Analisis
Krisis Tentara Israel: Perang Panjang Mengancam Stabilitas

Laporan terbaru mengungkap krisis tenaga manusia yang mengguncang angkatan bersenjata Israel, dengan kekurangan 10.000 tentara, 7.000 di antaranya di unit tempur, memaksa perpanjangan wajib militer selama empat bulan dan pembatalan cuti prapembebasan. Kebijakan ini, yang mengklasifikasi tambahan waktu sebagai dinas cadangan, mencerminkan keputusasaan untuk menjaga kekuatan operasional di tengah perang Gaza yang melelahkan. Namun, langkah ini justru menyoroti kerentanan Israel dalam menghadapi konflik berkepanjangan yang menguras sumber daya dan moral.
Krisis ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari tantangan struktural yang mendalam. Rekrutmen yang gagal, terutama di kalangan Haredim, memperparah kekurangan personel. Komunitas ultra-Ortodoks, yang secara historis dikecualikan dari wajib militer demi studi keagamaan, menolak integrasi meskipun populasi mereka terus bertambah. Upaya legislatif untuk memperpanjang dinas dari dua tahun delapan bulan menjadi tiga tahun terhambat oleh oposisi sayap kanan, yang menuntut pengecualian bagi konstituen mereka, memperlihatkan perpecahan sosial yang melemahkan kohesi nasional.
Perang Gaza, yang telah menyebabkan korban signifikan seperti kematian Staf Sersan Neta Yitzhak Kahana di Shujaiya, menambah tekanan pada IDF. Operasi perlawanan Palestina, dengan penyergapan dan serangan mendalam, memaksa Israel bertempur di lingkungan perkotaan yang kompleks. Ancaman eskalasi besar-besaran, yang akan membutuhkan mobilisasi cadangan lebih lanjut, tampak semakin tidak realistis. Tingkat respons cadangan, yang merosot hingga 50 persen, menunjukkan kelelahan dan penurunan motivasi di kalangan reservis yang telah bertugas berulang kali.
Kelelahan ini bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis. Tentara wajib militer, sebagian besar pemuda berusia 18-21 tahun, menghadapi penundaan rencana pribadi seperti pendidikan atau karier. Perpanjangan dinas, meskipun dikompensasi sebagai cadangan, tidak cukup meredam frustrasi mereka. Reservis, yang sering kali pekerja sipil, menderita tekanan finansial akibat mobilisasi berkepanjang. Laporan tentang penolakan tugas oleh reservis mengisyaratkan krisis moral yang dapat mengganggu disiplin dan efektivitas tempur, meningkatkan risiko kesalahan operasional.
Secara strategis, perang panjang ini memberikan keuntungan bagi kelompok perlawanan seperti Hamas. Dengan taktik gerilya, terowongan, dan perang gesekan, mereka mampu menyebabkan kerugian tanpa memerlukan sumber daya sebesar IDF. Setiap korban Israel, seperti dua tentara yang tewas di Shujaiya, memperkuat narasi perlawanan bahwa mereka dapat melawan kekuatan militer yang lebih besar. Sementara Israel menguasai 50 persen wilayah Gaza, tujuannya bukan kekalahan total Hamas, melainkan tekanan dalam negosiasi—strategi yang tampaknya gagal menghasilkan terobosan.
Ketegangan domestik memperumit situasi. Protes di Tel Aviv, yang menuntut kesepakatan pertukaran tahanan, mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan. Seruan mantan kepala Shin Bet, Ami Ayalon, untuk pembangkangan sipil setelah pemecatan kepala Shin Bet Ronen Bar menunjukkan perpecahan antara pemerintah dan badan keamanan. Ketimpangan beban militer, dengan Haredim tetap dikecualikan, memicu narasi ketidakadilan yang dapat memicu kerusuhan lebih luas, melemahkan stabilitas internal.
Ekonomi Israel juga terpukul. Mobilisasi cadangan mengganggu sektor tenaga kerja, terutama industri teknologi yang menjadi tulang punggung perekonomian. Biaya perang, termasuk kompensasi reservis dan kerusakan infrastruktur, membebani anggaran negara. Jika konflik berlanjut, penurunan kepercayaan investor asing dapat memperburuk tekanan fiskal. Krisis ini kontras dengan ketahanan ekonomi kelompok perlawanan, yang mengandalkan dukungan regional dan operasi berbiaya rendah, memungkinkan mereka bertahan lebih lama.
Tekanan internasional menambah beban. Aksi militer di Gaza, yang menyebabkan korban sipil, menuai kecaman global. Laporan pelanggaran HAM meningkatkan risiko sanksi atau tindakan hukum di pengadilan internasional. Isolasi diplomatik dapat membatasi akses Israel ke senjata atau dukungan dari sekutu seperti Amerika Serikat, terutama jika operasi dianggap tidak proporsional. Citra Israel, yang sudah terpukul, memburuk di era media sosial, memperkuat narasi perlawanan di panggung global.
Krisis ini menunjukkan bahwa perang panjang tidak berkelanjutan bagi Israel. Kekurangan personel dan kelelahan tentara menciptakan kerentanan operasional. Tanpa reformasi struktural, yang terhambat oleh politik dan waktu, IDF berisiko kehilangan efektivitas. Perpanjangan wajib militer hanya solusi sementara, seperti menambal kapal yang bocor di tengah badai. Sementara itu, perlawanan mendapatkan keuntungan strategis, memperpanjang konflik dengan biaya minimal, memaksa Israel ke posisi defensif yang melemahkan.
Solusi jangka pendek terbatas. Diplomasi, meskipun sulit, adalah satu-satunya cara untuk mengurangi tekanan militer. Negosiasi gencatan senjata, bahkan dengan konsesi, dapat memberikan waktu untuk memulihkan sumber daya manusia. Optimalisasi teknologi, seperti drone atau intelijen AI, bisa mengurangi ketergantungan pada pasukan. Dukungan finansial dan psikologis untuk reservis mungkin menjaga moral, tetapi ini memerlukan anggaran tambahan. Namun, tanpa kemajuan politik, solusi ini hanya menunda krisis yang lebih besar.
Jika perang berlanjut, konsekuensinya bisa fatal. Kegagalan operasional, seperti kehilangan kendali atas wilayah Gaza, dapat merusak reputasi IDF. Eskalasi regional, misalnya dengan Hizbullah, akan menguji ketahanan Israel yang sudah rapuh. Krisis sosial, didorong oleh ketidakpuasan tentara dan publik, berpotensi memicu pembangkangan atau perubahan pemerintahan. Isolasi internasional dapat memperparah tekanan ekonomi, melemahkan kemampuan Israel untuk mempertahankan diri dalam jangka panjang.
Perang ini menyoroti paradoks kekuatan Israel. Meskipun memiliki militer canggih, ketergantungan pada wajib militer dan cadangan membuatnya rentan dalam konflik berkepanjangan. Perlawanan, dengan fleksibilitas dan ketahanan, memanfaatkan kelemahan ini. Setiap hari tanpa resolusi memperkuat posisi mereka, sementara Israel terjebak dalam siklus kelelahan dan perpecahan. Krisis tenaga manusia bukan sekadar masalah logistik, tetapi cerminan dari tantangan eksistensial yang mengancam stabilitas nasional.
Masa depan bergantung pada kemampuan Israel untuk keluar dari jebakan ini. Diplomasi harus diprioritaskan untuk menghentikan pendarahan sumber daya. Reformasi, meskipun lambat, harus dimulai dengan kompromi politik untuk memperluas basis rekrutmen. Dukungan untuk tentara dan reservis harus ditingkatkan untuk mencegah kolaps moral. Tanpa langkah-langkah ini, Israel berisiko kehilangan tidak hanya perang, tetapi juga kohesi yang telah lama menjadi kekuatannya. Krisis ini adalah peringatan bahwa bahkan kekuatan militer terbesar pun bisa goyah ketika waktu dan manusia menjadi musuh.
Daftar Sumber
- Al Mayadeen. (n.d.). IOF faces manpower shortages, extended military service amid Gaza war. Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/iof-faces-manpower-shortages–extended-military-service-amid
- The Cradle. (n.d.). Israel extends compulsory service as manpower crisis plagues army. Diakses dari https://thecradle.co/articles/israel-extends-compulsory-service-as-manpower-crisis-plagues-army