Connect with us

Analisis

Di Balik Pembebasan Mata-Mata Israel oleh Lebanon

Published

on

Ada sesuatu yang aneh, bahkan menyesakkan dada, ketika sebuah negara yang sepanjang sejarahnya digerus perang dan dikhianati oleh tetangga sendiri, justru membuka pintu penjara bagi seorang kolaborator berbahaya. Ironi itu kini terjadi di Lebanon, negeri yang tubuhnya penuh bekas luka sejarah, negeri yang berulang kali disayat oleh agresi militer, dan negeri yang di pundaknya masih melekat tanggung jawab menjaga garis depan perlawanan di kawasan. Mohieddine Hasnah, mata-mata yang terbukti memberikan data vital kepada zionis, dibebaskan setelah hanya 22 bulan mendekam dari vonis 15 tahun. Seperti sebuah sandiwara murahan, drama ini dipentaskan di pengadilan militer Lebanon, dengan hakim baru di pucuk pimpinan yang seakan ingin memberi sinyal bahwa “kompromi” adalah kata kunci, bahkan pada isu paling sakral: pengkhianatan.

Apakah kita sedang menyaksikan sebuah kebodohan? Atau justru ini permainan yang penuh kalkulasi dingin? Kita tahu Hasnah bukan sekadar mata-mata kelas rendahan yang menguping pembicaraan tetangga. Ia adalah operator teknologi canggih, yang memetakan infrastruktur telekomunikasi di Beirut, menembus jaringan Wi-Fi rumah tangga dan institusi, dan bahkan melacak frekuensi pager. Hasil kerja kotor itu berujung pada tragedi berdarah tahun 2024, ketika ribuan pager meledak serentak, menewaskan 12 orang dan melukai hampir 3.000 lainnya. Bukti keterlibatannya jelas, dampaknya nyata, darahnya masih mengalir di jalanan, tetapi hukum memilih untuk berpaling.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Di negeri yang masih berduka, kabar pembebasan itu ibarat garam yang ditaburkan di atas luka terbuka. Apa yang dirasakan keluarga korban? Bagaimana perasaan seorang anak kecil yang kehilangan ayahnya karena ledakan absurd itu, lalu mendengar bahwa orang yang membantu musuh kini bebas berkeliaran? Tidak butuh teori hukum untuk memahami bahwa ini bukan sekadar kelalaian; ini sebuah penghinaan. Hukum seharusnya melindungi rakyat, bukan mempermainkan penderitaan mereka.

Saya rasa kita harus jujur melihat realitas Lebanon hari ini. Negara itu, setelah sekian lama terombang-ambing tanpa kepala negara, kini telah memiliki presiden baru—General Joseph Aoun—yang terpilih Januari 2025. Namun jangan tertipu. Meski secara formal ada figur yang mengisi kekosongan, tapi realitasnya jauh dari kata stabil. Lebanon masih berdiri di atas fondasi retak: ekonomi merosot, institusi tergerus grafiti korupsi, dan tarik-menarik faksi tak berhenti. Dalam atmosfer seperti ini, keputusan pembebasan Hasnah—yang memberi informasi vital kepada musuh dan terlibat dalam tragedi pager 2024—bukan sekadar kelalaian hukum, melainkan cermin pahit dari struktur negara yang masih rapuh dan mudah dikecoh oleh kompromi busuk.

Lebanon juga sedang dicekik oleh krisis ekonomi paling parah dalam sejarahnya. Inflasi melonjak, mata uang hancur, dan lebih dari 80% rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam keadaan seperti itu, segala sesuatu bisa dinegosiasikan—bahkan prinsip. Tak aneh bila banyak yang melihat kasus Hasnah sebagai “produk transaksi,” entah berupa tekanan internasional, janji bantuan finansial, atau sekadar ruang napas politik yang dijual murah oleh elite Lebanon. Bagi rakyat yang kelaparan, mungkin kompromi semacam ini terasa jauh, tetapi dampaknya menghantam langsung: keamanan mereka dijadikan barang dagangan.

Ada pula sisi yang lebih gelap, lebih sulit dibuktikan tetapi terlalu jelas untuk diabaikan. Hasnah memegang akses ke informasi sangat sensitif. Apakah mungkin ia tahu lebih banyak daripada yang pernah dibuka di persidangan? Apakah mungkin ada nama-nama besar di balik layar yang terancam ikut terseret bila ia terus dipenjara? Jika iya, pembebasannya adalah bentuk perlindungan, bukan bagi dirinya, tapi bagi mereka yang lebih tinggi di piramida kekuasaan. Inilah wajah lain dari pengadilan militer Lebanon—bukan sekadar ruang sidang, melainkan panggung sandiwara di mana aktor-aktor bayangan bermain dengan naskah yang ditulis di tempat lain.

