Connect with us

Analisis

Membongkar Doktrin Kejam Militer Israel di Gaza

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Laporan dari Middle East Eye membuka sebuah kenyataan yang mengerikan: ratusan warga Palestina, termasuk anak-anak, ditembak mati secara sembarangan oleh tentara Israel di “zona pembunuhan” yang dibuat di Gaza tengah. Para tentara mengungkapkan kepada Haaretz bahwa batas-batas wilayah di sekitar Koridor Netzarim – sebuah zona pendudukan militer yang dibentuk Israel – digunakan untuk membunuh warga Palestina secara acak tanpa memerlukan otorisasi. Korban-korban ini, bahkan jika mereka anak-anak, diberi label “teroris” setelah kematian mereka. Seorang perwira senior mengatakan bahwa area tersebut ditetapkan sebagai “zona pembunuhan,” di mana siapa pun yang memasuki wilayah itu akan langsung ditembak. Ketika seorang tentara mengungkap bahwa batas-batas zona tersebut hanya diukur sejauh pandangan seorang penembak jitu, kita melihat bagaimana prinsip dasar seperti perlindungan sipil dalam praktiknya terhapus.

Doktrin militer, dalam definisi idealnya, adalah pedoman strategis yang mengatur tindakan pasukan di medan perang. Namun, bagaimana jika doktrin itu berubah menjadi alat pembenaran untuk tindakan yang tak berperikemanusiaan? Apa yang digambarkan dalam laporan ini bukan hanya strategi perang, tetapi sebuah bentuk dehumanisasi yang terencana. Koridor Netzarim yang digambarkan sebagai “zona pembunuhan” menjadi simbol transformasi tragis doktrin militer menjadi mekanisme penghancuran massal.

Data dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat angka yang mencengangkan: sejak 7 Oktober 2023, sebanyak 45.129 warga Palestina telah tewas, sementara 107.338 lainnya mengalami luka-luka. Dalam waktu 24 jam terakhir saja, empat pembantaian terjadi di berbagai lokasi, mengakibatkan 32 orang tewas dan 94 luka-luka. Ironisnya, banyak korban tidak pernah mencapai rumah sakit karena terperangkap di bawah reruntuhan atau berada di wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh tim penyelamat. Di balik angka-angka ini, ada wajah-wajah anak-anak, perempuan, dan lansia – mereka yang menurut hukum internasional seharusnya dilindungi dalam situasi konflik.

Namun, bagi militer Israel, angka ini tampaknya tidak lebih dari statistik. Dalam kesaksian seorang tentara yang dilaporkan oleh Haaretz, seorang komandan batalion bahkan memuji pasukannya setelah mereka membunuh seorang anak berusia 16 tahun, menyebutnya sebagai “prestasi” dan berharap akan ada lebih banyak korban keesokan harinya. Ketika seorang tentara keberatan dan menyebut bahwa korban terlihat seperti warga sipil, sang komandan menegaskan, “Siapa pun yang melintasi garis adalah teroris, tanpa pengecualian.”

Bagi tentara Israel, penerapan doktrin ini tidak hanya berdampak pada warga Gaza tetapi juga pada mereka sendiri. Dalam jangka panjang, pembunuhan massal ini menghancurkan moral dan integritas pribadi tentara. Kesaksian tentang prajurit yang menembak sambil tertawa menggambarkan bagaimana dehumanisasi telah merasuk ke dalam tubuh militer. Apakah seorang tentara yang terbiasa menembak anak-anak tanpa rasa bersalah dapat kembali ke masyarakat dengan jiwa yang utuh?

Studi tentang trauma perang menunjukkan bahwa tindakan yang bertentangan dengan nilai moral individu sering kali menyebabkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Dalam konteks ini, tentara Israel yang terlibat dalam kekejaman semacam itu kemungkinan besar akan menghadapi konsekuensi psikologis yang serius. Lebih parahnya, budaya militer yang merayakan pembunuhan hanya akan memperdalam luka ini.

Di tingkat global, doktrin ini hanya memperburuk reputasi Israel. Di tengah kritik yang semakin keras dari masyarakat internasional, Israel semakin terisolasi, bahkan di antara sekutu-sekutunya. Opini publik di berbagai negara menunjukkan peningkatan dukungan terhadap perjuangan Palestina, dengan semakin banyak organisasi hak asasi manusia yang mengecam kebijakan militer Israel sebagai kejahatan perang.

Dalam doktrin militer sejati, ada prinsip-prinsip dasar seperti necessity, proportionality, dan distinction. Namun, doktrin yang diterapkan Israel di Gaza tampaknya mengabaikan semua itu. Ketika seorang komandan menyatakan bahwa “tidak ada orang tak bersalah di Gaza,” apa yang ia lakukan adalah meniadakan batas antara kombatan dan non-kombatan – inti dari hukum humaniter internasional.

Lebih jauh lagi, doktrin ini berfungsi sebagai pembenaran untuk tindakan yang pada dasarnya adalah pembantaian sistematis. Apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang, tetapi penghancuran. Sebuah wilayah yang sudah dihuni oleh populasi yang terjepit di bawah blokade kini menjadi kuburan massal bagi ribuan orang yang tak bersalah.

Doktrin kejam militer Israel ini tidak hanya menghancurkan Gaza, tetapi juga mengancam kehormatan militer sebagai institusi yang seharusnya berfungsi untuk melindungi, bukan menghancurkan. Di tengah seruan untuk keadilan, komunitas internasional harus menuntut akuntabilitas yang nyata. Pengadilan internasional dan penyelidikan independen adalah langkah awal yang penting. Dunia tidak boleh berpaling, karena tragedi Gaza adalah pengingat akan pentingnya kemanusiaan dalam konflik yang paling brutal sekalipun.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *