Analisis
AS Mendorong Lebanon ke Arah Jurang

Bayangan yang menggantung di atas Lebanon hari ini bukan sekadar persoalan politik domestik atau dinamika regional yang biasa, melainkan persimpangan sejarah yang akan menentukan apakah negeri itu tetap berdiri tegak sebagai negara merdeka atau tergelincir ke jurang ketergantungan. Pernyataan Presiden Joseph Aoun tentang tawaran Amerika Serikat memperlihatkan dilema yang rumit, namun sekaligus mengungkap absurditas dari sebuah tawaran yang berpura-pura membawa solusi, padahal sesungguhnya merupakan tekanan politik dengan baju diplomasi. Ketika Aoun berkata bahwa ia hanya memiliki dua pilihan—menyetujui kertas kerja AS atau menolaknya dengan risiko serangan dan isolasi ekonomi—kita segera melihat betapa Amerika sedang memainkan peran ganda: mengaku sebagai mediator, tapi sesungguhnya bertindak sebagai pengatur arah yang memaksa Lebanon tunduk pada peta yang sudah ditentukan.
Lebanon bukan kali ini saja menghadapi ancaman dari luar. Sejarah panjang negara itu selalu dipenuhi intervensi, dari Perancis, kekuatan Arab, hingga dominasi zionis. Namun kali ini berbeda: tekanan itu datang dengan dalih penyelamatan, seolah-olah menerima rencana AS akan membuat Lebanon lebih aman. Padahal, sebagaimana ditangkap dari nada pernyataan Aoun, ancaman itu nyata meski disampaikan dengan cara halus: jika setuju, Lebanon berada dalam lingkar kepedulian Washington, jika tidak, maka pintu dukungan akan ditutup. Bukankah ini bentuk intervensi terang-terangan? Bukankah ini cara lain untuk mengatakan bahwa kedaulatan Lebanon hanya berlaku sejauh disetujui oleh Amerika dan sekutunya?
Lebih ironis lagi, Aoun tampak percaya bahwa dengan mengikuti arahan AS, Lebanon bisa selamat dari bencana yang lebih besar. Tetapi pengalaman negara-negara lain jelas menunjukkan, mengikuti arahan Washington tidak pernah menjamin keselamatan. Suriah, Irak, bahkan Yaman, semua pernah menjadi korban janji-janji kosong yang berujung kehancuran. Dengan kata lain, menerima arahan AS bukanlah tiket menuju perdamaian, melainkan undangan untuk masuk ke dalam orbit kekuasaan yang pada akhirnya menuntut penyerahan kedaulatan sedikit demi sedikit. Maka ketika Aoun menyatakan bahwa ini bukan perjudian, melainkan fakta, justru di situlah letak kekeliruannya. Yang nyata adalah bahwa Lebanon sedang diarahkan untuk melepaskan alat pertahanan terakhirnya, yaitu senjata Hizbullah, dengan janji keamanan semu yang tidak pernah akan diwujudkan oleh AS maupun zionis.
Kita harus jujur: kekuatan Hizbullah memang menjadi isu utama dalam perundingan ini. Selama dua dekade terakhir, keberadaan persenjataan Hizbullah bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga realitas yang menghalangi dominasi total zionis atas Lebanon. Tanpa Hizbullah, sudah lama Lebanon menjadi negara protektorat, diatur bukan oleh rakyatnya sendiri, melainkan oleh kepentingan asing. Memang benar, mempertahankan senjata Hizbullah berarti Lebanon akan menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat, sanksi-sanksi baru, bahkan mungkin blokade diplomatik yang memperburuk krisis dalam negeri. Namun, inilah harga yang harus dibayar demi menjaga kehormatan sebagai bangsa. Apalah arti stabilitas ekonomi semu yang dibangun di atas penyerahan kedaulatan, jika akhirnya Lebanon berubah menjadi satelit kecil dalam lingkaran kepentingan zionis dan Barat?
Lebanon saat ini seolah dikepung dari segala sisi. Di satu sisi ada desakan internasional untuk perlucutan senjata Hizbullah, di sisi lain ada kebutuhan rakyat akan kestabilan ekonomi. AS memainkan dilema ini dengan lihai, mengubah kebutuhan rakyat menjadi senjata untuk menekan pemerintah. Mereka tahu betul bahwa masyarakat Lebanon sedang letih akibat krisis ekonomi, sehingga tawaran bantuan atau sekadar janji pengakuan menjadi sangat menggoda. Tetapi di balik itu semua, ada skenario besar yang tidak bisa ditutupi: perlucutan Hizbullah adalah pintu masuk untuk melumpuhkan kekuatan Lebanon, membuat negeri itu tak berdaya menghadapi dominasi zionis, persis seperti yang terjadi pada Suriah yang hancur akibat intervensi dan tekanan serupa.
Aoun mungkin berharap bahwa dengan sedikit konsesi, Lebanon bisa membeli waktu dan menghindari badai. Namun sejarah politik internasional mengajarkan bahwa konsesi semacam ini hanyalah awal dari penyerahan yang lebih besar. Hari ini diminta untuk menyetujui kertas kerja AS, esok akan diminta untuk menormalisasi hubungan dengan zionis, lusa dipaksa untuk mengatur ulang politik dalam negeri agar sejalan dengan agenda Barat. Jalannya selalu sama: dimulai dengan janji keamanan, diakhiri dengan kehilangan kedaulatan. Inilah jurang yang sedang diarahkan kepada Lebanon. Dan Amerika, dengan segala kalkulasinya, tampaknya tak segan untuk mendorong Lebanon ke tepi jurang itu.
Namun, harapan tidak sepenuhnya pupus. Justru dalam situasi seperti ini, pilihan yang berani sering kali menjadi satu-satunya jalan menjaga kehormatan bangsa. Mempertahankan senjata Hizbullah, meskipun mahal harganya, adalah pilihan untuk tetap tegak sebagai negara berdaulat. Lebanon mungkin akan menghadapi gelombang sanksi baru, krisis ekonomi yang lebih parah, dan ancaman militer yang tak kunjung reda. Tetapi setidaknya Lebanon masih bisa berkata bahwa keputusan-keputusan besar dalam negeri ditentukan oleh rakyatnya sendiri, bukan oleh diplomat asing yang duduk nyaman di Washington atau Tel Aviv. Kedaulatan sejati tidak pernah datang tanpa pengorbanan, dan bangsa yang ingin dihormati harus berani membayar harga itu.
Jika ada yang mengira bahwa menyerahkan senjata Hizbullah akan membuka jalan menuju kedamaian, mereka sedang terjebak dalam ilusi. Perdamaian sejati hanya lahir dari keseimbangan kekuatan, bukan dari penyerahan sepihak. Zionis tidak akan berhenti hanya karena Lebanon melucuti senjatanya; sebaliknya, mereka akan semakin bernafsu memperluas pengaruh dan kontrol. Dengan kata lain, menyerahkan senjata bukanlah jalan menuju keamanan, melainkan undangan bagi agresi yang lebih besar. Sejarah membuktikan, kekuatan yang tidak punya alat pertahanan selalu menjadi korban.
Maka, pilihan yang dihadapi Lebanon bukan sekadar antara sanksi atau tidak, melainkan antara harga diri dan ketundukan. Amerika menawarkan jalan yang tampak aman, tetapi sesungguhnya penuh jebakan. Lebanon bisa saja memilih jalan itu, dengan risiko menjadi Suriah kedua yang akhirnya tunduk pada kepentingan zionis. Namun ada jalan lain, lebih berat, lebih penuh pengorbanan, tetapi juga lebih mulia: tetap mempertahankan senjata perlawanan, menerima semua tekanan, dan membuktikan bahwa kedaulatan bukan barang dagangan yang bisa dipertukarkan dengan janji kosong. Inilah momen ujian terbesar bagi Lebanon, dan sejarah akan mencatat apakah bangsa ini memilih jalan kehormatan atau jalan ketundukan.
Apa yang dilakukan AS hari ini jelas mendorong Lebanon ke arah jurang. Tetapi apakah Lebanon akan melangkah ke dalamnya atau justru menolak dan berdiri tegak, itu adalah keputusan yang akan menentukan wajah negeri itu untuk puluhan tahun ke depan. Kertas kerja AS mungkin tampak seperti solusi, tetapi sejatinya ia adalah jebakan. Menolak jebakan itu mungkin akan membuat Lebanon lebih miskin secara materi, tetapi tetap kaya dalam martabat. Dan pada akhirnya, sejarah selalu lebih berpihak kepada bangsa-bangsa yang memilih martabat ketimbang tunduk pada hegemoni asing.
Sumber:
Pingback: Pemerintah Lebanon Dinilai Tikam Hizbullah dari Belakang
Pingback: Barrack dan Wajah Asli Kebiadaban Amerika