Analisis
Motif Terselubung AS di Suriah: Minyak, Assad, dan Hegemoni

Di tengah lanskap Suriah yang berdebu, di mana puing-puing perang bercampur dengan ambisi geopolitik, Pentagon mengumumkan rencana untuk memangkas pasukan AS dari sekitar 2.000 menjadi di bawah 1.000, sebagaimana dilaporkan oleh Al Mayadeen. Konsolidasi ini, yang dikemas sebagai bagian dari Operasi Inherent Resolve untuk melawan ISIS, memicu pertanyaan tajam: apakah kehadiran AS di Suriah benar-benar tentang terorisme, atau ada motif yang lebih dalam—menggulingkan Assad, mengamankan minyak, dan mempertahankan hegemoni regional?
Pengumuman ini bukanlah sekadar penyesuaian militer. Ia datang setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad, sebuah peristiwa yang menandai titik balik politik di Suriah. Pentagon, melalui juru bicara Sean Parnell, menyebut pengurangan ini sebagai proses “disengaja dan berdasarkan kondisi,” dengan pasukan yang tersisa akan ditempatkan di lokasi strategis. Namun, waktu pengumuman ini—tepat setelah Assad tumbang—mengundang kecurigaan bahwa misi AS jauh melampaui narasi anti-ISIS yang selama ini digaungkan.
ISIS, sebagai kekuatan teritorial, telah runtuh sejak 2019, ketika Pasukan Demokratik Suriah (SDF), didukung AS, merebut Baghouz, benteng terakhir kelompok itu. Laporan PBB dan intelijen AS memang mencatat bahwa sel-sel ISIS masih aktif, melakukan serangan sporadis. Namun, ancaman ini jauh dari puncak kekhalifahan 2014-2015. Kehadiran 2.000 pasukan AS, lengkap dengan basis seperti al-Tanf, tampak berlebihan untuk menangani sisa-sisa teroris yang terpencar.
Fakta bahwa AS tetap bertahan di Suriah setelah kekalahan ISIS mengarah pada motif lain. Laporan Al Mayadeen menyinggung aktivitas yang jauh dari pemberantasan terorisme: pengangkutan minyak Suriah ke Irak utara. Pada April 2024, konvoi 45 tanker dilaporkan membawa minyak dari ladang al-Jazeera melalui penyeberangan ilegal al-Mahmoudia. Kementerian Luar Negeri Suriah memperkirakan kerugian akibat pencurian sumber daya ini mencapai $25,9 miliar secara langsung dan $86 miliar secara tidak langsung.
Pernyataan Presiden Donald Trump memperkuat tuduhan ini. Dengan terus terang, ia pernah berkata, “Kami mengamankan minyak. Kami punya minyak. Pasukan kami tinggal hanya untuk minyak.” Kata-kata ini bukan sekadar kecerobohan retoris; mereka mencerminkan kepentingan ekonomi yang nyata. Basis AS di wilayah timur laut Suriah, seperti ladang minyak al-Omar dan gas Conoco, berlokasi di area kaya sumber daya, menunjukkan bahwa kontrol atas minyak adalah pendorong utama kehadiran militer.
Namun, minyak hanyalah satu bagian dari teka-teki. Laporan Al Mayadeen juga mengungkap bahwa AS melatih dan mempersenjatai Revolutionary Commando Army (RCA), kelompok pembelot Tentara Arab Suriah yang memimpin serangan untuk menggulingkan Assad. Operasi ini berpusat di al-Tanf, dekat perbatasan Suriah-Yordania-Irak. Meskipun Pentagon mengklaim al-Tanf digunakan untuk misi anti-ISIS, lokasinya yang strategis memungkinkan AS mengawasi pergerakan Iran dan sekutunya, membatasi koridor darat Teheran-Damaskus.
Keterlibatan dengan RCA menunjukkan agenda politik yang jelas: melemahkan atau menggulingkan Assad. Kejatuhan Assad pada Desember 2024, diikuti oleh pengumuman pengurangan pasukan, memperkuat dugaan ini. Jika misi AS hanya untuk melawan ISIS, mengapa pasukan tetap bertahan bertahun-tahun setelah kekalahan kelompok itu? Dan mengapa pengurangan pasukan baru terjadi setelah rezim yang menjadi musuh Washington runtuh? Timing ini terlalu tepat untuk dianggap kebetulan.
Basis al-Tanf sendiri adalah simbol ambisi AS yang lebih luas. Terletak di persimpangan strategis, ia memungkinkan Washington memproyeksikan kekuatan di Suriah selatan, menekan sekutu Assad seperti Iran dan Hizbullah. Namun, kehadiran ini tidak luput dari resistensi. Serangan roket terhadap basis AS di Conoco pada November 2024, dilaporkan sebagai balasan atas agresi AS di al-Mayadin dan al-Bukamal, menunjukkan bahwa banyak pihak lokal memandang AS sebagai penjajah, bukan penyelamat.
Pengakuan Pentagon pada Desember 2024 tentang peningkatan pasukan menjadi 2.000—lebih dari dua kali lipat angka resmi sebelumnya—menambah lapisan kecurigaan. Juru bicara Pat Ryder menyebut peningkatan ini “sementara” untuk mendukung operasi anti-ISIS, tetapi tanpa jadwal penarikan yang jelas. Ketidaktransparanan ini, ditambah dengan laporan tentang operasi terselubung dan pencurian sumber daya, merusak klaim bahwa misi AS murni untuk keamanan regional.
Narasi anti-ISIS yang terus diulang oleh Washington tampak semakin rapuh ketika diperhadapkan dengan fakta. Selain minyak dan dukungan untuk kelompok anti-Assad, AS juga tampak berupaya mempertahankan hegemoni regional. Dengan mendukung SDF dan rezim baru di timur Suriah, AS berusaha memastikan bahwa Suriah pasca-Assad tetap dalam orbit pengaruh Barat, mengimbangi Rusia dan Iran yang telah lama menjadi pendukung Damaskus.
Pengurangan pasukan saat ini bisa diartikan sebagai tanda bahwa AS telah mencapai tujuan utamanya: menjatuhkan Assad dan mengamankan pijakan di Suriah timur laut. Namun, konsolidasi di lokasi strategis menunjukkan bahwa Washington belum siap sepenuhnya meninggalkan wilayah ini. Rezim baru di timur laut, yang kemungkinan pro-AS, dapat menjadi mitra untuk menjaga kepentingan Washington tanpa perlu kehadiran militer besar yang mahal dan kontroversial.
Namun, langkah ini tidak akan meredakan ketegangan. Resistensi lokal, seperti serangan di Conoco, dan kehadiran aktor lain seperti Rusia, Iran, dan Turki, menjamin bahwa Suriah tetap menjadi medan pertarungan kepentingan. Pengurangan pasukan mungkin hanya perubahan taktis, bukan akhir dari ambisi AS. Dengan minyak, pengaruh geopolitik, dan rivalitas regional sebagai taruhannya, kehadiran AS di Suriah tampaknya dirancang untuk membentuk masa depan wilayah ini sesuai visi Washington.
Kecurigaan terhadap motif AS diperkuat oleh pola historis intervensi AS di Timur Tengah, dari Irak hingga Libya, di mana narasi keamanan sering menutupi kepentingan strategis. Di Suriah, kombinasi pencurian minyak, dukungan untuk kelompok anti-Assad, dan proyeksi kekuatan melalui basis seperti al-Tanf menunjukkan bahwa misi AS adalah tentang kontrol, bukan pembebasan. Pengurangan pasukan mungkin menandakan keberhasilan parsial, tetapi cerita Suriah masih jauh dari selesai.
Daftar Sumber:
- Al Mayadeen. “Pentagon Announces Major US Troop Withdrawal from Syria.” https://english.almayadeen.net/news/politics/pentagon-announces-major-us-troop-withdrawal-from-syria.
- Laporan PBB tentang aktivitas ISIS, 2023-2024.
- Pernyataan Donald Trump tentang minyak Suriah, 2019.
- Kementerian Luar Negeri Suriah, estimasi kerugian akibat pencurian sumber daya, 2024.
- The Telegraph, laporan tentang pelatihan Revolutionary Commando Army, 2024.
- Laporan intelijen AS tentang sisa-sisa ISIS, 2024.