Connect with us

Analisis

Ketika Pemukim Israel ‘Belajar Hukum’ di Amsterdam

Published

on

Di Amsterdam, para pendukung Maccabi Tel Aviv tampaknya datang dengan keyakinan bahwa mereka masih berada di tanah yang memberi mereka kebebasan tanpa batas. Mereka merasa di mana pun mereka berada, hukum tak akan bisa menyentuh mereka, dan apa pun yang mereka lakukan akan dianggap sah. Namun, di kota yang dihuni berbagai budaya, ketegangan mulai terasa ketika provokasi mereka mulai membesar.

Segalanya dimulai dengan sebuah aksi provokatif: mereka menurunkan bendera Palestina yang terpasang di sebuah gedung di pusat kota. Tindakan ini seolah-olah menantang siapa pun yang tak sepaham. Tak cukup hanya itu, mereka merusak properti pribadi, menghancurkan mobil seorang sopir taksi lokal, bahkan memukulinya dengan kejam. Aksi kekerasan ini semakin memuncak ketika mereka mulai membawa rantai besi, seolah siap untuk menambah kerusakan.

Namun, mereka tampaknya lupa bahwa mereka berada di Amsterdam, sebuah kota yang dikenal dengan pluralitas dan keberagaman. Warga lokal, yang sebagian besar berasal dari latar belakang Muslim, tak tinggal diam. Mereka yang merasa dihina dan terprovokasi mulai merespon dengan cara mereka sendiri. Di tengah ketegangan ini, terjadi perlawanan dari kelompok muda Muslim yang merasa sudah cukup dengan penghinaan tersebut. Mereka tidak lagi bersabar dan segera membalas perlakuan para hooligan dengan cara mereka, memberikan pelajaran tentang siapa yang sebenarnya merasa “berkuasa” di jalanan kota itu.

Sementara itu, para hooligan Maccabi Tel Aviv yang sebelumnya bertindak dengan kekerasan kini mengubah narasi mereka. Ketika mereka mulai menjadi sasaran serangan balasan, mereka segera merangkul peran sebagai “korban.” Mereka berusaha mengubah sudut pandang dunia dengan menciptakan cerita baru bahwa mereka telah diserang secara brutal oleh kelompok Islam radikal, seolah mereka adalah pihak yang teraniaya. Narasi ini dengan cepat disebarluaskan, mengubah mereka menjadi simbol penderitaan tanpa menyadari bahwa peristiwa itu adalah akibat langsung dari provokasi mereka sendiri.

Dengan insiden ini, muncullah respons dari pemerintah Israel. Perdana Menteri Netanyahu mengirim dua pesawat penyelamat untuk membawa pulang para “warga negara” mereka yang terluka. Bahkan, menurut laporan media Ibrani, agen-agen dari Mossad dan Shin Bet segera turun tangan di Amsterdam, dengan instruksi untuk “menghabisi siapa saja yang dianggap sebagai ancaman.” Seluruh operasi ini bertujuan untuk mengubah narasi yang sudah terlanjur tercoreng di mata dunia.

Namun, di tengah upaya itu, satu hal yang tidak bisa mereka ubah adalah kenyataan bahwa di luar Israel, tindakan mereka tidak lagi terlindungi oleh kebijakan yang biasa mereka nikmati. Masyarakat Amsterdam, yang menyaksikan ketegangan ini, mulai bergerak. Warga lokal, yang bukan hanya melihat aksi kekerasan, tetapi juga merasakan dampaknya, tidak tinggal diam. Mereka berani memberi perlawanan, meski mereka tahu bahwa respon ini akan menambah kerumitan.

Ketika para hooligan Maccabi Tel Aviv berusaha menggambarkan diri mereka sebagai korban dalam narasi yang mereka bangun, dunia luar melihat dengan jelas. Mereka yang beranggapan bahwa mereka bisa bertindak semena-mena, bahkan di luar negeri, akhirnya dihadapkan pada kenyataan pahit: tidak ada tempat bagi kekerasan tanpa konsekuensi. Keberagaman dan kebebasan yang ada di Amsterdam mengingatkan mereka bahwa di luar tanah mereka, tidak ada lagi tempat untuk kebal hukum.

Di Amsterdam, mereka akhirnya belajar bahwa hukum tetap ada, dan dunia tidak akan menerima perilaku semacam itu, bahkan jika mereka mengatasnamakan identitas atau kebanggaan mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *