Analisis
Membongkar Dalih Julani di Balik Penundaan Pemilu Suriah

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Ahmed al-Sharaa, yang lebih dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani, sang pemimpin de facto Hayat Tahrir al-Sham (HTS), memberikan sebuah pernyataan yang menyentuh banyak aspek penting dari masa depan Suriah: penundaan pemilu hingga empat tahun. Dengan penuh keyakinan, Julani menjelaskan bahwa penyusunan konstitusi baru akan memakan waktu hingga tiga tahun dan sensus yang valid juga memerlukan waktu satu tahun. Begitu banyak waktu, begitu banyak janji, tetapi di balik itu semua, ada pertanyaan besar: Mengapa harus menunggu begitu lama?
Mari kita lihat dulu apa yang sebenarnya diungkap oleh Julani. Sebagai pemimpin HTS, yang memegang kekuasaan atas sebagian besar wilayah Idlib, pernyataan Julani mengenai waktu yang panjang untuk penyusunan konstitusi dan pelaksanaan pemilu seolah-olah merupakan pernyataan yang rasional—penuh alasan administratif yang logis. Namun, jika kita menelisik lebih jauh, semua itu terdengar lebih mirip sebuah dalih yang dibalut dengan kata-kata yang terkesan bijaksana.
Tiga tahun untuk menulis konstitusi? Bukankah lebih mudah jika sebuah negara yang mengalami kekacauan dan berjuang untuk mendirikan pemerintahan yang sah bisa memanfaatkan pengetahuan, pengalaman, dan data yang ada untuk menyusun konstitusi dengan cepat? Mengingat Suriah telah melalui satu dekade penuh konflik dan ketidakpastian, data sensus sebelumnya harusnya sudah tersedia, meski tidak sempurna. Kenapa harus menunggu satu tahun penuh hanya untuk mengumpulkan data rakyat, jika benar-benar ada dukungan rakyat yang luas? Mungkin Julani perlu waktu lebih lama untuk memastikan bahwa suara rakyat—yang sebenarnya bisa jadi lebih kritis terhadapnya daripada yang dia klaim—tersebut tidak akan berbalik menentang kekuasaannya.
Pada dasarnya, inilah ironi terbesar dari pernyataan Julani: jika benar ia mendapat dukungan luas dari rakyat Suriah, maka mengapa tidak langsung mengadakan pemilu untuk membuktikan itu? Sensus yang dilakukan dalam setahun mungkin akan memperlihatkan hal yang tidak diinginkan, yaitu kenyataan bahwa banyak pihak di luar HTS tidak mendukung kepemimpinan mereka. Ini adalah risiko politik yang lebih besar, apalagi jika hasil pemilu menunjukkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam pengaruh HTS di antara berbagai segmen masyarakat Suriah.
Namun, jangan salah sangka—Julani bukan hanya berbicara tentang masalah teknis. Dibalik dalih konstitusi yang “memakan waktu lama” dan sensus yang “butuh kesabaran”, ada agenda yang lebih besar yang bisa jadi sedang disusun. Penundaan pemilu dan penundaan konstitusi ini memberi HTS ruang untuk memperkuat posisinya, mengonsolidasikan kekuasaan, dan memanipulasi keadaan hingga ia merasa cukup aman untuk mengatur masa depan Suriah sesuai keinginannya. Inilah tujuan yang sesungguhnya: memperpanjang masa kekuasaan HTS tanpa adanya pengawasan atau perubahan yang datang melalui proses demokratis yang sebenarnya.
Siapa yang dirugikan oleh semua ini? Tentunya, rakyat Suriah. Mereka adalah korban utama dalam permainan politik yang tengah dimainkan oleh Julani dan kelompoknya. Mereka yang menginginkan perubahan, kedamaian, dan pemerintahan yang mewakili seluruh elemen Suriah, kini harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan hak mereka untuk memilih pemimpin yang benar-benar mereka percayai. Mereka yang menginginkan rekonsiliasi dan pemulihan pasca-konflik, kini dipaksa untuk menunggu dan mempertanyakan apakah HTS benar-benar memiliki niat untuk membangun negara yang inklusif dan demokratis.
Namun, siapa yang diuntungkan? Tentu saja Julani dan para pendukungnya. Dengan penundaan ini, HTS memiliki waktu untuk menata ulang kekuasaan mereka di Idlib dan memperluas pengaruh mereka ke daerah lain, mengontrol narasi, dan memperkuat posisi mereka sebagai penguasa yang tak tergoyahkan. Tanpa pemilu yang terbuka, tanpa konstitusi yang mengikat, Julani memiliki kebebasan penuh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya, menciptakan struktur kekuasaan yang lebih terpusat di tangan mereka. Hal ini jelas menguntungkan bagi kelompok yang ingin memanfaatkan kekacauan pasca-perang untuk menciptakan rezim baru yang tidak melibatkan oposisi politik yang sah.
Namun, ada pertanyaan yang lebih mendalam yang harus diajukan: apakah Julani sebenarnya memiliki konsep kenegaraan yang solid untuk Suriah ke depan? Sejak menggulingkan Bashar al-Assad, HTS lebih banyak dikenal sebagai kelompok militan yang berfokus pada kekuasaan dan pengaruhnya di wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Keterlambatan dalam membahas konstitusi dan pemilu mengungkapkan betapa ketidakmampuan mereka dalam merumuskan visi yang lebih besar untuk masa depan negara. Apakah HTS siap untuk memimpin negara yang luas dan kompleks seperti Suriah, ataukah mereka hanya berusaha bertahan hidup dalam permainan kekuasaan yang panjang ini?
Di balik semua klaim tentang demokrasi dan perubahan, yang jelas terlihat adalah bahwa penundaan ini memberikan HTS waktu yang mereka butuhkan untuk terus memanfaatkan ketidakstabilan yang ada. Semua alasan administratif, seperti sensus yang memerlukan waktu lama atau konstitusi yang sulit disusun, hanyalah kemasan dari agenda politik yang lebih besar: untuk mempertahankan kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. Jika Julani benar-benar ingin membangun masa depan demokratis untuk Suriah, mengapa menunda begitu lama? Atau apakah dia hanya takut pada hasil yang mungkin jauh dari harapan?
Masa depan Suriah masih kabur, dan rakyat Suriah harus bertanya-tanya, apakah mereka akan mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin mereka, ataukah penundaan ini hanyalah permainan waktu yang akan menguntungkan mereka yang berada di atas kekuasaan.
*Sumber: The Cradle