Analisis
Istana-Istana Arab Menutup Mata, Ketika Gaza Terbakar

Malam itu, di tengah reruntuhan dan serpihan, Gaza kembali menangis. Israel menghujani Jabalia, Gaza utara, dengan bom pada Kamis (24/10), melumatkan setidaknya 11 bangunan berpenghuni di kawasan Jalan Al-Hawja, Blok 7. Rumah-rumah itu, yang sebelumnya menjadi pelindung kehidupan sehari-hari, mendadak menjadi makam bagi lebih dari 150 jiwa. Sebagian meninggal di bawah reruntuhan, sementara yang lainnya merintih dalam sepi, tanpa bala bantuan. Tak ada tangan yang terulur, tak ada suara yang berseru, dan Gaza dibiarkan berdarah di dalam keheningan yang menghantui.
Di seberang sana, pemimpin-pemimpin Arab yang bertengger di atas tahta megah mereka mendengar seruan dari Hamas—seruan yang seharusnya menyentuh hati dan membangunkan nurani. Tapi di Riyadh, Abu Dhabi, Kairo, dan Amman, tak ada yang bergerak. Jarak mereka tak lebih dari sekadar sepelemparan batu, tapi di hadapan tragedi ini, mereka memilih bungkam, seakan jarak kemanusiaan terbentang ribuan mil jauhnya.
“Penyerbuan Rumah Sakit Martir Kamal Adwan di Beit Lahia oleh tentara pendudukan teroris,” tegas Hamas dalam pernyataannya, “adalah kejahatan perang, pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.” Seruan ini adalah jeritan dari rakyat yang hampir putus asa, memohon simpati dari negara-negara tetangga yang seharusnya menjadi saudara. Tapi di meja-meja konferensi dan istana-istana mewah, para pemimpin itu membisu, seakan seruan ini hanyalah bisikan angin yang berlalu begitu saja.
Mesir, hanya sehelai perbatasan dari Gaza, menyaksikan tragedi ini dengan tangan terlipat. Di balik temboknya, Mesir memilih menjadi penjaga diam yang tak berdaya, padahal setiap dentuman bom di Gaza menggema sampai ke tanahnya. Yordania, yang juga berbatasan dengan Palestina, hanya menyuguhkan pernyataan-pernyataan lemah tanpa tindakan nyata, seolah mereka bisa berlindung di balik klaim “netralitas.” Saudi dan Uni Emirat Arab, dengan kilauan emas dan kemewahan, memalingkan muka, lebih sibuk bertransaksi diplomasi dengan mereka yang mendanai penjajahan. Negeri-negeri ini, yang pernah menggembor-gemborkan solidaritas Islam, kini memilih jalan sunyi, jalan yang berlawanan dari hati nurani.
Diamnya mereka ini bukanlah netralitas—diam ini adalah ketidakpedulian yang menghina. Ini bukan ketenangan, melainkan kematian nurani yang terbungkus dalam bahasa diplomasi. Mereka yang dulu bicara lantang soal persaudaraan, tentang “umat yang satu,” kini tampak hanya mempertimbangkan untung-rugi politik, takut kehilangan kursi dan gemilang kekuasaan. Apakah makna kata “umat” bagi mereka yang duduk di balik perbatasan, yang dengan nyaman menyaksikan tragedi ini dari layar-layar di istana mereka?
Iran, Hizbullah, Yaman, Suriah—mereka yang memilih berdiri di sisi rakyat Palestina, walaupun di tengah tekanan dan ancaman, membuktikan bahwa masih ada yang menaruh hati di tempat seharusnya. Namun, untuk para pemimpin Arab yang memilih diam di tengah duka ini, sepertinya nurani mereka sudah terkubur dalam perhitungan politik dan ekonomi. Alasan stabilitas dan keamanan adalah tameng mereka, tapi setiap nyawa yang hilang di Gaza adalah saksi bahwa stabilitas mereka dibangun di atas kebisuan yang mematikan.
Dan akhirnya, Gaza pun tahu, bahwa di dunia yang gemilang ini, ia tak lagi punya saudara yang sejati. Apa yang tersisa hanyalah retorika kosong, kata-kata manis yang terlontar dalam konferensi, tapi tak pernah menjadi tindakan nyata. Gaza tahu bahwa yang memilih diam telah kehilangan hati; mereka adalah kerajaan-kerajaan pasir yang, meski berkilau, tak akan pernah mampu menutupi kenyataan pahit ini.