Analisis
Kisah Oposisi Suriah: Ambisi Besar yang Hancur Berantakan

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Ketika revolusi Suriah dimulai pada 2011, dunia menyaksikan gelombang protes besar-besaran yang menyerukan reformasi politik di bawah Bashar al-Assad. Seiring eskalasi kekerasan, harapan akan perubahan tumbuh, dan berbagai upaya internasional digalang untuk mendukung oposisi Suriah. Namun, ambisi besar yang dibangun oleh kelompok-kelompok ini perlahan-lahan hancur berantakan, tergilas oleh perpecahan internal, dinamika geopolitik, dan ketidakmampuan membangun konsolidasi yang kokoh.
Konflik ini pertama kali menarik perhatian Dewan Keamanan PBB. Di forum itu, negara-negara Barat mendorong resolusi untuk menekan Assad melalui sanksi dan kecaman keras. Namun, Rusia dan Tiongkok, dua anggota tetap Dewan, dengan tegas memveto berbagai resolusi tersebut. Mereka menganggap tindakan itu sebagai bentuk intervensi dalam urusan domestik Suriah dan menolak pengalaman serupa yang terjadi di Libya. Ketegangan di Dewan Keamanan menciptakan jalan buntu, dan frustrasi ini mendorong negara-negara Barat mencari alternatif.
Lahirnya Friends of Syria pada 2012 adalah respons terhadap kebuntuan tersebut. Aliansi internasional ini beranggotakan lebih dari 70 negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Inggris, serta negara-negara Teluk. Friends of Syria bertujuan mendukung oposisi dengan menyediakan bantuan kemanusiaan, menggalang sanksi terhadap Assad, dan memberikan legitimasi politik kepada Syrian National Council (SNC), sebuah badan oposisi yang dibentuk pada 2011 di Istanbul. Di atas kertas, ini adalah langkah strategis yang menjanjikan, tetapi realitasnya jauh lebih kompleks.
SNC sendiri digagas sebagai payung besar untuk menyatukan berbagai faksi oposisi Suriah. Kepemimpinan awalnya dipercayakan kepada Burhan Ghalioun, seorang akademisi sekuler yang tinggal di Prancis. Pemilihannya bertujuan menciptakan kompromi di antara kelompok sekuler, Islamis moderat, dan minoritas. Namun, harapan ini segera berbenturan dengan realitas perbedaan ideologi yang dalam. Dominasi kelompok Ikhwanul Muslimin dalam SNC memicu kecurigaan di antara faksi-faksi sekuler dan minoritas. Sementara itu, kelompok oposisi bersenjata di lapangan, seperti Free Syrian Army (FSA), menganggap SNC terlalu terputus dari realitas perang.
Ketegangan ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa SNC bergantung pada dukungan dari negara-negara pendukung seperti Qatar dan Turki, yang memiliki agenda masing-masing. Di lapangan, pejuang yang mempertaruhkan nyawa merasa bahwa SNC lebih mewakili elit diaspora ketimbang mereka yang menghadapi risiko setiap hari. Kekecewaan ini mencapai puncaknya dengan kemunculan kelompok radikal seperti Jabhat al-Nusra. Kelompok ini menarik banyak pejuang Islamis yang merasa terpinggirkan dari SNC dan memberikan mereka platform untuk bertarung dengan ideologi Islamis yang tegas.
Jabhat al-Nusra, yang didirikan pada 2012, pada awalnya muncul sebagai kelompok yang terafiliasi dengan al-Qaeda. Kelompok ini menonjol di medan perang, terutama karena keberhasilannya dalam merebut wilayah-wilayah strategis di Suriah. Namun, pada 2013, Jabhat al-Nusra memutuskan untuk keluar dari SNC, sebuah langkah yang mencerminkan perpecahan dalam tubuh oposisi yang lebih luas. Keputusan ini didorong oleh beberapa faktor penting. Salah satunya adalah ketidakpuasan dengan arah politik SNC yang dianggap terlalu sekuler dan terlalu terikat dengan negara-negara Barat dan negara-negara Teluk. Kelompok ini merasa bahwa SNC tidak cukup memberikan ruang bagi kelompok Islamis yang lebih konservatif, serta tidak mampu mewakili perjuangan mereka di lapangan yang sangat keras.
Keputusan untuk keluar dari SNC diambil setelah pemilihan presiden SNC, ketika Burhan Ghalioun digantikan oleh Moaz al-Khatib pada 2012. Pemilihan al-Khatib, yang lebih moderat dan memiliki koneksi lebih kuat dengan dunia Arab, menambah ketegangan dalam tubuh SNC. Jabhat al-Nusra merasa bahwa dengan pemilihan al-Khatib, SNC semakin jauh dari perjuangan Islamis murni yang mereka idamkan dan tidak cukup berkomitmen untuk menggulingkan Assad. Kelompok ini akhirnya memutuskan untuk menegaskan identitasnya sebagai kekuatan independen dan lebih menekankan aspek jihad global. Pada 2013, mereka secara terbuka menyatakan afiliasi mereka dengan al-Qaeda, meskipun kemudian pada 2017, mereka membentuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok yang lebih terorganisir dan memiliki tujuan untuk mendirikan negara Islam berdasarkan hukum syariah di wilayah yang mereka kuasai.
Tak hanya itu, minoritas seperti Kurdi juga merasa kurang diwakili dalam SNC. Mereka memilih bergerak secara independen di bawah Partai Uni Demokratik (PYD) dan pasukan bersenjata mereka, YPG. Fragmentasi ini memperlemah oposisi yang sudah rapuh dan membuat mereka semakin sulit menyusun strategi bersama melawan Assad.
Friends of Syria, yang diharapkan menjadi kekuatan pendukung utama, juga tidak mampu menyelamatkan situasi. Sementara mereka memberikan dukungan finansial dan politik, tidak ada koordinasi yang efektif di antara para anggotanya. Negara-negara Teluk memiliki preferensi untuk mendukung kelompok-kelompok Islamis, sementara negara-negara Barat lebih berhati-hati, terutama setelah kemunculan ISIS dan meningkatnya kekhawatiran tentang radikalisasi.
Seiring waktu, ambisi besar untuk menggulingkan Assad mulai kehilangan momentum. Bantuan internasional menyusut, perhatian global teralihkan ke krisis lain, dan Assad, dengan dukungan kuat dari Rusia dan Iran, berhasil merebut kembali banyak wilayah strategis. Fragmentasi di tubuh oposisi, baik secara politik maupun militer, menjadi salah satu faktor utama kegagalan mereka.
Kisah oposisi Suriah adalah cermin dari bagaimana perpecahan internal, ditambah dengan campur tangan asing yang membawa agenda masing-masing, dapat menghancurkan harapan akan perubahan. Rakyat Suriah menjadi korban utama, terperangkap dalam konflik yang menjadikan negara mereka medan pertarungan kepentingan asing—dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat, hingga Turki dan sejumlah negara Arab. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa revolusi yang tidak sepenuhnya tumbuh dari kehendak murni rakyat sering kali berakhir bukan dengan pembebasan, melainkan penderitaan yang berkepanjangan.