Analisis
Benarkah Konflik di Suriah Antara Sunni dan Syiah?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Konflik di Suriah kerap dipersepsikan sebagai perang sektarian antara Sunni dan Syiah, terutama di media internasional. Namun, narasi ini mengabaikan kompleksitas realitas di lapangan dan sejarah panjang Suriah sebagai negara multikultural. Pertanyaan mendasarnya: apakah benar konflik di Suriah berbasis sektarian, ataukah ini hanyalah alat politik yang digunakan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan tertentu?
Pada 2011, seperti di banyak negara Arab lainnya, demonstrasi pecah di Suriah sebagai bagian dari Arab Spring. Di Daraa, protes awal menuntut reformasi politik, penghapusan korupsi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Narasi utama yang diangkat adalah melawan “diktator Bashar al-Assad,” tanpa embel-embel sektarian. Pada tahap ini, dukungan terhadap Assad tetap kuat, termasuk dari komunitas Sunni yang menjadi mayoritas di Suriah. Sunni, terutama di perkotaan seperti Damaskus dan Aleppo, tetap mendukung pemerintah karena mereka melihat stabilitas negara lebih penting daripada kekacauan yang ditimbulkan oleh revolusi.
Ketika protes berubah menjadi konflik bersenjata, kelompok oposisi seperti Free Syrian Army (FSA) dan Syrian National Council (SNC) memimpin perlawanan. Pada tahap ini, narasi sektarian belum mendominasi. FSA bahkan dikenal lebih sekuler dan berfokus pada tujuan politik, yaitu menggulingkan Assad. Namun, ketika pemerintah berhasil mempertahankan dukungan dari berbagai kelompok, termasuk Sunni, narasi “melawan diktator” tidak cukup efektif untuk menggalang massa secara luas atau menarik perhatian dunia internasional. Di sinilah dinamika berubah.
Pada pertengahan 2012, kelompok-kelompok ekstremis seperti Jabhat al-Nusra (afiliasi al-Qaeda) dan kemudian ISIS mulai berperan dominan dalam oposisi bersenjata. Mereka memperkenalkan narasi sektarian dengan menyebut pemerintah sebagai “rezim Alawit” yang didukung oleh Syiah Iran dan Hizbullah. Retorika ini digunakan untuk merekrut pejuang asing, menarik ribuan pejuang dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Selain itu, narasi sektarian juga digunakan untuk memecah dukungan internal dengan menggambarkan pemerintah sebagai pelindung minoritas Alawit, Kristen, dan Syiah, sementara kelompok ekstremis mencoba menciptakan ketegangan di komunitas Sunni.
Negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, dan Turki memainkan peran besar dalam memperkuat narasi sektarian ini. Dengan tujuan melemahkan pengaruh Iran dan Hizbullah di kawasan, mereka mendukung kelompok-kelompok oposisi bersenjata, termasuk yang menggunakan retorika sektarian. Media internasional yang sering bias juga membantu menyebarluaskan gambaran konflik sebagai perang antara Sunni dan Syiah.
Sebaliknya, pemerintah Suriah tetap mempertahankan pendekatan non-sektarian. Dukungan pemerintah datang dari berbagai kelompok, termasuk Sunni, yang merasa stabilitas negara lebih penting daripada perubahan rezim yang berisiko memecah belah bangsa. Assad tidak pernah secara resmi menggunakan retorika sektarian, dan pemerintahnya tetap multikultural.
Konflik di Suriah tidak pernah murni tentang Sunni versus Syiah. Pada awalnya, itu adalah gerakan politik yang berubah menjadi perang bersenjata. Isu sektarian muncul sebagai alat yang digunakan oleh kelompok ekstremis dan aktor eksternal untuk memecah belah masyarakat dan menggalang dukungan internasional. Narasi sektarian yang dominan hari ini adalah hasil manipulasi politik, bukan cerminan dari realitas Suriah yang kompleks. Konflik ini lebih tepat dipahami sebagai perang geopolitik di mana berbagai kekuatan internasional menggunakan isu sektarian sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka.
Dengan memahami kompleksitas ini, kita dapat melihat bahwa Suriah adalah korban dari kepentingan global yang telah menghancurkan tatanan sosial dan politiknya. Pertanyaan yang tersisa adalah: bagaimana dunia dapat membantu membangun kembali negara ini tanpa terperangkap dalam narasi yang keliru?