Analisis
Membaca Strategi Militer Suriah

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Pada 27 November 2024, terjadi pertempuran sengit di Aleppo, ketika Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan besar-besaran dengan nama operasi “Repelling Aggression“. Sementara itu, Syrian National Army (SNA), yang terdiri dari kelompok pemberontak yang sebelumnya bagian dari Free Syrian Army (FSA) dan sekarang didukung oleh Turki, melancarkan operasi yang dikenal sebagai “Dawn of Freedom“. Kedua kelompok ini berhadapan dengan militer Suriah di berbagai titik. Peristiwa ini mencerminkan dinamika terbaru dalam perang panjang Suriah, di mana bentrokan antara pasukan Suriah dan kelompok pemberontak yang didukung oleh pihak asing seperti Turki kembali memanas.
Strategi militer Suriah dalam menghadapi kelompok teroris di Suriah telah berkembang pesat sejak 2011 silam. Pasukan Suriah menggabungkan sejumlah taktik dan strategi yang sangat beragam, dan beberapa di antaranya telah terbukti efektif dalam menghadapi serangan dari kelompok teroris, seperti HTS, SNA, dan kelompok lainnya. Mari kita lihat lebih dekat beberapa strategi yang digunakan oleh militer Suriah.
Strategi Pengepungan Bertahap atau Fragmentasi Operasional
Salah satu strategi utama yang digunakan militer Suriah di wilayah seperti Aleppo dan Ghouta adalah pengepungan bertahap atau fragmentasi operasional. Dalam strategi ini, pasukan Suriah secara bertahap mengepung kelompok teroris dalam bagian-bagian yang lebih kecil, mengisolasi mereka dari jalur pasokan atau dukungan dari kelompok mereka yang lebih besar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kekuatan musuh secara perlahan, sehingga mereka tidak dapat menerima bantuan dari faksi lain, yang membuat mereka semakin terdesak dan akhirnya mundur.
Di Aleppo, strategi ini diterapkan dengan sangat efektif. Pasukan Suriah mengepung wilayah yang dikuasai oleh kelompok teroris dalam beberapa tahap, memaksa mereka untuk berperang di wilayah yang semakin terbatas. Tanpa kemampuan untuk mendapatkan dukungan atau pasokan baru, kelompok teroris menjadi rentan terhadap serangan lanjutan yang dilancarkan oleh pasukan Suriah. Pengepungan ini juga berfungsi untuk memotong komunikasi dan jalur pasokan mereka, mempercepat keputusasaan di pihak musuh. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk mengurangi efektivitas musuh dan meminimalkan kerugian di pihak warga sipil.
Sejak awal konflik, pasukan Suriah menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kelompok pemberontak yang semakin terorganisir, didukung oleh pihak asing, terutama Turki dan negara-negara Barat. Seiring berjalannya waktu, Suriah memperkenalkan strategi bertahap ini sebagai respons terhadap ketidakmampuan mereka untuk menghadapi musuh secara langsung dalam pertempuran terbuka. Dalam menghadapi kelompok teroris yang semakin terpecah, pasukan Suriah harus beradaptasi dengan cepat untuk mengisolasi ancaman dan mencegah mereka berkembang lebih jauh.
Taktik Umpan dan Hancurkan (Lure and Ambush Strategy)
Taktik ini melibatkan menarik musuh ke dalam jebakan dengan membiarkan mereka merasa yakin telah memenangkan suatu wilayah, lalu melancarkan serangan balik yang menghancurkan ketika musuh sudah terkonsentrasi. Pangkalan militer Hanano di Aleppo, pada 2012 menjadi salah satu contoh penting dari penerapan taktik ini. Ketika kelompok teroris mengklaim telah menguasai sebagian pangkalan tersebut, militer Suriah dengan sabar membiarkan mereka merasa nyaman, lalu melancarkan serangan mendalam untuk menghancurkan posisi musuh yang terfokus.
Taktik ini terbukti efektif karena memungkinkan pasukan Suriah untuk mengetahui konsentrasi musuh. Sebab sebelum mereka masuk ke pangkalan militer, pasukan Suriah mengalami kesulitan untuk mendeteksi posisi musuh. Dengan serangan terkoordinasi yang menghancurkan konsentrasi musuh, dapat meminimalkan kerugian, serta mencegah kerusakan besar pada infrastruktur atau warga sipil.
Strategi “Mundur Terencana” dan “Umpan untuk Eliminasi”
Pada Januari 2013, pasukan Suriah menghadapi situasi yang sangat sulit di Pangkalan Udara Taftanaz di wilayah Idlib. Setelah berbulan-bulan pertempuran, kelompok teroris berhasil mengepung pangkalan tersebut dan mengklaim telah menguasainya. Namun, militer Suriah memilih untuk melakukan mundur terencana, secara perlahan selama dikepung, mereka memindahkan seluruh peralatan penting dari pangkalan itu, meninggalkan hanya pesawat-pesawat yang sudah tidak berfungsi dan infrastruktur yang tidak berguna. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi nilai strategis pangkalan jika nanti jatuh ke tangan kelompok teroris.
Setelah kelompok teroris mengklaim kemenangan dan berkumpul untuk merayakan “keberhasilan” mereka merebut pangkalan Taftanaz yang sudah tak berfungsi tersebut, pasukan Suriah melancarkan serangan rudal ke pangkalan tersebut yang memusnahkan mereka. Strategi ini, yang menggabungkan taktik mundur terencana dengan strategi umpan untuk eliminasi, membuktikan betapa efektifnya pendekatan tersebut dalam memanfaatkan kesalahan musuh dan mengeliminasi mereka pada saat yang paling rentan.
Kesimpulan
Dengan mengaitkan kembali kepada operasi “Repelling Aggression” dan “Dawn of Freedom” yang dilancarkan pada 27 November 2024, kita melihat bahwa militer Suriah terus menerapkan prinsip-prinsip dari strategi bertahan dan menunggu (hold and wait) yang telah terbukti efektif di masa lalu. Ketika kelompok teroris melancarkan serangan untuk merebut kembali wilayah yang telah mereka klaim, pasukan Suriah justru lebih memilih untuk menggunakan momentum musuh sebagai peluang untuk melakukan serangan balik yang terkoordinasi. Dengan penggunaan strategi yang terencana dan taktis, Suriah tidak hanya berhasil menghadapi serangan, tetapi juga menghancurkan kemampuan musuh dan memulihkan kontrol atas wilayah yang vital.
Namun, perlu diingat bahwa jangan heran jika kita kemudian mendengar kabar bahwa kelompok teror di Suriah berhasil menguasai wilayah atau kota tertentu. Ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi militer Suriah itu sendiri. Dalam banyak kasus, pasukan Suriah sengaja memberikan kesan bahwa mereka telah kehilangan wilayah tertentu, dengan tujuan menarik musuh ke dalam posisi yang lebih rentan untuk serangan balik yang lebih kuat. Strategi ini, yang seringkali melibatkan taktik umpan dan hancurkan (lure and ambush), bertujuan untuk melemahkan moral musuh dan mempercepat kehancurannya ketika mereka mulai merasa aman atau menganggap telah menang.
Strategi-strategi yang digunakan oleh militer Suriah mencerminkan keahlian dalam perang asimetris, di mana mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan militer besar, tetapi juga kecerdikan dalam memilih momen yang tepat untuk menyerang balik, dengan tujuan meminimalkan kerugian dan menghilangkan kemampuan operasional kelompok teroris. Menghadapi kelompok teroris yang terus beradaptasi dengan taktik baru, kemampuan militer Suriah untuk mengubah taktik dan menyesuaikan strategi adalah kunci penting dalam perang yang masih berlangsung ini.[]