Connect with us

Analisis

Eropa Terpecah, Dilema ICC dan Ketegangan dengan Israel

Published

on

Keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant jelas bukan hanya soal hukum. Ini adalah ledakan diplomatik yang mengguncang dasar-dasar politik global, dan Eropa kini berada di ujung tanduk, terjepit antara kewajiban internasional dan kepentingan geopolitik mereka.

Sekali lagi, dunia disuguhkan dengan kenyataan bahwa hukum internasional bisa jadi tidak lebih dari sebuah instrumen yang nyaman untuk dibicarakan, tetapi sulit dijalankan ketika berhadapan dengan sekutu strategis seperti Israel. Apakah Eropa siap berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka mungkin harus memilih antara patuh pada hukum atau mempertahankan hubungan dengan salah satu negara yang paling kuat di Timur Tengah?

Mari kita lihat kenyataannya. Perdana Menteri Viktor Orban dari Hungaria, yang memang sudah lama dikenal sebagai pemain yang suka melawan arus, tidak ragu untuk menyambut Netanyahu dengan tangan terbuka. “ICC? Tidak masalah,” katanya, menegaskan bahwa negara kecilnya tidak akan terpengaruh oleh keputusan internasional yang dianggapnya “sikap tak tahu diri” itu. Di sisi lain, ada negara-negara yang lebih mematuhi ICC, seperti Irlandia, yang bahkan menjanjikan penangkapan Netanyahu jika ia menginjakkan kaki di sana. Ini adalah permainan diplomatik yang lebih seperti pertaruhan besar—Eropa terpecah, dan setiap langkah mereka kini dilihat dengan seksama oleh dunia.

Jerman dan Prancis, dua kekuatan besar Uni Eropa, berada dalam kebingungan yang hampir memalukan. Jerman, dengan sejarahnya yang penuh beban moral terkait Israel, harus mencari celah untuk melindungi hubungan dengan negara Yahudi itu tanpa kehilangan muka di hadapan ICC. Namun, ketika ditekan, mereka memilih menghindar. “Legalitas harus dipahami lebih dalam,” kata Jerman, seolah bisa bersembunyi di balik kata-kata ambigu untuk menghindari keputusan yang bisa merusak hubungan internasional mereka. Sementara itu, Prancis, yang awalnya menunjukkan sikap tegas, memilih mundur dengan alasan diplomatik—tentu saja, karena mereka juga memiliki agenda besar di Timur Tengah. Jangan sampai mengusik Netanyahu, apalagi saat mereka tengah berusaha mendamaikan konflik di Lebanon.

Lalu, bagaimana dengan negara-negara kecil di Eropa? Mereka tidak bisa pura-pura tidak tahu. Negara-negara seperti Belanda dan Spanyol mungkin hanya bisa melihat dari jauh, berpegang pada prinsip hukum internasional mereka, tetapi tetap dibayangi oleh ancaman sanksi ekonomi dari Amerika Serikat jika mereka terlalu keras dalam menegakkan keputusan ICC. Inilah yang terjadi ketika idealisme bertabrakan dengan kenyataan geopolitik. Jadi, ketika Irlandia dengan lantang mengumumkan bahwa mereka akan menahan Netanyahu, yang lain justru lebih memilih untuk diam. Jerman dan Prancis terjebak dalam perdebatan internal yang jelas memperlihatkan betapa ketegangan ini semakin memperburuk persatuan Eropa.

Krisis ini jelas bukan hanya soal hukum internasional—ini adalah ujian besar bagi kredibilitas Eropa di mata dunia. Apakah mereka masih berani mengaku sebagai pembela hukum dan hak asasi manusia ketika sekutu besar mereka berada di dalam sorotan? Atau, apakah Eropa akan memilih untuk berpura-pura bahwa hukum hanya berlaku untuk negara-negara yang tidak punya posisi strategis seperti Israel? Ini adalah dilema yang bisa mengarah pada perpecahan serius di dalam Uni Eropa, dan dampaknya bisa lebih buruk lagi ketika ekonomi Eropa yang sedang goyah mulai merasakan akibat dari keputusan-keputusan politik ini.

Jika sanksi ekonomi akhirnya dijatuhkan oleh Amerika Serikat kepada negara-negara yang mendukung ICC, maka Eropa harus siap dengan kemungkinan retakan besar dalam hubungan transatlantik mereka. Ketika ekonomi sudah dipenuhi ketidakpastian, perang di Ukraina masih terus membara, dan populisme semakin menguat di banyak negara Eropa, keputusan ICC ini bisa menjadi pemicu krisis yang lebih besar. Dengan situasi yang semakin sulit, Eropa mungkin harus memilih: tetap berpegang pada prinsip atau merelakan prinsip itu demi mempertahankan kepentingan nasional dan hubungan dengan sekutu besar.

Keputusan ICC ini adalah titik balik yang menggugah kesadaran kita bahwa hukum internasional bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja ketika dunia berputar di atas kepentingan strategis. Sekarang, Eropa harus bertanya kepada dirinya sendiri: apakah mereka akan menjadi pembela sejati hukum internasional, atau mereka akan terjebak dalam jaring politik yang lebih besar dan lebih rumit? Keputusan ini lebih besar dari sekadar Netanyahu—ini tentang masa depan Eropa di kancah global.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *