Analisis
Dari Hizbullah, Israel dan AS Gunakan Proxy Militan Serang Suriah

Serangan besar yang terjadi di Aleppo pada 27 November 2024 menandai pergeseran penting dalam dinamika konflik di Suriah. Serangan ini dilakukan oleh kelompok militan yang didukung oleh AS dan Israel, tepat setelah diberlakukannya genjatan senjata antara Israel dan Lebanon. Kejadian ini menegaskan bahwa fokus utama Israel dan AS kini beralih ke Suriah setelah penurunan ketegangan di Lebanon. Mereka kini berusaha untuk memutuskan jalur pasokan senjata ke Hizbullah yang melibatkan Suriah sebagai penghubung utama.
Penyerangan yang dilancarkan oleh Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS) bersama faksi-faksi sekutunya, seperti Ahrar al-Sham dan kelompok-kelompok dalam ruang operasi al-Fatah al-Mubin, berhasil merebut beberapa titik penting di Qubtan al-Jabal dan Sheikh Aqil, dekat Resimen ke-46. Serangan ini ditandai dengan baku tembak artileri dan roket yang intens antara pasukan pemerintah Suriah dan faksi-faksi militan, dengan dukungan serangan udara dari pesawat tempur Rusia yang menggunakan rudal vakum.
Peristiwa ini terjadi segera setelah genjatan senjata antara Israel dan Lebanon, yang menghentikan ketegangan besar antara Israel dan Hizbullah. Keputusan genjatan senjata tersebut membuka jalan bagi Israel dan AS untuk mengalihkan perhatian mereka ke Suriah, yang selama ini menjadi saluran pasokan utama bagi Hizbullah. Suriah, dengan dukungan Iran, memainkan peran kunci dalam memfasilitasi aliran senjata yang diperlukan oleh Hizbullah, yang dianggap sebagai ancaman langsung bagi Israel. Dengan meredanya ketegangan di Lebanon, Israel dan AS mengambil langkah strategis untuk memperkuat tekanan pada Suriah, yang selama ini telah menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap dominasi mereka di kawasan.
Serangan terhadap Aleppo ini menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok militan yang didukung oleh AS dan Israel berfungsi sebagai proxy yang digunakan untuk melemahkan kekuatan militer Suriah tanpa terlibat langsung dalam pertempuran. Mereka berusaha merusak infrastruktur militer Suriah, menghancurkan jalur pasokan senjata, serta mengganggu stabilitas yang telah dipulihkan oleh Suriah setelah bertahun-tahun pertempuran sengit. Penyerangan ini memperlihatkan bahwa Suriah kini menjadi target utama dalam strategi Israel dan AS, menggantikan fokus sebelumnya terhadap Hizbullah.
Lebih lanjut, informasi yang diperoleh dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mengungkapkan bahwa serangan ini juga memicu perpindahan besar-besaran warga sipil di wilayah Atarib dan desa-desa sekitarnya, yang mengungsi akibat eskalasi pertempuran yang semakin intensif. Ini menambah dimensi kemanusiaan yang semakin memperburuk keadaan di Suriah, yang sudah lama berada dalam cengkeraman perang melawan kelompok teror.
Serangan ini juga memberikan gambaran bahwa Israel dan AS tidak hanya ingin melemahkan kemampuan militer Suriah, tetapi juga berusaha menghancurkan dukungan yang diberikan Suriah kepada Hizbullah dan kelompok perlawanan lainnya. Melalui proxy-proxy ini, mereka bertujuan untuk memutuskan jalur pasokan senjata dan mengurangi kapasitas militer Suriah yang selama ini menjadi tulang punggung bagi perlawanan di kawasan. Meskipun ketegangan di Lebanon mungkin telah mereda, Suriah tetap menjadi garis depan utama dalam menghadapi hegemoni Israel dan AS di Timur Tengah.
Dengan demikian, serangan di Aleppo menandai dimulainya fase baru dalam konflik regional ini, di mana Suriah menjadi target utama setelah Hizbullah. Israel dan AS berusaha untuk mereduksi kekuatan Suriah sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk mengontrol perlawanan di Timur Tengah. Jika serangan ini terus berlanjut, dapat dipastikan bahwa Suriah akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kedaulatan dan peranannya sebagai pusat perlawanan di kawasan.