Connect with us

Analisis

Kehidupan Abu Mohammad al-Julani: Pemimpin Moderat Jihadis Suriah

Published

on

Oleh Elijah J. Magnier (Analis Militer)

Ahmad Hussein al-Shara, yang lebih dikenal dengan nama perangnya Abu Mohammad al-Julani, telah muncul sebagai salah satu pemimpin jihadis paling penting di Suriah modern. Dari keterlibatannya dalam pelatihan militan hingga menjadi emir ISIS, emir Al-Qaeda di Bilad al-Sham, dan kemudian kepala Hayat Tahrir al-Sham (HTS), perjalanan al-Julani mencerminkan evolusi yang kompleks dan sering kali brutal dari gerakan jihadis di kawasan tersebut. Artikel ini menggambarkan perjalanannya, mulai dari masa awal sebagai militan hingga perannya saat ini sebagai tokoh moderat di antara kekuatan jihadis di Suriah.

Awal Kehidupan Ahmad al-Shara 

Ahmad al-Shara lahir di Daraa, Suriah selatan, pada tahun 1981 dalam sebuah keluarga konservatif, namun tidak ekstremis. Ia menempuh pendidikan di lembaga lokal, tetapi mulai tertarik pada ideologi radikal di akhir masa remajanya. Invasi AS ke Irak pada tahun 2003 menjadi pemicu perjalanannya ke dunia jihad militan.

Al-Julani kemudian melakukan perjalanan ke Afghanistan, di mana ia dilaporkan dilatih di kamp-kamp yang terkait dengan al-Qaeda. Di sana, ia mendalami ideologi jihad global yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Osama bin Laden. Pelatihannya mencakup perang gerilya, doktrin agama, dan kepemimpinan—keterampilan yang kemudian ia gunakan di Irak dan Suriah.

Bergabung dengan Al-Qaeda di Irak dan Penahanan di Camp Bucca

Pada tahun 2003, setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein dan pendudukan oleh NATO yang dipimpin AS, Abu Mohammad al-Julani bergabung dengan ratusan pejuang asing dalam pemberontakan di Irak. Ia bergabung dengan Al-Qaeda di Irak (AQI) yang saat itu dipimpin oleh Abu Musab al-Zarqawi, seorang militan Yordania terkenal karena taktik brutalnya dan fokus pada memicu perpecahan sektarian.

Selama pendudukan Irak, militer AS mengakui bahwa mereka membesar-besarkan pentingnya peran Zarqawi sebagai bagian dari strategi operasi psikologis (PSYOP). Narasi ini, yang bertujuan untuk menggambarkan pemberontakan sebagai didorong oleh ekstremis asing, justru meningkatkan daya tarik Zarqawi di kalangan jihadis.

Al-Julani terlibat dalam jihad melawan AS dan cepat naik pangkat dalam AQI, khususnya di Irak barat, dengan mengorganisir serangan terhadap pasukan AS, kolaborator Irak, dan warga sipil Syiah.

Pada 2006, al-Julani ditangkap oleh pasukan AS dan ditahan di Camp Bucca, sebuah penjara di Irak selatan yang dikenal sebagai “universitas jihadis.” Di sinilah ia bertemu Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin masa depan ISIS. Hubungan mereka, yang didasari ideologi bersama, semakin memperkuat komitmen al-Julani pada perjuangan jihad.

Dari ‘Tanah Nusra’ ke ‘Tanah Jihad’ Sebelum 2011 

Transformasi Suriah dari negara yang relatif sekuler pada tahun 2003 menjadi pusat aktivitas jihadis pada tahun 2011 tidak terjadi secara tiba-tiba. Hal ini merupakan hasil dari kombinasi peristiwa regional, kebijakan negara, dan dinamika ideologi Islam yang berubah di Suriah dan kawasan sekitarnya.

Pada awal 2000-an, Suriah dipandang sebagai benteng gerakan perlawanan, sering disebut sebagai “Nusra” (dukungan). Pemerintah Assad memosisikan dirinya sebagai pembela perlawanan Palestina dan Irak melawan pendudukan asing, khususnya oleh AS dan Israel. Namun, invasi AS ke Irak pada tahun 2003 membuka pintu bagi jaringan jihadis untuk berkembang, dengan Suriah menjadi jalur transit utama bagi pejuang asing menuju Irak.

Meskipun secara resmi menentang gerakan jihadis, rezim Suriah terkadang mendukung pergerakan mereka secara diam-diam, melihatnya sebagai cara untuk menggoyahkan pendudukan AS di Irak sambil mengalihkan perhatian jihadis dari Suriah. Strategi ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan ideologi jihadis tumbuh secara perlahan di dalam negeri.

Selama akhir 2000-an, lanskap keagamaan di Suriah mulai berubah, ditandai dengan meningkatnya pengaruh ideologi Salafi yang didanai Arab Saudi. Ideologi Wahhabi yang diimpor ini menyebar melalui materi keagamaan dan pengkhotbah, terutama di daerah pedesaan dan wilayah miskin.

Pada saat yang sama, konflik di Irak, Afghanistan, dan Palestina dijadikan sebagai bagian dari perjuangan global melawan kekuatan Barat dan Zionis. Kedekatan geografis Suriah dengan Irak memfasilitasi masuknya ideologi radikal ke dalam komunitas lokal, yang pada akhirnya menciptakan jaringan rekrutmen dan pelatihan.

Pendekatan rezim Assad yang menoleransi khotbah Islamis radikal mulai menjadi bumerang. Kelompok Salafi-jihadis mulai beroperasi secara rahasia, merekrut generasi muda Suriah yang kecewa dengan rezim. Ketegangan ini mencapai puncaknya dengan datangnya Arab Spring pada tahun 2011, yang memicu pemberontakan besar di Suriah dan mempercepat munculnya kelompok-kelompok radikal seperti Hayat Tahrir al-Sham.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *