Analisis
Membongkar Berita Palsu dari Suriah

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Apa jadinya ketika realitas dan fiksi bertabrakan di layar kaca? Kita disuguhkan narasi dramatis, penuh air mata, dan pengakuan mengharukan. Tapi tunggu dulu, apakah semuanya seperti yang terlihat? Di tengah keruntuhan rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu, beredar video viral yang memperlihatkan seorang pemuda kurus dengan kepala plontos dan berbicara dengan terbata-bata, mengklaim dirinya sebagai korban penyiksaan di penjara rezim. Dia mengaku kehilangan ingatan dan bahkan namanya akibat penyiksaan brutal.
Namun, kebenaran ternyata lebih sederhana, dan sayangnya jauh dari dramatis. Pemuda itu, Mahmoud Fansa Klawi, bukan korban penyiksaan, melainkan seorang pria 21 tahun dengan kebutuhan khusus yang telah lama tinggal bersama keluarganya di Aleppo. Seorang kerabatnya menjelaskan bahwa Mahmoud hilang dari rumahnya pada 29 November, beberapa hari sebelum rezim runtuh. Selama masa itu, keluarganya tidak dapat menemukannya karena operasi militer dan jam malam. Mahmoud, yang menderita kelainan bawaan, ditemukan di Damaskus setelah videonya tersebar. Anehnya, kepala plontosnya dan kondisi di mana ia ditemukan tetap menjadi misteri bagi keluarga.
“Taakad“, sebuah platform verifikasi berita, menemukan bahwa video tersebut hanyalah bagian dari serangkaian klaim palsu yang merajalela. Dalam kebisingan media setelah jatuhnya rezim, banyak video dan pernyataan bermunculan, masing-masing mencoba mencuri perhatian dengan narasi fantastis. Sayangnya, cerita Mahmoud hanyalah salah satu dari banyak kasus di mana kebenaran dikaburkan oleh sensasi.
Lalu ada klaim tentang “pembebasan” perempuan dari penjara militer Sidnaya, penjara yang dikenal sebagai tempat penahanan pria dewasa. Video yang beredar memperlihatkan perempuan-perempuan yang tampak ketakutan berjalan dengan tergesa-gesa. Namun, investigasi “Taakad” menunjukkan bahwa video tersebut sebenarnya diambil di sebuah pusat perawatan anak yatim di Bab Musalla, jauh dari Sidnaya. Lembaga tersebut diserang oleh kelompok bersenjata yang mengaku sebagai “revolusioner”. Mereka merampas aset-aset lembaga itu, termasuk bus dan baterai, serta memaksa penghuni untuk meninggalkan tempat itu. Begitu banyak klaim palsu yang diproduksi dan didistribusikan untuk menyesatkan opini publik.
Ironisnya, propaganda ini tidak berhenti setelah jatuhnya Bashar al-Assad. Justru, pola-pola serupa terus digunakan oleh mereka yang kini berkuasa. Strategi memanipulasi opini publik tetap menjadi alat utama, seolah-olah tak ada yang berubah. Ketika menggulingkan Assad, mereka menggunakan kebohongan untuk memperkuat narasi. Kini, setelah berkuasa, pola yang sama terus berlanjut, menunjukkan bahwa mentalitas propaganda tidak pernah benar-benar berubah.
Fenomena ini bukan hal baru dalam konflik Suriah. Dari cerita-cerita tentang tahanan rahasia hingga narasi menakutkan lainnya, sebagian besar tidak memiliki bukti yang dapat diverifikasi. Bahkan klaim adanya “wanita tua” yang dipenjara selama 40 tahun di Sidnaya ternyata tak lebih dari mitos yang dibangun di atas nama seorang apoteker dari Aleppo yang kini tinggal di Turki. Tidak ada bukti nyata, tidak ada dokumen, hanya rumor yang diulang-ulang hingga menyerupai kebenaran.
Mengapa semua ini terjadi? Karena dalam perang, narasi adalah senjata. Propaganda menjadi alat untuk membentuk persepsi, memenangkan simpati, atau bahkan menciptakan musuh. Dalam kasus Suriah, propaganda ini sering kali dirancang untuk memperkuat kebencian terhadap pihak tertentu atau membangun dukungan internasional dengan memanipulasi emosi.
Namun, apa yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana kebohongan ini merusak kepercayaan pada kebenaran yang sejati. Ketika kebohongan tersebar luas, fakta yang sebenarnya menjadi sulit dipercaya. Di sinilah peran penting platform verifikasi seperti “Taakad” yang berusaha memisahkan fakta dari fiksi. Tanpa usaha ini, kita semua menjadi korban dari perang narasi.
Jadi, lain kali Anda melihat video dramatis atau mendengar cerita memilukan dari medan perang, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini kenyataan, atau hanya bagian dari skenario yang dirancang untuk tujuan tertentu? Dalam perang, kebenaran memang sering menjadi korban pertama, tetapi kita tidak boleh membiarkan diri kita menjadi bagian dari penonton pasif yang menerima segala hal tanpa mempertanyakan.
Suriah, dengan segala kompleksitasnya, membutuhkan lebih dari sekadar simpati berbasis kebohongan. Ia membutuhkan keadilan yang dibangun di atas kebenaran. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita semua berkomitmen untuk mencari fakta, bukan sensasi.
*Sumber: Taakad