Lebih ironis lagi, pembebasan ini terjadi ketika rakyat Lebanon masih berusaha memahami absurditas serangan pager 2024. Bahkan analis di New York Times mengakui serangan itu “tidak punya tujuan strategis.” Dengan kata lain, ribuan orang terluka hanya untuk unjuk gigi teknologi, semacam pertunjukan kembang api berdarah. Maka, jika serangan itu sendiri absurd, pembebasan Hasnah menjadikannya semakin grotesk: kejahatan yang sia-sia, korban yang terluka, dan pelaku yang bebas. Seolah tragedi itu hanyalah catatan kaki dalam laporan tahunan, bukan luka kolektif bangsa.

Dalam konteks ini, keputusan pengadilan bukan sekadar kegagalan hukum, melainkan serangan psikologis terhadap masyarakat. Ia memberi pesan samar namun berbahaya: bahwa pengkhianatan bukanlah dosa besar, bahwa kolaborasi dengan musuh masih bisa dinegosiasikan. Pesan semacam itu merusak lebih dalam daripada bom. Karena bom hanya menghancurkan gedung, tapi keputusan hukum absurd menghancurkan rasa percaya rakyat pada negaranya sendiri.

Kita tahu, di Lebanon ada kekuatan lain: Hizbullah. Selama puluhan tahun, kelompok ini memikul beban melawan agresi, sering kali lebih efektif daripada negara. Tetapi ketika pengadilan negara sendiri melepas kolaborator yang membantu serangan terhadap Hizbullah dan rakyat, maka yang hancur bukan hanya legitimasi hukum, tapi juga legitimasi negara. Hizbullah mungkin semakin dipandang sebagai satu-satunya pelindung, tetapi itu berarti Lebanon semakin kehilangan wajah sebagai negara berdaulat. Betapa ironis, bahwa negara yang seharusnya menjadi rumah besar justru menyerahkan kunci pintu kepada pencuri, lalu memaksa tamu rumah—Hizbullah—untuk menjaga pintu itu sendirian.

Ada yang lebih getir. Di tengah kondisi ini, zionis tak perlu lagi mengirim jet atau rudal untuk merusak Lebanon. Mereka cukup menunggu elite politik negeri itu saling menggembosi legitimasi sendiri. Kolaborator mereka bebas, rakyat semakin apatis, dan lembaga hukum runtuh di mata publik. Bukankah ini kemenangan paling manis bagi musuh? Kemenangan tanpa peluru. Kemenangan dengan memanfaatkan retakan dari dalam.

Saya teringat sebuah analogi sederhana. Bayangkan sebuah desa di mana ada seorang warga yang membantu perampok masuk ke rumah-rumah. Perampok itu menewaskan banyak orang. Warga desa murka, pengkhianat itu ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tetapi sebelum hukuman berjalan lama, kepala desa justru melepaskannya dengan alasan “teknis.” Apa yang terjadi? Warga desa tidak akan percaya lagi pada kepala desa. Mereka akan mengambil keadilan dengan tangan sendiri, dan sejak saat itu, desa itu tak lagi memiliki kepemimpinan yang sah. Bukankah itu yang kini mengancam Lebanon?

Kita semua tahu Lebanon bukan negeri biasa. Ia berada di persimpangan geopolitik, menjadi titik benturan antara Barat, Timur Tengah, dan konflik berkepanjangan dengan zionis. Dalam kondisi seperti itu, setiap keputusan hukum bukan hanya keputusan hukum, melainkan pesan politik. Dan pesan yang kini lahir dari pembebasan Hasnah adalah: negara lebih memilih kompromi daripada keadilan. Negara lebih takut pada tarik-menarik faksi daripada pada darah rakyatnya sendiri.

Akhirnya, apa yang bisa kita simpulkan? Bahwa di balik pembebasan mata-mata Israel itu ada gabungan faktor: kekosongan politik, krisis ekonomi, tarik-menarik faksi, bahkan infiltrasi intelijen. Semua berkelindan, melahirkan sebuah keputusan absurd yang melemahkan negara sendiri. Tetapi bagi rakyat Lebanon, keputusan ini lebih dari sekadar analisis geopolitik. Bagi mereka, ini adalah pengkhianatan kedua: pertama dari mata-mata yang menjual rahasia, kedua dari negara yang membiarkan pengkhianat itu bebas.

Dan di titik inilah, ironi paling pahit terletak: musuh tidak lagi perlu menembakkan rudal untuk melukai Lebanon. Cukup biarkan negara itu melukai dirinya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer