Analisis
Israel dan Niat Terselubung di Balik Gencatan Senjata Lebanon

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Dalam laporan eksklusifnya, The Cradle mengungkap bahwa Israel telah melanggar gencatan senjata lebih dari 100 kali sejak diumumkan pada 27 November. Ironisnya, gencatan senjata yang seharusnya membawa perdamaian justru digunakan Israel untuk memperluas kekuasaannya di Lebanon Selatan. Dengan dalih menghancurkan infrastruktur Hizbullah, Israel justru terus melancarkan serangan udara, penghancuran rumah, dan penyerangan terhadap warga sipil.
Gencatan senjata antara Israel dan Lebanon tampaknya menawarkan secercah harapan di tengah konflik berkepanjangan. Namun, harapan itu kini mulai terlihat seperti fatamorgana di padang gurun. Israel, dengan kepiawaian politisnya, telah menyulap gencatan senjata menjadi alat manipulasi yang penuh tipu daya. Ketika Resolusi 1701 PBB diumumkan, dunia sempat percaya bahwa ini adalah langkah maju menuju perdamaian. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Israel menunjukkan bahwa niat baiknya tak lebih dari sekadar sandiwara.
Sejak kesepakatan itu berlaku, lebih dari 100 pelanggaran dilakukan oleh Israel. Serangan udara, penghancuran rumah, hingga penyerangan terhadap warga sipil terus berlangsung di Lebanon Selatan. Dan ironisnya, semua ini dilakukan atas nama keamanan. Dengan liciknya, Israel menggunakan dalih menghancurkan infrastruktur Hizbullah, sebuah tugas yang sebenarnya diamanatkan kepada pemerintah Lebanon, bukan kepada pasukan asing.
Tak berhenti di situ, Israel bahkan memanfaatkan situasi untuk memperluas cengkeramannya di wilayah yang sebelumnya sulit mereka jangkau selama pertempuran darat. Pemasangan bendera Israel di bukit Naqoura, misalnya, lebih mirip deklarasi kolonial daripada tindakan militer defensif. Gencatan senjata, yang seharusnya menjadi jembatan menuju stabilitas, justru dijadikan alat untuk mendikte Lebanon dan merongrong kedaulatannya.
Sikap keras kepala Israel ini tentu saja tidak berdiri sendiri. Ada tangan-tangan besar yang bermain di belakang layar. Amerika Serikat, sang pendorong utama gencatan senjata, tampaknya memainkan peran ganda. Di satu sisi, AS mendesak agar kesepakatan ini tercapai, tetapi di sisi lain, mereka juga menjamin Israel dapat bertindak “dengan kekuatan” jika merasa terancam. Sebuah surat rahasia antara Washington dan Tel Aviv menjadi bukti bahwa ada agenda tersembunyi yang tak diumumkan ke publik.
Lalu, apa dampaknya bagi kawasan? Bagi Lebanon, gencatan senjata ini lebih menyerupai perang dalam kedok baru. Rakyat yang masih berjuang memulihkan diri dari dampak perang kini harus menghadapi ancaman baru: serangan sporadis, rumah yang diratakan, dan ketidakpastian masa depan. Di tingkat regional, ketegangan terus meningkat. Negara-negara tetangga yang sebelumnya menganggap gencatan senjata sebagai model resolusi konflik kini mulai meragukan keefektifannya. Dan bagi Israel sendiri? Jika terus bermain api, mereka mungkin akan kehilangan legitimasi yang sudah mulai menipis di mata komunitas internasional.
Namun, dampak terbesarnya mungkin terasa di tingkat global. Jika dunia akhirnya sadar bahwa Israel menggunakan janji manis dan kata-kata manisnya hanya sebagai topeng, maka kepercayaan internasional terhadap Tel Aviv akan runtuh. Apa artinya sebuah perjanjian jika pihak yang terlibat dengan santai melanggarnya? Negara-negara yang sebelumnya percaya pada narasi “Israel sebagai korban yang hanya bertahan” mungkin akan mulai mempertanyakan apakah mereka telah mendukung pihak yang salah.
Bayangkan dunia di mana janji Israel tak lagi diindahkan. Ketika diplomasi kehilangan daya tariknya karena tak ada lagi yang percaya, Israel mungkin akan menemukan dirinya terisolasi, tanpa sekutu yang siap membela. Dan bagi AS? Dukungan mereka terhadap perilaku semacam ini hanya akan memperkuat citra bahwa mereka lebih peduli pada kepentingan geopolitik daripada pada nilai-nilai keadilan dan perdamaian.
Gencatan senjata ini, jika dianalisis dengan saksama, lebih menyerupai perang dalam balutan sutra. Tapi sutra itu sudah mulai sobek, memperlihatkan wajah asli yang penuh intrik. Dunia mungkin belum sepenuhnya sadar, tapi ketika kesadaran itu datang, Israel akan menghadapi konsekuensi dari permainan liciknya. Sebab, dalam dunia yang semakin terhubung, kebohongan hanya memiliki umur yang pendek. Dan saat itu tiba, siapa yang akan membela mereka? Sebuah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawabnya.