Analisis
JI Bubar: Tantangan Baru untuk Densus 88 dan BNPT

Deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) baru-baru ini menandai babak baru dalam upaya menjaga keamanan Indonesia. Awal bulan ini. ratusan mantan anggota JI, yang sebagian besar memiliki pengalaman konflik di Afghanistan dan Moro Filipina, hadir dalam sebuah acara Dialog Kebangsaan untuk menyatakan komitmen mereka kembali ke pangkuan NKRI. Dipimpin oleh Para Wijayanto, deklarasi ini memuat dasar-dasar syar’i yang diyakini sebagai landasan keputusan pembubaran JI, menandakan bahwa ini bukan langkah impulsif, melainkan strategi keagamaan yang dipertimbangkan matang.
Namun, meskipun pembubaran ini dianggap sebagai langkah maju, tak semua anggota JI menyepakatinya. Diketahui bahwa saat ini JI memiliki sekitar 6.000 anggota aktif. Dengan adanya deklarasi ini, mereka menghadapi situasi yang serba tak pasti. Sebagian mungkin akan menerima pembubaran, tetapi kemungkinan besar ada juga yang memilih jalan berbeda. Kondisi ini menciptakan potensi bagi 6.000 anggota tersebut untuk menjadi massa liar, yang tanpa arah atau kontrol jelas, dapat mengarah pada peningkatan risiko keamanan nasional. Ini menjadi tantangan besar bagi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kini harus menghadapi ancaman teror yang semakin tersebar dan tak terstruktur.
Selain itu, ancaman dari kelompok radikal lainnya terus membayangi. Tak lama setelah deklarasi pembubaran JI, Densus 88 menangkap tiga anggota Jamaah Anshar Daulah (JAD) di Jawa Tengah yang diduga merencanakan serangan teror dan menyebarkan propaganda di media sosial. Data dari BNPT menunjukkan bahwa JAD merupakan salah satu kelompok radikal paling aktif di Indonesia, dengan berbagai serangan, termasuk bom gereja di Surabaya pada 2018 yang menewaskan 28 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa meski JI bubar, kelompok lain seperti JAD tetap menjalankan aksinya dan siap merekrut simpatisan baru.
Kesepakatan dan Potensi Pembelotan
Meski Para Wijayanto telah menguraikan 42 dalil syar’i sebagai landasan keagamaan untuk pembubaran JI, sebagian anggota tetap meyakini bahwa perjuangan mereka harus terus berlanjut. Dalam konteks ini, ada kekhawatiran bahwa faksi-faksi yang tidak sepakat akan membuat kelompok baru atau memilih beralih ke jaringan lain yang lebih radikal.
Menurut data dari Densus 88, munculnya faksi-faksi kecil setelah pembubaran kelompok besar dapat mengakibatkan perpecahan yang lebih sulit dikendalikan. Fenomena serupa terjadi pada jaringan al-Qaeda, di mana setelah pembubaran atau penurunan kekuatan mereka, kelompok baru seperti ISIS muncul dan menarik simpatisan global. Jika para anggota JI yang tak sepakat membentuk kelompok baru atau bergabung dengan organisasi yang lebih radikal, maka Densus 88 dan BNPT harus menghadapi ancaman yang lebih kompleks dan tak terprediksi.
Potensi Pindah ke Kelompok Teroris Lain
Kemungkinan anggota JI yang kecewa berpindah ke kelompok radikal lain, seperti JAD, juga perlu diwaspadai. JAD, yang terkait dengan ISIS, terus memperlihatkan diri sebagai alternatif bagi mereka yang tetap ingin melanjutkan perjuangan jihad.
Pada 2022, misalnya, beberapa anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang merasa organisasinya melemah memilih untuk bergabung dengan JAD yang dianggap lebih kuat. Berdasarkan laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), JAD sejak 2019 telah merekrut lebih dari 300 anggota di berbagai wilayah Indonesia. Jika eks anggota JI yang kecewa turut bergabung dengan JAD, ini tidak hanya memperkuat jaringan JAD, tetapi juga meningkatkan potensi serangan teroris di masa mendatang.
Tantangan Baru bagi Densus 88 dan BNPT
Pembubaran JI adalah pencapaian signifikan, tetapi Densus 88 dan BNPT kini menghadapi tantangan baru dalam memantau 6.000 anggota JI yang, dengan beragam pandangan, dapat bergeser ke arah yang tak terduga. Pengawasan terhadap eks anggota yang mungkin masih memiliki afiliasi radikal sangat diperlukan untuk mencegah terbentuknya kelompok-kelompok baru yang lebih kecil dan berpotensi ekstrem.
BNPT melaporkan pada 2023 bahwa program deradikalisasi telah menjangkau sekitar 900 mantan teroris, namun efektivitasnya masih perlu diperbaiki. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 60 persen yang menunjukkan perubahan signifikan. Dengan jumlah anggota JI yang besar, upaya deradikalisasi harus ditingkatkan agar lebih banyak mantan teroris yang benar-benar kembali ke masyarakat tanpa terlibat dalam kelompok radikal lain.
Selain itu, tantangan di era digital semakin besar, di mana penyebaran ideologi radikal melalui media sosial meningkat 30 persen pada 2023, terutama di kalangan generasi muda. Pengawasan dan kerja sama dengan platform media sosial menjadi sangat penting untuk memblokir konten radikal serta memantau rekrutmen digital yang menargetkan generasi muda.
Pembubaran JI membuka peluang bagi keamanan nasional yang lebih stabil, namun tetap menyisakan tantangan serius. Dengan potensi 6.000 anggota JI yang menjadi massa liar atau berpindah ke jaringan radikal lainnya, tantangan untuk menumpas terorisme di Indonesia semakin kompleks. Kerja sama antara aparat keamanan, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengantisipasi pergerakan dari kelompok-kelompok yang tak setuju dengan pembubaran ini, agar ancaman radikalisme dan terorisme di Tanah Air dapat ditekan seefektif mungkin.