Feature
Kisah Maryam al-Muqayad: Kekejaman dan Keberanian di Gaza

Malam itu, langit Gaza diselimuti kabut asap tebal dari bom-bom yang terus berjatuhan. Maryam al-Muqayad, seorang gadis Palestina berusia 13 tahun, menggenggam tangan neneknya yang sakit dengan cemas. Di tengah hiruk-pikuk teriakan dan ledakan, rumah sakit Kamal Adwan, tempat mereka berlindung, berubah menjadi medan kekejaman yang tak terbayangkan.
“Mereka memanggil kami semua keluar ke halaman rumah sakit,” kenang Maryam, suaranya bergetar mengingat malam itu. Ketika ia ragu untuk meninggalkan neneknya, tentara Israel memaksa semua orang keluar. Mereka menyeret Maryam dengan kasar, rambutnya dijambak hingga ia harus menyerah pada kekerasan itu.
Kengerian tidak berhenti di sana. Di halaman rumah sakit, para tentara, dengan senjata di tangan, memerintahkan wanita untuk melepas hijab mereka. Beberapa perempuan muda, termasuk Maryam, dipaksa untuk melepas pakaian mereka di bawah ancaman senjata. Suara tangisan dan protes bercampur dengan derai tawa sinis tentara. “Kami menolak,” ujar Maryam, “tapi mereka memukul kami dengan brutal.”
Rumah sakit itu, sebelumnya tempat perawatan dan harapan, kini menjadi neraka di bumi. Para tentara membakar bagian-bagian bangunan, menghancurkan peralatan medis, dan membunuh pasien-pasien yang tidak berdaya. Maryam melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seorang perawat hamil dipukul di perut dengan gagang senjata hingga terjatuh kesakitan.
Di tengah keputusasaan itu, Maryam dan para korban lainnya dipaksa berjalan menuju sekolah al-Fakhoura di Gaza utara. “Mereka menyeret kami seperti binatang, menjambak rambut kami, memaki, dan memukul siapa saja yang tidak menurut,” katanya. Sepanjang jalan, tentara itu mengancam akan menahan mereka dan memisahkan anak-anak dari keluarga mereka jika mereka mencoba melawan. Maryam mengenang bagaimana seorang pria muda dipaksa menjadi tameng manusia, didorong masuk ke rumah-rumah sebelum tentara Israel menyerbu, takut akan jebakan bom.
Di sekolah al-Fakhoura, kengerian berlanjut. Maryam dipaksa masuk ke toilet, di mana ia dan perempuan lainnya diharuskan membuka pakaian mereka di bawah ancaman kekerasan. Ketika mereka menolak, tentara memukul kepala mereka ke dinding hingga darah mengalir. “Mereka ingin menghinakan kami,” ucapnya dengan nada yang mencerminkan luka mendalam.
Saat akhirnya Maryam dan para korban lainnya dilepaskan, perjalanan panjang menuju selatan Gaza terasa seperti hukuman yang tiada akhir. Dengan berjalan kaki di belakang tank yang mengeluarkan asap hitam, mereka dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka tanpa kepastian apa pun.
Alaa, seorang perempuan berusia 30 tahun yang bersama Maryam malam itu, menyebut dirinya “beruntung” karena hanya dijambak rambutnya. Namun, ia tidak bisa melupakan bagaimana tentara memaksa seorang wanita tua melepas pakaian salatnya, hanya untuk menertawakan dan mempermalukannya di depan umum. “Tidak ada alasan jelas untuk kekejaman itu,” katanya dengan getir.
Kekejaman di rumah sakit Kamal Adwan hanyalah sepotong kecil dari tragedi besar yang melanda Gaza. Sejak awal perang, lebih dari 46.500 orang tewas dan hampir 110.000 lainnya terluka, menurut laporan kementerian kesehatan Palestina. Namun, angka-angka ini tidak mampu menceritakan seluruh kengerian; mereka hanya angka, sementara Maryam dan banyak lainnya adalah saksi hidup dari luka-luka yang tak terlihat.
Di mata dunia, Maryam hanyalah seorang gadis kecil. Tetapi di Gaza, ia adalah simbol keberanian dan penderitaan yang tak terkatakan. Saat ia berbicara, suaranya mencerminkan trauma sekaligus harapan yang mungkin tak akan pernah padam: “Kami tidak akan pernah lupa. Mereka mungkin memaksa kami meninggalkan rumah kami, tetapi mereka tidak akan pernah mengambil jiwa kami.”