Connect with us

Analisis

Hasil Revolusi Suriah: Israel Pemenangnya

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Revolusi Suriah yang dimulai pada 2011 telah melahirkan konflik yang berdampak luas, bukan hanya bagi rakyat Suriah, tetapi juga bagi seluruh kawasan Timur Tengah. Namun, di balik kehancuran yang ditinggalkan oleh perang saudara ini, tampaknya Israel berhasil mengubah kekacauan tersebut menjadi keuntungan strategis. Kejatuhan Presiden Bashar al-Assad pada Desember 2024 membuka pintu bagi Israel untuk memperluas pengaruhnya di wilayah yang selama ini menjadi pusat ketegangan antara kedua negara, terutama di Dataran Tinggi Golan.

Suriah, yang sejak revolusi dimulai telah terjerumus dalam perang saudara yang panjang, akhirnya menemui titik puncaknya dengan kejatuhan rezim Bashar al-Assad. Setelah lebih dari 13 tahun berjuang, kelompok-kelompok oposisi yang didukung oleh berbagai kekuatan internasional, termasuk AS, Turki, dan negara-negara Barat, berhasil melemahkan kekuatan militer dan politik Assad. Pada Desember 2024, meskipun pasukan Assad masih bertahan di beberapa wilayah, kekuasaan sebenarnya telah bergeser kepada kelompok-kelompok revolusioner yang mendominasi kawasan-kawasan penting di Suriah. Rezim Assad akhirnya jatuh dengan pembentukan pemerintahan transisi yang dikelola oleh koalisi oposisi yang lebih lemah dan terbagi.

Keadaan ini memberikan kesempatan besar bagi Israel untuk memperluas pengaruhnya di wilayah yang sangat strategis. Israel, yang sejak awal revolusi memantau dengan seksama perkembangan di Suriah, memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang tercipta pasca-kejatuhan Assad untuk mengamankan wilayah dan kepentingan mereka. Dengan Dataran Tinggi Golan sebagai titik kunci yang telah dikuasai Israel sejak Perang 1967, pasca-kejatuhan Assad, Israel semakin bebas bergerak.

Poin penting lainnya adalah kemajuan pasukan Israel di zona demiliterisasi Dataran Tinggi Golan, yang sebelumnya ditetapkan setelah Perang 1973. Israel bukan hanya mengklaim wilayah tersebut untuk keamanan, tetapi juga telah mengubahnya menjadi zona militer yang lebih luas, menginvasi wilayah-wilayah yang lebih dalam ke Suriah, termasuk area dekat Damaskus. Bahkan, menurut laporan, pasukan Israel telah menguasai beberapa desa di selatan Damaskus dan berada hanya sekitar 20 kilometer dari pusat kota.

Meskipun Israel menyangkal bahwa pasukannya telah bergerak lebih jauh dari zona demiliterisasi, serangan udara yang mereka lakukan terhadap infrastruktur militer Suriah selama beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa mereka berusaha menghabisi potensi militer negara tersebut. Target-target utama adalah pesawat-pesawat tempur, helikopter, dan instalasi militer Suriah yang berada di sekitar Damaskus, yang merusak hampir seluruh kapasitas militer negara tersebut.

Namun, bagi banyak aktor yang terlibat dalam revolusi Suriah sejak awal, hasil dari perjuangan mereka jauh dari apa yang diharapkan. Kelompok-kelompok oposisi yang berjuang untuk menggulingkan rezim Assad, termasuk FSA (Free Syrian Army), SDF (Syrian Democratic Forces), dan HTS (Hayat Tahrir al-Sham), meskipun memiliki ambisi besar untuk mengubah struktur politik Suriah, pada kenyataannya tidak memperoleh banyak keuntungan dari kekacauan ini. Bahkan, banyak yang terpecah dan kehilangan arah ketika negara-negara besar dan kekuatan internasional lainnya terlibat dengan kepentingan masing-masing.

Kelompok-kelompok ini, yang awalnya berjuang untuk kebebasan dan reformasi, harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa mereka tidak bisa mengendalikan jalannya revolusi. Mereka menjadi korban dari kebijakan asing yang lebih mengutamakan kepentingan strategis dan geopolitik, alih-alih tujuan awal revolusi. Sebagian dari mereka terjebak dalam pertempuran antar fraksi, baik dengan pasukan pemerintah maupun dengan kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Tanpa adanya dukungan internasional yang solid atau peran yang lebih besar dalam penyelesaian konflik, kelompok-kelompok oposisi ini tidak pernah benar-benar mendapatkan apa yang mereka perjuangkan.

Di sisi lain, Israel tampaknya berhasil memanfaatkan ketidakstabilan ini. Dengan menguasai wilayah strategis seperti Dataran Tinggi Golan, Israel tidak hanya mempertahankan dominasi mereka atas wilayah yang dipersengketakan, tetapi juga memastikan bahwa Suriah tidak akan pernah menjadi ancaman serius bagi mereka. Israel memanfaatkan kekosongan kekuasaan di Suriah untuk memperluas pengaruh dan mengamankan kepentingan nasionalnya.

Sementara itu, di Suriah, meskipun ada perubahan signifikan dalam pemerintahan pasca-kejatuhan Assad dengan pembentukan pemerintah transisi yang dipimpin oleh kelompok oposisi, dampak dari kekosongan kekuasaan tersebut menciptakan ruang bagi kekuatan eksternal untuk mengisi celah tersebut. Tentunya, Israel tidak bisa melewatkan kesempatan untuk mengamankan kehadirannya di kawasan yang selama ini menjadi tumpuan geostrategis.

Israel tidak hanya menguasai wilayah tersebut tetapi juga mengubah status Dataran Tinggi Golan menjadi lebih permanen dengan menegaskan bahwa wilayah itu akan tetap menjadi bagian dari Israel “selamanya.” Dengan dukungan dari aliansi regional seperti Amerika Serikat, yang tidak menghalangi ekspansi Israel, negara ini sepertinya telah berhasil memanfaatkan ketidakstabilan yang terjadi di Suriah untuk memperkuat posisinya. Bahkan, sejumlah negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania yang mengkritik invasi Israel, tidak mampu menahan laju dan agresivitas Israel di wilayah tersebut.

Dari semua ini, satu hal yang jelas: revolusi Suriah yang diharapkan akan membawa kebebasan dan perubahan untuk rakyatnya pada kenyataannya telah gagal. Perjuangan panjang yang melibatkan kelompok oposisi yang begitu besar dan banyak pihak internasional tidak membuahkan hasil yang memadai bagi rakyat Suriah. Sebaliknya, yang paling diuntungkan dari ketidakstabilan ini adalah Israel. Negara ini berhasil memanfaatkan kekosongan yang tercipta pasca-kejatuhan Assad untuk memperluas cengkeraman mereka atas wilayah strategis, khususnya Dataran Tinggi I. Israel, yang awalnya menjadi pihak yang terancam oleh Suriah, kini menjadi pemenang dari revolusi yang seharusnya mengubah dinamika politik kawasan. Kekacauan yang dihasilkan oleh revolusi ini justru membuka kesempatan bagi Israel untuk memperkuat posisinya, sementara rakyat Suriah dan kelompok revolusioner justru kehilangan arah dan tujuan mereka. Keputusan strategis Israel dalam memanfaatkan kesempatan ini menjadikan mereka pemenang tak terduga dari hasil revolusi Suriah.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *