Connect with us

Analisis

Darah di Sweida: Al-Sharaa, Israel, dan Sektarianisme

Published

on

Ada 1.420 alasan untuk kehilangan harapan di Suriah. Tapi siapa yang masih menghitung ketika tubuh-tubuh tak bernama terus jatuh, dibaringkan begitu saja di tanah yang tak lagi tahu arti kedamaian? Di Sweida, provinsi yang dulu dikenal tenang dan tenang—karena terpinggirkan—kini menjadi pentas utama pembantaian terencana. Anak-anak tak sempat tumbuh dewasa, perempuan tak sempat menua, dan pria-pria tak lagi sempat memilih: mereka dieksekusi di tempat, seolah nyawa hanya catatan angka di balik laporan mingguan militer.

Kekerasan di Sweida meledak sejak pertengahan Juli, seperti bom waktu yang memang sengaja dibiarkan berdetak. Dalam waktu dua minggu saja, lebih dari 1.420 jiwa melayang, 145 di antaranya adalah warga sipil, termasuk 21 anak-anak dan 56 perempuan. Yang membunuh bukan hanya musuh asing, tapi justru mereka yang memakai seragam negara, yang mengaku menjaga hukum dan ketertiban. Ironi? Ah, terlalu halus kata itu. Ini adalah lelucon berdarah dari rezim yang menyamar sebagai penyelamat.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Adalah Ahmad al-Sharaa, presiden transisi Suriah yang katanya membawa angin perubahan, tapi lebih sering membawa badai manipulasi. Saat api sektarian membakar Sweida, alih-alih menyiramkan air, ia justru meniupkan bensin ke arah yang paling mudah terbakar. Bukannya melindungi, ia memilih bersembunyi di balik selimut kekuasaan, membiarkan aparatnya menghabisi warga dengan alasan “menjaga stabilitas”. Dan stabilitas versi al-Sharaa? Rupanya adalah ketika suara minoritas lenyap, ketika petani ditembak saat hendak menuju ladangnya, dan ketika blokade atas nama keamanan membuat orang mati perlahan karena lapar.

Tidak cukup dengan aparatnya, al-Sharaa juga memelihara ketegangan sektarian seolah itu strategi pertahanan nasional. Eksekusi lapangan terhadap 250 orang oleh aparat resmi bukan kesalahan teknis, melainkan kebijakan diam-diam yang bersuara nyaring: kalian yang berbeda, kalian yang tak tunduk, kalian tak berhak hidup. Bahkan kekuatan lokal seperti faksi bersenjata Druze pun ikut dalam permainan kotor ini, mengeksekusi perempuan dan anak-anak dari suku Badui. Bila ini adalah wajah baru Suriah, maka Assad seharusnya bangga: setidaknya pada eranya Suriah sedikit lebih baik, tak sesadis masa transisi ini.

Di tengah semua kekacauan itu, muncul tamu tak diundang yang selalu tahu kapan harus masuk: Israel. Dengan penuh perhitungan, pesawat tempur mereka melintas dan menjatuhkan bom ke gedung kementerian Suriah. Alasannya? Seperti biasa, “keamanan nasional”. Korbannya? Lima belas aparat Suriah dan tiga warga sipil, termasuk seorang perempuan. Tapi siapa peduli? Di peta geopolitik, serangan semacam ini hanya diberi catatan kaki, tak pernah menjadi headline. Dan Israel tahu benar: selama kekacauan di dalam Suriah cukup dalam, mereka bisa masuk keluar tanpa pintu, bahkan mungkin tanpa izin Tuhan sekalipun.

Maka kita pun melihat sebuah simfoni maut yang dimainkan tiga konduktor utama: sektarianisme lokal sebagai alat kekacauan, al-Sharaa sebagai operator oportunis, dan Israel sebagai pemain asing yang lihai membaca irama kehancuran. Ketiganya tak pernah duduk bersama secara resmi, tapi masing-masing memainkan bagiannya dengan harmonis. Korbannya tetap sama: rakyat biasa. Mereka yang hidupnya hanya bergantung pada hasil ladang, yang kini dijaga oleh senapan laras panjang dan dipagari dengan propaganda keamanan.

Kisah Sweida adalah kisah tentang bagaimana negara bisa menjadi pembunuh berdarah dingin, sambil tetap berbicara atas nama kedaulatan. Tentang bagaimana minoritas bisa menjadi sasaran tembak, hanya karena terlalu lama bertahan hidup dalam diam. Tentang bagaimana pemimpin bisa menjadi aktor utama kekacauan, asal ia bisa menyebutnya sebagai reformasi. Dan tentu saja, tentang bagaimana negara asing bisa mengebom tanah tetangga tanpa harus memberikan penjelasan, cukup mengandalkan frasa favorit: hak membela diri.

Bayangkan bila itu terjadi di sini. Di sebuah desa di Jawa Timur, misalnya. Seorang petani ditembak karena ingin melewati jalan yang dipagari aparat. Sebuah masjid dibom oleh negara tetangga karena dianggap menyimpan ancaman. Pemerintah pusat membiarkan milisi lokal mengeksekusi warga yang tak sejalan. Akan ada demonstrasi besar, media menjerit, dan DPR rapat darurat. Tapi karena ini terjadi di Suriah, dan karena korbannya adalah minoritas tak dikenal, maka dunia memilih diam. Mereka terlalu sibuk menyalahkan satu sama lain atas konflik lain yang lebih menguntungkan secara politik.

Dalam banyak hal, nasib Sweida adalah nasib yang telah ditentukan oleh tiga kekuatan yang masing-masing tidak pernah benar-benar peduli pada rakyatnya: kekuasaan lokal yang terjebak dendam sektarian, elit politik yang memanipulasi kekacauan demi legitimasi, dan negara tetangga yang memperluas wilayah atas nama ancaman yang tak pernah bisa dibuktikan. Tak ada yang bersih di sini. Bahkan pelindung pun menjadi predator.

Dan di sela-sela reruntuhan, anak-anak terus dilahirkan. Mereka tumbuh tanpa tahu arti damai, tanpa mengenal konsep “negara pelindung”, dan tanpa tahu apa bedanya peluru dari tentara Suriah dengan misil dari Israel—karena keduanya sama-sama menghancurkan rumah mereka. Mereka mungkin akan tumbuh dengan luka, dengan amarah, dan dengan narasi balas dendam yang terus diperbarui setiap kali dunia gagal peduli.

Sementara itu, al-Sharaa mungkin akan tampil di forum internasional, bicara soal transisi damai, tentang melindungi rakyat, tentang memerangi ekstremisme. Semua dengan wajah datar dan setelan rapi, seperti seorang CEO yang baru saja memecat ratusan karyawan atas nama efisiensi. Dunia akan mendengarkan, mengangguk, lalu melanjutkan makan malam mereka yang tertunda.

Mungkin inilah definisi baru dari perdamaian: ketika para pemimpin bisa membunuh tanpa suara, dan para korban bisa mati tanpa disebut namanya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer