Connect with us

Analisis

Mengapa Kelompok Minoritas Tak Percaya Pemilu Suriah?

Published

on

Pada pertengahan September ini, rakyat Suriah dijadwalkan untuk memilih parlemen baru—untuk pertama kalinya sejak tumbangnya rezim Bashar al-Assad, sebuah rezim yang telah mencengkeram negeri itu lebih dari lima dekade. Di tengah kota-kota yang belum pulih dari reruntuhan perang, dan bayang-bayang trauma yang masih menggantung di langit-langit masjid, sekolah, dan rumah warga, pesta demokrasi ini digelar. 210 kursi disediakan. Namun suara hati rakyat, terutama dari kalangan minoritas, belum tentu punya kursi yang layak untuk diduduki.

Pemilu ini disebut-sebut sebagai babak baru dalam transisi politik Suriah. Dibandingkan dengan rezim lama, parlemen kali ini disebut-sebut akan dibentuk melalui sistem yang lebih terbuka. Dari total 210 anggota, sebanyak 140 akan dipilih melalui komite pemilu regional, sedangkan sisanya—70 orang—akan ditunjuk langsung oleh Presiden Sementara Ahmad al-Sharaa. Di permukaan, ini mungkin terlihat seperti kompromi antara keterbatasan logistik pascaperang dan kebutuhan mendesak akan legitimasi politik. Namun di balik semua ini, yang membekas justru rasa curiga yang kian menebal dari kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Suriah bukan hanya tentang Damaskus dan Aleppo. Negara ini adalah rumah bagi mozaik etnis dan agama—Druze, Kurdi, Kristen, Alawi, Sunni, Syiah—yang punya sejarah panjang, luka dalam, dan keinginan kuat untuk diakui sebagai bagian dari identitas kebangsaan. Tapi sejak konflik meletus lebih dari satu dekade lalu, mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal atau tanah kelahiran, mereka kehilangan kepercayaan—terutama terhadap negara. Maka wajar jika menjelang pemilu ini, kelompok-kelompok minoritas itu cenderung bersikap hati-hati, bahkan pasif. Bukan karena mereka apatis terhadap masa depan Suriah, tapi karena mereka merasa masa depan itu tidak pernah benar-benar melibatkan mereka.

Sarah Bassisseh, peneliti politik dari Universitas Tübingen, menyebutkan bahwa keterlibatan minoritas dalam pemilu ini kemungkinan besar akan rendah. Mereka menghadapi sistem yang selama ini menyingkirkan mereka secara sistemik. Kekerasan selama bertahun-tahun, kata Bassisseh, hanya memperburuk eksklusi struktural itu. Ketiadaan insentif, rasa tidak aman, hingga akses yang terbatas terhadap proses politik menjadi tembok penghalang partisipasi. Bukan hanya soal keberanian datang ke tempat pemungutan suara, tetapi lebih dalam: apakah suara mereka akan didengar, atau sekadar dihitung?

Jika kita tarik paralel ke konteks Indonesia, kita pun mengenal bagaimana pengalaman kelompok minoritas sering kali diliputi keraguan dan was-was. Isu representasi perempuan, komunitas adat, atau kelompok agama tertentu dalam parlemen sering tak sekadar soal jumlah, tapi soal kuasa dan akses pada pengambilan keputusan. Kita tahu, suara minoritas tidak jarang dijadikan ornamen pluralisme—ditempatkan, tapi tak diperhitungkan. Maka tak sulit membayangkan bagaimana perasaan minoritas di Suriah saat menghadapi pemilu yang mereka tidak percaya sepenuhnya. Mereka tahu, sistem bisa menjebak, bukan mengangkat.

Kembali ke Suriah, isu representasi ini menjadi semakin kompleks karena 70 kursi parlemen akan ditentukan langsung oleh Presiden al-Sharaa. Meski secara formal ia adalah presiden interim, sosok ini masih dibayang-bayangi masa lalunya yang dekat dengan kelompok ekstrimis. Tak semua warga percaya ia telah benar-benar berjarak dari jaringan kekuasaan lama. Apalagi, dalam praktiknya, banyak pejabat di pemerintahannya masih berasal dari lingkaran dalamnya. Maka ketika seorang Kristen, Hind Kabawat, diangkat sebagai Menteri Sosial, banyak yang melihatnya sebagai gestur simbolik belaka. Langkah yang lebih berbau taktik pencitraan daripada itikad inklusi.

Persoalan tidak berhenti di sana. Di wilayah seperti Sweida yang mayoritas penduduknya adalah Druze, kekerasan baru-baru ini memicu trauma kolektif yang mendalam. Tokoh Druze seperti Hikmat al-Hijri bahkan menolak berdamai dengan pemerintah, dan justru menjalin kontak dengan Israel—musuh lama Suriah—demi mendapatkan dukungan militer. Skenario ini bukan hanya mencerminkan betapa rusaknya relasi antara negara dan rakyat minoritas, tapi juga menunjukkan potensi konflik yang lebih besar di masa depan. Bila negara tak mampu membangun kembali kepercayaan, maka kekuatan luar akan dengan mudah menawarkan perlindungan alternatif—sekaligus membuka celah bagi intervensi asing yang membahayakan kedaulatan nasional.

Di sisi lain, sebagian pakar seperti Birgit Schaebler memilih untuk melihat secercah harapan. Ia menyatakan bahwa sebagian besar rakyat, termasuk dari kalangan minoritas, masih ingin terlibat dalam proses membangun “Suriah baru”—dengan catatan bahwa pemerintah benar-benar mau mendengarkan dan menghormati kepentingan lokal mereka. Namun optimisme ini harus ditanggapi dengan cermat. Karena selama tidak ada mekanisme yang memastikan perlindungan hak, representasi yang proporsional, serta jaminan keamanan yang nyata, maka pemilu hanya akan menjadi panggung kosong yang disusun oleh elite untuk menampilkan ilusi partisipasi.

Masalah kepercayaan ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dalam semalam. Ia dibangun melalui konsistensi, keteladanan, dan keberanian untuk berubah. Pertanyaannya: apakah elite politik Suriah hari ini benar-benar siap melepaskan kontrol demi membuka ruang bagi suara-suara yang berbeda? Atau mereka hanya mengganti jubah kekuasaan lama dengan wajah yang lebih segar, tetapi jiwa yang tetap sama?

Kita tahu, dari pengalaman negara-negara lain di Timur Tengah, banyak transisi politik yang kandas bukan karena rakyat tak peduli, melainkan karena elite terlalu rakus. Demokrasi yang lahir dari reruntuhan diktatorisme tidak akan otomatis menjadi sehat. Ia bisa dengan mudah dibajak, disusupi, bahkan dibungkam pelan-pelan oleh kepentingan baru yang menyamar sebagai reformis. Di sinilah pentingnya mendengar suara minoritas. Karena justru dari pinggiran itulah kita bisa menilai seberapa adil pusat kekuasaan bekerja.

Suriah hari ini bukan hanya sedang memilih wakil rakyat. Ia sedang diuji: apakah negeri ini sungguh ingin berubah, atau hanya berpura-pura? Apakah rakyatnya—semua rakyatnya, tak hanya mayoritas—dianggap warga penuh, atau hanya penumpang yang boleh bicara saat dibutuhkan? Jika minoritas terus merasa diabaikan, maka pemilu ini hanya akan melanggengkan luka, bukan menyembuhkannya.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi dan rentan, kisah Suriah menjadi cermin yang memantulkan tantangan banyak bangsa, termasuk kita di Indonesia. Demokrasi bukan hanya tentang kotak suara dan angka partisipasi. Ia adalah soal keberanian untuk mengakui bahwa mereka yang selama ini dibungkam punya hak yang sama untuk bicara. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan menjadi pesta bagi segelintir, dan mimpi buruk bagi yang lain.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Pemilu Suriah dan Bahaya Legitimasi Palsu

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer