Analisis
Membongkar Peran AS Menjatuhkan Assad

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Transformasi kekuasaan di Suriah pasca-jatuhnya Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024 mengundang perhatian dunia. Peran Amerika Serikat (AS) dalam proses ini tidak dapat diabaikan, meskipun cara dan dampaknya menuai kontroversi. Dengan latar belakang konflik yang berlangsung lebih dari satu dekade, strategi AS untuk menggulingkan Assad merupakan kombinasi dari intervensi langsung dan pendekatan perang proksi.
Salah satu elemen utama dalam upaya AS adalah pemberlakuan sanksi ekonomi yang keras terhadap rezim Assad. Sanksi ini menargetkan individu, lembaga, dan sektor penting seperti minyak dan gas yang menjadi tulang punggung ekonomi Suriah. Melalui “Caesar Act” yang diberlakukan pada 2020, AS memperketat cengkeraman ekonominya untuk melemahkan basis kekuasaan Assad dan memperparah krisis ekonomi di Suriah.
Selain sanksi, AS terlibat dalam operasi rahasia melalui program seperti Operation Timber Sycamore. Program ini, yang dikelola oleh CIA sejak 2013, menyuplai pelatihan dan persenjataan kepada kelompok pemberontak yang berjuang melawan Assad. Meskipun secara resmi berhenti pada 2017, dampak operasi ini tetap terasa dengan terbentuknya kekuatan militer di lapangan yang berperan besar dalam konflik.
AS juga memanfaatkan perang proksi melalui dukungan kepada Syrian Democratic Forces (SDF) dan kelompok pemberontak lainnya. SDF, yang didominasi oleh milisi Kurdi, menjadi sekutu utama AS dalam memerangi ISIS sekaligus menekan pengaruh rezim Assad di wilayah timur laut Suriah.
Di sisi lain, dukungan AS terhadap Syrian Free Army (SFA) memperluas front melawan pasukan Assad. Meski demikian, pendekatan ini sering kali menimbulkan kontroversi, terutama karena beberapa kelompok pemberontak yang menerima bantuan AS memiliki hubungan dengan organisasi ekstremis seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Ironisnya, HTS kini menjadi kekuatan utama yang berhasil menggulingkan Assad, meskipun AS secara resmi tidak mendukung kelompok ini.
Keberhasilan HTS menjatuhkan Assad membuka babak baru dalam sejarah Suriah. Namun, keterlibatan AS dalam proses ini membawa konsekuensi yang kompleks. Di satu sisi, kebijakan AS berhasil melemahkan rezim Assad, tetapi di sisi lain, hal ini juga menciptakan ruang bagi kelompok ekstremis untuk mengambil alih kekuasaan. Transformasi kekuasaan yang tengah berlangsung menimbulkan pertanyaan besar: apakah Suriah akan menuju stabilitas atau justru terjebak dalam siklus konflik baru?
Keuntungan yang diharapkan AS dari upaya menjatuhkan Assad tidak hanya terbatas pada perubahan rezim, tetapi juga mencakup kontrol strategis atas kawasan Timur Tengah. Suriah, dengan posisi geografisnya yang strategis, menjadi jalur penting bagi proyek energi dan pengaruh geopolitik. Dengan melemahkan Assad, AS juga berusaha memutus rantai aliansi antara Suriah, Iran, dan Hizbullah, yang sering disebut sebagai “Poros Perlawanan” terhadap dominasi Barat dan Israel di kawasan. Selain itu, penguasaan atas wilayah Suriah, terutama yang kaya akan sumber daya minyak dan gas, memungkinkan AS untuk mempertahankan keunggulan ekonominya sekaligus membatasi pengaruh Rusia dan Iran.
AS tampak ngotot dalam upaya menjatuhkan Assad karena rezim ini menjadi simbol perlawanan terhadap agenda Barat di Timur Tengah. Assad, dengan dukungan kuat dari Rusia dan Iran, telah menjadi penghalang bagi rencana AS untuk menciptakan kawasan yang lebih selaras dengan kepentingan strategisnya. Bagi AS, keberadaan rezim Assad tidak hanya mengancam sekutu-sekutunya seperti Israel, tetapi juga menghambat proyek-proyek energi yang dapat mengurangi ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia. Dengan menggulingkan Assad, AS berharap dapat memperkuat pengaruhnya di kawasan, mengamankan jalur energi, dan meredam potensi ancaman terhadap kepentingannya.
Selain itu, kebijakan AS menunjukkan pola pendekatan yang ambigu. Di satu sisi, AS mengklaim memerangi ekstremisme, tetapi di sisi lain, kebijakan dukungannya terhadap kelompok pemberontak secara tidak langsung memperkuat HTS, yang memiliki sejarah ekstremisme. Peran AS dalam menjatuhkan Assad adalah bagian dari strategi geopolitik yang lebih besar untuk mengurangi pengaruh Iran dan Rusia di Timur Tengah.
Meski tujuan ini tercapai dengan jatuhnya Assad, konsekuensi jangka panjangnya masih menjadi tanda tanya. Apakah Suriah dapat mengatasi tantangan politik dan sosialnya, atau justru terjebak dalam kekacauan baru? Dalam analisis akhir, peran AS dalam menggulingkan Assad menunjukkan bagaimana kekuatan global menggunakan konflik lokal untuk mencapai tujuan strategis mereka. Namun, seperti yang terlihat dalam kasus Suriah, hasil dari intervensi semacam itu sering kali tidak sejalan dengan harapan awal, menciptakan dinamika baru yang lebih kompleks dan sulit diatasi.[]