Analisis
Erdogan di Ujung Jurang: Akankah Ia Bertahan?

Turki tengah berada di ambang krisis yang tak bisa diabaikan. Kota-kota besar dipenuhi suara demonstrasi, udara Istanbul disesaki teriakan tuntutan perubahan, dan di balik jendela istananya, Recep Tayyip Erdogan kembali menghadapi ujian berat. Kali ini, bukan hanya dari lawan-lawan politik yang selama ini ia tekan, tetapi dari rakyat yang semakin lelah dengan permainan kekuasaannya. Ekrem Imamoglu, wali kota Istanbul yang selama ini menjadi momok bagi Erdogan, ditangkap pada 23 Maret 2025 dengan tuduhan korupsi. Langkah ini memicu protes terbesar dalam satu dekade terakhir, meluas dari Taksim hingga Ankara, mengguncang fondasi kekuasaan sang presiden.
Erdogan bukan orang baru dalam menghadapi gejolak politik. Ia telah berkali-kali lolos dari krisis, seperti yang terjadi pada 2013 ketika protes Gezi Park meledak. Ribuan orang turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah, menuntut kebebasan yang semakin tergerus. Gas air mata dan represi menjadi jawabannya. Lalu, pada malam kudeta 15 Juli 2016, ketika militer berusaha menggulingkannya, Erdogan membalik keadaan dengan panggilan FaceTime yang membangkitkan loyalitas para pendukungnya. Ia bertahan dengan kekuatan propaganda, pembersihan militer, dan penangkapan besar-besaran terhadap siapa saja yang dianggap sebagai ancaman.
Namun, situasi kali ini berbeda. Oposisi tidak lagi hanya mengandalkan protes di jalanan, melainkan menggunakan strategi yang langsung menekan titik lemah Erdogan: ekonomi. Pemimpin CHP, Özgür Özel, menyerukan boikot nasional. “Jangan beli apa-apa! Supermarket, bensin, kopi—kosongkan dompet kalian untuk keadilan!” serunya pada 1 April 2025. Gerakan ini mendapat dukungan besar dari mahasiswa hingga pekerja kelas menengah yang selama ini paling terdampak oleh kebijakan ekonomi Erdogan. Hari terakhir libur Idul-Fitri, 2 April, ditetapkan sebagai hari tanpa belanja, simbol perlawanan damai yang berpotensi melumpuhkan jaringan bisnis pro-pemerintah.
Dampaknya segera terasa. Media independen melaporkan penangkapan hampir 2.000 orang dalam hitungan hari—mulai dari jurnalis, mahasiswa, hingga tokoh oposisi. Sel-sel penjara diisi melebihi kapasitas, dengan laporan pemukulan dan interogasi brutal. Tapi Erdogan tetap tak berkedip. Seperti biasa, ia menyebut gerakan ini sebagai “sabotase ekonomi” dan memperingatkan bahwa siapa pun yang terlibat akan diadili. Ironinya, seorang pemimpin yang membangun istana 1.000 kamar dengan uang rakyat kini khawatir akan stabilitas ekonomi. Mungkin ia lupa bercermin, atau mungkin cermin itu sudah dijual untuk membiayai jet pribadinya.
Sementara itu, sekutunya yang paling setia, Devlet Bahçeli, pemimpin Partai Gerakan Nasionalis (MHP), semakin jarang terlihat di publik sejak operasi jantungnya pada Februari 2025. Ia hanya muncul lewat pernyataan tertulis di Türkgün, menyampaikan ancaman terselubung: jika protes terus berlanjut, maka pendukung pemerintah akan turun ke jalan. Referensinya jelas—ia mengingatkan peristiwa 15 Juli 2016, tetapi kali ini tak ada kudeta untuk dijadikan kambing hitam. Hanya ada rakyat yang lelah dengan permainan kekuasaan. Ancaman ini menambah ketegangan, membayangkan skenario bentrokan antara pendukung Erdogan dan oposisi yang bisa berubah menjadi konflik sipil.
Dalam beberapa tahun terakhir, Erdogan terbukti sebagai pemimpin yang nyaris tak tergoyahkan. Ketika ekonomi Turki ambruk dengan lira yang semakin tak bernilai dan inflasi melesat tinggi, ia tetap bertahan dengan mengalihkan kesalahan kepada “musuh asing.” Ia mengontrol media, merangkul elite bisnis yang setia, dan memastikan militer tetap dalam genggamannya. Tapi boikot ini adalah tantangan baru baginya. Tak ada musuh fisik yang bisa ditangkap atau dihancurkan, hanya dompet rakyat yang sengaja dikosongkan sebagai bentuk perlawanan.
Dukungan terhadap boikot semakin meluas. Imamoglu, yang masih di balik jeruji, mengirim pesan lewat pengacaranya, menyatakan bahwa boikot ini bukan untuk menghancurkan bisnis, tetapi untuk membebaskannya dari cengkeraman rezim. Namun, di Turki, bisnis dan politik telah lama berkelindan erat. Perusahaan yang setia pada Erdogan mendapat kontrak menggiurkan, sementara mereka yang dianggap membangkang dihancurkan lewat pajak dan regulasi ketat. Dengan kondisi ini, boikot bukan hanya soal moralitas, tetapi juga risiko tinggi bagi para pengusaha.
Nama-nama merek pro-AKP mulai tersebar luas di media sosial. Dari kedai kopi hingga toko buku, daftar perusahaan yang harus diboikot semakin panjang. Di tengah kemarahan publik, aksi ini menjadi lebih dari sekadar protes ekonomi; ini adalah simbol perjuangan melawan otoritarianisme. Erdogan, yang terbiasa menghadapi lawan dengan gas air mata dan peluru karet, kini menghadapi bentuk perlawanan yang lebih abstrak dan sulit diatasi.
Namun, jangan terlalu berharap. Erdogan memiliki sejarah panjang dalam membalikkan keadaan. Ia bisa saja menggunakan aparat untuk menyita dompet kosong para pemboikot dengan dalih keamanan nasional. Atau, seperti yang diisyaratkan Bahçeli, ia bisa mengerahkan pendukungnya untuk membuat jalanan Istanbul kembali menjadi medan pertempuran. Dengan militer yang tetap setia, oposisi tampak bagaikan kawanan domba di hadapan singa yang bersenjata lengkap.
Turki kini berada di titik kritis. Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kekerasan pecah: bentrokan antara oposisi dan pendukung Erdogan berujung pada tindakan represif yang lebih besar. Kedua, boikot berhasil: jaringan bisnis pro-AKP melemah, ekonomi tertekan, dan Erdogan dipaksa untuk menarik kebijakan tertentu. Ketiga, kebuntuan: oposisi kehilangan momentum, boikot meredup, dan Erdogan tetap berkuasa dengan senyum sinisnya. Sejarah menunjukkan bahwa skenario pertama atau ketiga lebih mungkin terjadi. Erdogan telah berkali-kali lolos dari krisis, baik dengan darah maupun dengan kelicikan.
Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Anak muda Turki, yang lahir dan besar di era Erdogan, kini tak lagi takut. Mereka tahu bagaimana mengorganisir perlawanan tanpa harus menghadapi senapan. Media sosial, yang pernah digunakan Erdogan untuk menggulingkan kudeta, kini berbalik melawan dirinya. Boikot ini mungkin tidak cukup kuat untuk menjatuhkan Erdogan, tetapi ia bisa tergelincir. Jika rakyat terus mengosongkan dompet mereka dan menolak mendukung bisnis-bisnis loyalis rezim, dampaknya bisa lebih besar dari yang diperkirakan.
Erdogan berdiri di ujung jurang, berpidato di balkon di depan ribuan pendukungnya. Tapi kali ini, di sudut-sudut kota, rakyat diam-diam membuang kopi pro-AKP ke selokan. Satir terbesar dari semua ini? Erdogan mungkin menang lagi, tetapi dengan kekuasaan yang semakin rapuh. Ia adalah maestro bertahan hidup, tetapi panggung yang ia kuasai semakin licin. Dan di Turki yang kini terbelah, dengan ekonomi yang terguncang dan rakyat yang tak lagi takut, mungkin saja pertunjukan panjang ini mulai mencapai babak akhir.
Referensi:
https://www.turkishminute.com/2025/04/01/protesters-risk-clash-with-govt-loyalists-erdogan-ally4/