” di Timur Tengah, ternyata tak sanggup mendengar jeritan warganya sendiri. Justru tunduk pada ekstremisme internal yang terus menggeret negara ke jurang radikalisme.

Lalu apa artinya bagi kita, yang hidup jauh dari Gaza? Saya rasa, ini jadi cermin. Politik yang dibiarkan tunduk pada kepentingan pribadi dan koalisi ekstrem akan selalu melahirkan tragedi. Kita mungkin tidak menyaksikan tank melaju di jalanan Jakarta, tapi bentuk lain dari absurditas itu bisa muncul: kebijakan yang mengorbankan rakyat demi kelanggengan kursi. Jika di Israel kursi Netanyahu dibayar dengan bom di Gaza, di negeri lain kursi bisa dibayar dengan kelaparan, korupsi, atau penggusuran.

Saya tidak ingin menyederhanakan tragedi Gaza. Namun jelas terlihat, Netanyahu kini lebih mirip pemain sirkus yang berusaha menyeimbangkan banyak bola di udara: satu bola bernama koalisi, satu lagi ICC, satu lagi Ben Gvir, satu lagi sandera, dan entah berapa lagi. Masalahnya, setiap kali ia gagal menangkap bola, bukan dirinya yang jatuh—melainkan Gaza yang hancur. Inilah absurditas politik modern: kesalahan seorang pemimpin dibayar mahal oleh rakyat yang sama sekali tak punya pilihan.

Ketika Menteri Pertahanan Israel mengancam bahwa “gerbang neraka akan terbuka bagi Hamas,” saya justru melihat sebaliknya: gerbang neraka sudah terbuka, tapi bagi rakyat Palestina. Dan pintu itu dibuka lebar-lebar oleh Netanyahu sendiri. Semua demi apa? Demi kursi yang sewaktu-waktu bisa direbut lawan politiknya. Kursi yang seharusnya jadi amanah malah berubah jadi alasan pembantaian.

Pada akhirnya, pertanyaan yang menghantui bukan lagi soal kapan perang akan usai, tapi berapa lama Netanyahu bisa bertahan dengan politik penuh darah ini. Ia bisa menunda kejatuhan dengan bom, bisa menunda sidang pengadilan dengan tank, bisa menunda perpecahan koalisi dengan pengungsian massal. Namun sejarah selalu lebih sabar dari politisi. Cepat atau lambat, Netanyahu akan terseret keluar panggung. Sayangnya, sebelum itu terjadi, Gaza sudah lebih dulu jadi reruntuhan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer