Connect with us

Analisis

Fatamorgana Dua Ratu Eropa di Badai Geopolitik

Published

on

Di tengah gurun geopolitik yang membakar Eropa pada April 2025, dua “ratu” benua biru—Kaja Kallas dan Ursula von der Leyen—mengibarkan bendera harapan dari menara gading mereka. Kallas, kepala kebijakan luar negeri UE, berseru kepada El Mundo bahwa NATO “kuat, hidup, dan sehat,” meski Donald Trump mengancam mencabut dukungan AS. Sementara von der Leyen, dalam pidatonya di EU Debates TV, menabuh genderang perlawanan terhadap tarif AS, berjanji Eropa punya “segala yang dibutuhkan” untuk melindungi rakyatnya. Angin segar, katanya. Tapi di bawah menara itu, pasir masih beterbangan, dan oase yang dijanjikan hanyalah fatamorgana.

Bayangkan Kallas berdiri di tepi Laut Baltik, rambutnya berkibar diterpa angin Estonia, menatap cakrawala sambil berbisik, “NATO akan bertahan.” Indah, bukan? Tapi di lapangan, NATO tanpa AS ibarat kapal tanpa kemudi di tengah badai. AS menyumbang 70% dari anggaran NATO yang mencapai $1,7 triliun—$1,2 triliun dari kantong Paman Sam. Sisanya? Tambal sulam dari 31 negara yang bahkan tak bisa sepakat soal menu makan siang. Trump tegas: “Kalau tak bayar, saya tak bela.” Jika 100.000 pasukan AS di Eropa ditarik pulang, NATO tinggal bayangan. Kallas menyerukan “keputusan sulit,” tapi coba tanya rakyat Jerman yang hanya punya 20.000 tentara siap tempur: mau potong pensiun atau naikkan pajak demi tank?

Von der Leyen, ratu pasar tunggal, mengumbar strategi tiga pilar: negosiasi, diversifikasi, dan reformasi. Ia berseru Eropa akan “push back” tarif AS—25% untuk baja, aluminium, mobil, dan suku cadang, dengan semikonduktor dan farmasi menyusul. “Kita punya pasar terbesar di dunia!” katanya. Tapi di bawah panggung, Volkswagen dan BMW megap-megap: ekspor mobil Jerman ke AS (€60 miliar di 2022) bisa ambruk, 50.000 pekerjaan melayang, kata ifo Institute. Angin segar von der Leyen cuma bikin debu beterbangan—mana air untuk memadamkan api inflasi yang membakar dompet rakyat?

Kembali ke NATO. Tanpa AS, satelit intelijen hilang, logistik kacau, dan Battlegroups UE—unit siap tempur sejak 2007—masih jadi pajangan. Rusia mungkin tak menginvasi besok—Putin bilang itu “nonsense”—tapi provokasi di Baltik atau Laut Hitam? Mudah saja jika Eropa cuma punya pistol air. Kallas menyerukan kenaikan pajak seperti yang ia lakukan di Estonia, tapi coba bicarakan itu ke Prancis—Gilets Jaunes bakal turun ke jalan lagi, kali ini dengan molotov. NATO kuat? Mungkin di PowerPoint, tapi di pasir gurun, itu cuma tiupan angin.

Von der Leyen berjanji negosiasi “dari posisi kuat.” Lawan Trump? Orang yang menulis Art of the Deal tak gentar dengan pasar tunggal yang gagap harmonisasi. Ia tekan Eropa dengan tarif, UE balas dengan apa—bourbon dan Harley-Davidson? Lucu, karena AS cuma ekspor €280 miliar ke UE, sementara Eropa kirim €450 miliar ke sana. Pukulan balik kita cuma gigit nyamuk, sementara tarif Trump bikin industri otomotif Jerman berdarah. Von der Leyen bilang ini “bukan konfrontasi yang kita mulai,” tapi di lapangan, kita yang kena pasir di mata—dan Trump tertawa dari Gedung Putih.

Lalu ada diversifikasi. Von der Leyen bilang Eropa akan beralih ke India, Meksiko, Afrika Selatan. Terdengar megah dari kastil Brüsel, tapi lihat peta: perdagangan dengan AS mencapai €450 miliar setahun, sementara India (meski tumbuh 6-7%) dan ASEAN butuh 5-7 tahun untuk mendekati skala itu. Ia menyebut Eropa “reliable, predictable,” tapi di dunia nyata, kapal dagang kita masih terombang-ambing mencari pelabuhan baru. Inflasi melonjak—tarif jadi pajak buat rakyat, kata von der Leyen sendiri—dan petani Tuscany hingga buruh Munich hanya bisa gigit jari.

Pilar ketiga, pasar tunggal, adalah dongeng paling lucu. Von der Leyen janji “tebang hambatan,” mengutip laporan Draghi yang menyebut fragmentasi sama dengan tarif 45% untuk manufaktur dan 100% untuk jasa. Tapi setelah 30 tahun, UE tetap 27 birokrasi yang ribut soal label produk. Contoh: perusahaan teknologi harus mengurus 27 izin untuk berjualan di seluruh Eropa—von der Leyen bilang “skala penting,” tapi di lapangan, kita hanya punya skala kekacauan. Reformasi ini janji tua sejak Jacques Delors, dan di 2025, masih hanya angin segar yang tak menumbuhkan pohon.

Kembali ke Kallas. NATO, katanya, jadi tameng dari Rusia, yang oleh pejabat disebut bakal menyerang dalam “beberapa tahun.” Tapi tanpa AS, tameng itu hanya kain compang-camping. Eropa butuh €500 miliar dan 10 tahun untuk menggantikan peran AS, kata estimasi PESCO dan European Defence Fund (€8 miliar untuk 2021-2027 itu recehan). Kallas bilang “keputusan sulit,” tapi coba tanya Italia yang utangnya 140% dari PDB—potong apa lagi? Pendidikan? Kesehatan? NATO mungkin bertahan di kertas, tapi di gurun, itu hanya fatamorgana berlapis baja.

Von der Leyen bersumpah melindungi rakyat dan kemakmuran, tapi jangka pendek, rakyat hanya dapat pasir di piring. Tarif AS bisa menurunkan PDB Eropa 0,5-1% (proyeksi ECB 2018), dan PHK massal jadi menu harian. Jangka panjang? Diversifikasi dan reformasi mungkin menciptakan oase di 2030-2032, tapi itu jika Trump kalah di 2028 dan Ukraina tak meledak lagi. Kalau tidak, kita terjebak 15 tahun di padang pasir—ekonomi lesu, politik pecah, dan sosial tegang bukan sulap semalam.

Jadi, apa yang kita punya dari dua ratu ini? Kallas dan von der Leyen seperti peniup seruling di tengah badai pasir, memainkan lagu indah tentang ketahanan NATO dan kekuatan Eropa. Tapi di balik nada manis itu, pasir tetap masuk ke mata: NATO pincang tanpa AS, tarif Trump bak pisau di perut ekonomi, dan janji diversifikasi-reformasi hanya ilusi jauh di cakrawala. Angin segar mereka hanya membuat kita haus—airnya entah di mana, dan gurun Eropa terus membakar.

Di lapangan, rakyat Eropa tak butuh pidato dari menara gading. Mereka butuh tank yang bisa jalan, bukan janji NATO “kuat”; mereka butuh pekerjaan, bukan tarif yang jadi pajak siluman. Kallas dan von der Leyen mungkin ratu di istana Brüsel, tapi di padang pasir 2025, mereka hanya penutur dongeng—dan kita, para pengembara, masih tersesat tanpa peta atau oase. Angin segar? Mungkin. Tapi di gurun ini, angin hanya membawa lebih banyak pasir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *