Opini
Pemimpin de Facto Suriah Sibuk Cari Pengakuan, Rakyat Terlupakan!

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Pemerintahan de facto Suriah yang baru, yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa dan timnya, tampaknya memiliki pandangan yang sedikit berbeda tentang bagaimana negara ini harus dijalankan. Dari perspektif mereka, sepertinya yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan pengakuan dunia, bukan bagaimana menyelesaikan kekacauan yang mereka warisi dari rezim Bashar al-Assad. Sebuah pemerintahan yang baru saja “mengambil alih” tampaknya lebih tertarik pada pembicaraan diplomatik tentang “normalisasi hubungan internasional” daripada memperbaiki kondisi negara yang hancur lebur pasca perang. Dengar-dengar, bahkan lebih fokus untuk mendapat legitimasi dari dunia luar, ketimbang menuntaskan urusan domestik yang lebih mendesak—seperti, misalnya, menjaga keselamatan rakyatnya sendiri.
Laporan dari The Cradle memberi kita gambaran yang sangat jelas tentang betapa rusaknya keadaan di Suriah di bawah “pemerintahan baru” ini. Ternyata, meski ada klaim dari pihak pemerintah yang menyatakan bahwa mereka telah membebaskan ribuan tahanan politik yang dulu “dikurung di rumah penyembelihan manusia”, kenyataannya, kekerasan terus melanda. Di kota Homs, sekelompok warga yang tidak dikenal diculik dan dieksekusi di luar kota—enam orang dalam satu keluarga saja. Sementara itu, di kota pesisir Jableh, tiga orang dieksekusi dengan cara yang sama setelah diculik. Apakah ini yang mereka sebut sebagai “reparasi” atau “perbaikan”? Tentunya, jika yang dimaksud dengan perbaikan adalah memusnahkan siapa saja yang berani menentang, maka mereka sudah berada di jalur yang benar.
Dari laporan ini, kita bisa lihat bahwa meskipun banyak bicara soal “reformasi”, pemerintahan de facto ini justru melanjutkan kebijakan kekerasan yang melibatkan penculikan dan pembunuhan massal. Siapa yang diuntungkan dari semua ini? Mungkin hanya kelompok-kelompok bersenjata yang menuntut “pengaturan ulang” melalui teror. Sementara rakyat Suriah, yang sudah lama merasakan derita, harus terus hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Di mana janji-janji pemerintah untuk memulihkan kedamaian? Di mana perhatian mereka terhadap masyarakat yang benar-benar membutuhkan keamanan dan stabilitas? Jangan-jangan yang mereka perlukan hanyalah kursi empuk di arena politik global dan sedikit pengakuan dari negara-negara besar.
Tentu saja, semua ini tidak lengkap tanpa sedikit drama internasional. Al Jazeera memberikan kita gambaran lebih jelas tentang prioritas sang Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad Hassan al-Shaibani. Alih-alih sibuk dengan meredakan ketegangan internal yang semakin meluas, al-Shaibani justru terlihat lebih senang berbicara tentang pembicaraan diplomatik dan kunjungan ke Arab Saudi, seolah-olah itu adalah hal yang paling mendesak dalam situasi ini. Dan kenapa? Karena ada satu hal yang sangat jelas: pengakuan internasional adalah segalanya bagi mereka. Mengapa? Karena itu memberi mereka kesempatan untuk duduk di meja perundingan, untuk berbisnis dengan negara-negara besar, dan untuk memamerkan diri sebagai “pemerintahan sah” meskipun keadaan di dalam negeri masih berantakan.
Lagi-lagi, kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa kenyamanan politik internasional jauh lebih penting daripada kenyamanan rakyat Suriah. Janji-janji “reformasi” yang dilontarkan oleh pemerintah baru terasa kosong ketika rakyatnya tetap hidup dalam ketakutan, dalam kekerasan, dan dalam ketidakpastian. Sementara itu, pemerintahan ini seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan dunia, menandatangani perjanjian diplomatik, dan berbicara tentang “konsensus nasional”, meski kenyataannya, di tanah Suriah, rakyatnya lebih membutuhkan perlindungan dan harapan daripada sekadar pengakuan internasional.
Namun yang lebih menggelikan lagi adalah klaim dari pemerintah de facto bahwa mereka siap untuk berhubungan dengan semua negara, seolah-olah segala masalah domestik bisa diselesaikan dengan mengelus-elus punggung negara-negara besar. Tentu saja, mereka berjanji akan “melakukan dialog” untuk masa depan yang lebih baik—tapi masa depan yang lebih baik bagi siapa? Bagi rakyat Suriah yang terus terjebak dalam kekerasan dan penderitaan? Atau bagi mereka yang berjuang untuk mendapatkan legitimasi politik dan menjaga kekuasaan mereka agar tetap relevan di kancah internasional?
Jangan terkecoh oleh kata-kata indah ini. Suriah masih jauh dari “baik-baik saja.” Dan yang lebih tragis adalah bahwa pemerintah de facto ini tampaknya lebih sibuk membangun citra politik daripada mengatasi penderitaan rakyat mereka. Pada akhirnya, apa yang terjadi di dalam negeri, di jalanan Homs yang penuh darah atau di desa-desa yang dilanda penculikan, lebih penting daripada pertemuan diplomatik dengan negara-negara besar yang mungkin saja hanya melihat Suriah sebagai pion dalam permainan geopolitik mereka.