Opini
Turki Merawat Investasi: Pelatihan Pasukan Suriah Baru

Langit Turki yang biasa tenang kini menjadi saksi bisu dari ironi geopolitik yang pelik. Di pusat pelatihan militer, ratusan tentara Suriah—dulu musuh, kini mitra—berbaris di bawah arahan Ankara. Saya tidak bisa menahan pertanyaan yang menempel di kepala: apakah semua ini tentang membela rakyat Suriah, atau sekadar merawat investasi politik dan militer Turki yang telah tertanam sejak lama? Kita semua tahu Turki pernah menggelontorkan dukungan besar bagi faksi oposisi yang menentang Bashar al-Assad. Ironisnya, setelah rezim lama tumbang, faksi yang dulu dibantu Turki kini berkuasa di Damaskus, dan pelatihan pasukan Suriah oleh Turki menjadi kelanjutan logis dari investasi masa lalu.
Rupanya, investasi itu bukan hanya soal senjata dan logistik, tapi tentang membangun loyalitas, menyiapkan pasukan yang sejalan dengan kepentingan Ankara, dan menjaga pengaruhnya tetap hidup di Suriah. Data terbaru menunjukkan sekitar 300 tentara dan polisi Suriah kini menjalani pelatihan di dua basis Turki, dengan target jangka pendek 5.000 personel, dan jangka panjang 20.000. Bayangkan: ribuan pasukan baru yang akan membawa wajah Turki ke tengah-tengah negeri yang masih rapuh pascaperang. Saya rasa ini bukan sekadar pelatihan militer, melainkan instrumen politik yang sangat terukur.
Langkah ini makin menarik jika dilihat dari perspektif pergeseran kekuasaan di Damaskus. Ahmad al-Sharaa, presiden baru yang pernah didukung Turki, kini memimpin Suriah. Apa artinya? Strategi Ankara tampak matang: mereka menanam benih investasi, menunggu buahnya matang, lalu menuai pengaruh yang kini diikat melalui pelatihan pasukan Suriah oleh Turki. Tapi di balik itu ada pertanyaan moral: ratusan ribu rakyat Suriah masih menanggung dampak perang, dan ribuan eksekusi di luar hukum dilaporkan menimpa Alawite dan Druze sejak al-Sharaa memimpin. Jadi, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari “pelatihan” ini?
Bayangkan analogi sehari-hari: seorang tetangga menolong Anda membangun rumah setelah kebakaran, tapi kemudian ia menempatkan pengawal pribadinya di setiap kamar untuk memastikan Anda mengikuti aturan yang ia buat. Pelatihan pasukan Suriah oleh Turki terasa seperti itu—bantuan dibungkus dengan kepentingan terselubung. Ankara mungkin mengatakan ini soal keamanan dan stabilitas, tapi kita tahu keamanan itu juga bisa diartikan sebagai kendali politik. Bukankah aneh jika tentara yang dilatih untuk membela negara justru berpotensi menekan sebagian rakyatnya sendiri?
Sisi lain yang tak kalah menarik adalah penarikan pasukan Turki dari Aleppo. Setelah delapan tahun mengontrol wilayah itu melalui Syria Emergency Task Force, Ankara kini menyerahkan basis di Azaz dan Jarablus kepada pasukan Suriah baru. Logikanya, ini adalah strategi efisiensi: Turki tidak lagi harus berada di garis depan, sementara pengaruhnya tetap terjaga lewat pelatihan dan suplai senjata. Dengan kata lain, mereka “merawat investasi” tanpa harus menguras sumber daya lebih jauh. Tapi saya bertanya: apakah rakyat Suriah di Aleppo kini lebih aman, atau sekadar menghadapi wajah baru pengendali kekuasaan?
Pelatihan pasukan Suriah oleh Turki juga punya implikasi bagi konflik regional. Serangan Israel ke Latakia dan Homs, yang menargetkan gudang senjata Turki, menunjukkan bahwa langkah Ankara tak bisa dilepaskan dari ketegangan geopolitik. Suriah bukan lagi medan perang internal semata; ia menjadi panggung bagi aktor eksternal yang bermain dengan kepentingan masing-masing. Turki, dalam hal ini, tampak memainkan kartu ganda: menjaga keamanan nasional, tetapi juga menempatkan diri sebagai penentu arah politik Suriah pasca Assad. Ironisnya, rakyat yang seharusnya merasakan perlindungan malah berada di tengah tarik-menarik kekuasaan ini.
Kritiknya jelas: pelatihan pasukan Suriah oleh Turki tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dukungan Ankara terhadap oposisi bersenjata. Ini bukan program netral untuk membangun tentara profesional; ini bentuk lanjutan dari strategi investasi politik yang cerdas tapi penuh risiko moral. Setiap pelatihan, setiap senjata yang dikirim, adalah pengingat bahwa Suriah yang baru dibangun masih memerlukan “bimbingan” dari kekuatan luar. Dan sementara kita menonton drama geopolitik ini dari jauh, jutaan rakyat Suriah tetap menghadapi realitas pahit: perang yang belum sepenuhnya usai, represi yang masih terjadi, dan harapan akan perlindungan yang mungkin hanya bersifat simbolis.
Saya tidak bisa menahan kesan sinis: Turki merawat investasi, bukan rakyat. Bukan berarti rakyat diabaikan sepenuhnya, tapi prioritas jelas terlihat. Al-Sharaa mendapat pasukan yang loyal, Turki mendapat pengaruh yang lebih kuat, dan SDF ditekan untuk bergabung atau dilikuidasi. Di tengah semua ini, warga sipil tetap menjadi angka statistik di laporan SOHR, bukan penerima manfaat utama dari pelatihan militer ini. Ironi besar: alat yang seharusnya membela rakyat justru berpotensi menjadi instrumen kontrol politik dan represi.
Akhirnya, saya menatap pola besar ini: geopolitik Timur Tengah selalu bermain di antara janji perlindungan dan realitas kontrol. Pelatihan pasukan Suriah oleh Turki adalah contoh konkret bagaimana negara bisa mengubah bantuan militer menjadi investasi politik. Kritik saya tegas: kita harus memisahkan klaim keamanan dari kenyataan represi, dan memahami bahwa “stabilitas” yang dibangun di Suriah saat ini bukan untuk rakyat, tetapi untuk memastikan pengaruh tetap berada di tangan mereka yang menanam modal lama—dalam hal ini Ankara dan pemerintahan baru di Damaskus.
Kesimpulannya, setiap langkah Turki di Suriah adalah pelajaran bagi kita tentang bagaimana kekuatan regional merawat kepentingan politiknya di atas nama keamanan. Pelatihan pasukan Suriah oleh Turki adalah investasi yang dipoles dengan klaim stabilitas, tapi jika kita menilik data eksekusi, tekanan terhadap minoritas, dan restrukturisasi pasukan, pesan yang tersirat cukup jelas: ini tentang pengaruh, kontrol, dan kelanjutan investasi politik—bukan sekadar melindungi rakyat. Dan bagi kita yang mengamati dari jauh, ironi ini terasa getir, tapi terlalu nyata untuk diabaikan.